0

BOYFRIEND FOR YOU

Tidak seperti biasanya Valny segelisah ini. Berkali-kali diliriknya jam tangan army-look yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Sudah hampir sejam. Namun gadis si Cucakrawa itu sama sekali belum menongolkan cuping hidungnya yang dicocoki sebutir giwang berlian. Digebahnya kepenatan dengan mengangin-anginkan badan, duduk di gigir trotoar jalan depan rumahnya. Menunggu dan menunggu. Tentu saja ini pekerjaan yang paling membosankan sedunia. Dan hal itulah yang membuatnya menggerutu sepanjang Sungai Nil.
Ini bukan date-nya yang pertama. Entah sudah berapa kali cewek centil itu mengenalkannya kepada cowok-cowok yang tidak jelas bibit-bobot-bebetnya. Bahkan banyak wajah cowok yang sudah tidak diingatnya persis lagi. Semuanya sukses ditolaknya setelah kencan pertama. Ditolak, karena sama sekali tidak ada yang masuk dalam kategori sreg. Tapi tentu saja tidak dengan sertamerta dia menampik mereka. Dia memiliki seperangkat rasa terima kasih. Toh Aretha berbuat begini untuk kebaikannya juga.
Dua bulan lalu, Aretha pernah mengenalkan seorang cowok dengan garansi seumur hidup. Artinya, dia bakal cocok dengan cowok itu. Dijamin bakal sampai ke pelaminan.
"Huh, memangnya barang elektronik apa, pakai garansi segala macam. Seumur hidup pula!"
Dia mengumpat begitu pada waktu itu. Namun Aretha mengatupkan kedua telapak tangannya ke dada tanda memohon please . Kalau kali ini dia sampai ngotot begitu, sudah barang tentu ada hal yang bukan tanpa alasan.
Dan kemarin, secara sepihak serta setengah memaksa dia membuat appointment untuk mempertemukan mereka kembali. Hari ini. Acaranya rada-rada formil meski tidak perlu memakai pakaian pesta yang BDH alias bikin dagangan hancur alias ribet. Hanya JJS nongkrong di cafe, begitu katanya.
Tidak ada penolakan atas alasan apapun. Gadis itu pergi begitu saja setelah mengultimatum dengan stempel kalimatnya yang sesahih materai tempel. Membuatnya kemekmek dengan beragam stori.
Satu hari sebelum cinta. Dia mendadak menggigil kedinginan di siang bolong.
***
"Aku kasihan sama kamu."
"Memangnya aku gembel yang minta dibelaskasihani."
"Tentu saja bukan."
"Jadi?"
"Jadi aku ingin kamu tuh juga punya gandengan."
"Hei, memangnya aku motor apa?"
"Kamu jangan pura-pura."
"Tentu maksud kamu bukan kura-kura dalam perahu pura-pura tidak mau, kan?"
"Kurang lebih sama."
"Margaretha Nadya Esterina Simatupang!"
"Yap."
"Untuk apa?"
"Kamu sahabatku."
"Kontribusi apa yang pernah kulakukan untukmu...."
"Eit, jangan bicara balas jasa di sini."
"Tapi...."
"Untuk hal ini, tidak ada tapi-tapian."
"Seumur-umur aku tidak bakal dapat membalas jasamu."
"Aku bukan biro jasa."
"Kamu kelewat baik."
"Sama semua orang juga aku baik, kok. Lagian, semua yang kulakukan untukmu memang tanpa pamrih."
"Tapi...."
"Kamu pikir, aku akan menagih...."
"Bukan begitu...."
"Kalau begitu...."
"Etha, kapan sih kamu mulai mikirin diri kamu sendiri. Setiap hari kamu selalu membantu orang lain sehingga kamu melupakan dirimu sendiri."
"Orang senang aku ikut bahagia."
"Tentu saja itu merupakan hal mulia. Tapi, kalau sampai kamu menelantarkan dirimu sendiri untuk kepentingan orang lain, itu kan tidak fair. "
"Tapi aku bahagia, Valny."
"Oke, oke. Tapi, jangan bilang sampai nenek-nenek kamu baru dapat gacoan. Comblangin orang lain sampai-sampai jodoh sendiri saja dilupain!"
Valny menghirup udara dalam-dalam. Aretha memang gadis paling aneh yang pernah dikenalnya. Solidaritasnya sebagai sahabat melebihi saudara sekandung. Padahal, gadis itu terlahir dari keluarga yang sangat mapan. Dua hotel bintang lima serta sebuah hipermarket waralaba asal Perancis di Jakarta merupakan saham mayoritas ayahnya. Perfeksitas yang jarang dimiliki oleh gadis-gadis lainnya. Dia merasa sangat beruntung memiliki sahabat dengan jiwa sosialnya yang tinggi.
"Tentu saja aku tidak ingin semenderita begitu. Kamu pikir enak apa pacaran ala nenek-nenek. Apa-apa juga tidak bisa. Memangnya bisa pacaran avonturir seperti kala remaja? Sama-sama bungy jumping, misalnya?"
"Hihihi. Itu sih masih mending...."
"Lho...."
"Soalnya, kalau pacaran ala nenek-nenek, takutnya sih gigi palsu mereka akan nyangkut kalau sedang kiss, Etha."
"Hahaha...."
"Itu berarti puber kelima puluh lima, dong."
"Bukan, bukan. Itu sih sudah melewati pacaran emas, Val."
"Pacaran platinum dong, namanya.
"Hihihi...."
Aretha memang selalu begitu. Tidak pernah memedulikan dirinya sendiri. Setahunya, bukan tidak banyak cowok sekeren model mendekatinya. Hanya dia saja yang menggebahnya seperti mengusir tawon. Bukan itu saja celakanya. Dia malah menyodorkan cowok-cowok ciamik itu kepada teman-teman ceweknya. Satu per satu dicomblangin. Sebagian besar di antaranya sudah pada jadian. Bukankah itu hal yang paling bodoh di dunia?!
Namun Aretha selalu mengelak kalau digurui. Dia bilang kalau jodoh itu tidak akan lari ke mana.
"Tak akan lari gunung diuber."
"Tapi kamu bakal terbirit-birit dikejar uban."
"Don't worry be happy."
"Kamu selalu begitu. Kapan sih kamu dapat serius dengan masa depanmu sendiri?"
"Apa aku kelihatan tidak pernah serius?"
"Kamu adalah work a holic girl. Aku tidak kuatir untuk urusan lainnya semisal sekolahan ataupun masa depan profesi kamu nantinya. Tapi, untuk soal gacoan kamu tidak pernah dapat serius."
"Forget it, Val. Kamu jangan mengalihkan perkara. Kok ganti kamu yang comblangin aku?"
"Kamu masuk dalam warning. Kamu yang seharusnya merupakan obyek dalam perkara comblang-comblangan itu. Bukannya aku."
"Tentu saja kamu yang lebih penting. Kalau tidak, mana mau aku berkorban perasaan begitu terhadap saudara sepupuku itu."
"Tapi?"
"Jeffry itu baik!"
"Dia?"
"Kamu yang kelewat pesimistis dan rendah diri. Belum apa-apa kamu sudah mundur."
"Levelnya kelewat tinggi...."
"Dia rela merendahkan voltage-nya, berdiri sejajar dengan level rendahmu itu! Dia bilang begitu ke aku, kok. Tapi, kamunya saja yang sudah kadung menutup pintu hatimu rapat-rapat."
"Hei, aku bukan permen yang lupa pada bungkusnya, Non. Kalaupun dia merendahkan levelnya sampai jongkok menyusur tanah sekalipun, belum tentu bokap-nyokapnya interest sama aku."
"Huh, kamu ini! Belum berperang sudah kalah. Atas dasar dan alibi apa kamu mengklaim kalau bokap-nyokapnya tidak suka sama kamu, sementara pacaran saja belum."
"Aku tidak mau disebut pungguk yang merindukan bulan."
"Siapa bilang kamu pungguk yang merindukan bulan. Kamu itu landak yang merindukan matahari."
"Hei... kamu ngeledek aku, ya?"
"Habis, rambut kamu pendek berdiri kaku begitu. Lagian, kamunya juga yang kelewat minderan, sih."
"Lebih baik memiliki hormon minder ketimbang hormon adrenalin seperti gadis-gadis centil geng Nunu cs. Daripada malu-maluin, mending mengangkat bendera putih. Kamu masih ingat kan , bagaimana mokal-nya Nunu saat ditolak mentah-mentah oleh Pramudia. Surat cintanya dibacakan di depan anak-anak sekelas. Satu sekolah juga tahu. Ih, kalau aku jadi Nunu, pasti aku sudah gantung diri."
"Nah, karenanya itu kamu harus masuk UGD RSCM."
"Apaan itu?"
"Unit Gawat Darurat�Rumah Sakit Cinta Muda-Mudi."
"Hei, kamu ini...."
"Kamu membutuhkan segera pertolongan pertama sebelum jodohmu tidak dapat diselamatkan, dijemput sang malaikatulmaut."
"Hei... asal kamu, ya!"
"Come on, Val. Jeffry itu anak rumahan. Dia bukan tipe cowok bunglon. Cowok lainnya yang suka gonta-ganti cewek kayak tukar baju. Lagian, aku duluan yang akan menggorok lehernya kalau dia macam-macam sama sohib kentalku. Trust me, please! "
"Hm, aku tahu dia baik...."
"So, apa lagi?"
Valny sadar apa yang selama ini diperjuangkan Aretha. Bukan dia menolak niat baik sahabatnya sejak di kelas satu SMP itu. Bukan. Hanya saja, dia merasa tidak sepadan dengan sepupu gadis kaya itu. Jadi, diputuskannya untuk bermain petak umpet. Menghindari cowok itu dengan berbagai alasan.
Tapi kali ini dia tidak dapat menghindar lagi. Gadis blaster Batak-Inggris itu sudah mengancam akan membekukan persahabatan, sampai ada keputusan yang jelas tentang persetujuannya untuk diajak kencan pertama. Tentu saja dia tahu kalau itu cuma gurauan yang dikemas dalam mimik serius setengah memohon. Tapi melihat mimiknya yang malah terasa lucu itu, dia jadi tidak tega untuk menolaknya lagi. Lagipula, Jeffry merupakan produk unggul jenis blaster yang tidak diragukan lagi kualitasnya. Ganteng, baik, dan tajir!
"Valny...!"
Gadis tomboi itu terkesiap. Lamunannya tergebah, melayang sampai ke angkasa raya. Aretha menepuk pundaknya, memasang wajah dan cengir tanpa dosa ke arahnya.
"Sori, kami terlambat. Biasa, kena macet," ujarnya enteng seringan kapas.
Valny tergeragap. Hatinya berdetak melihat sepupu cowok Valny itu. Semakin keren. Jauh lebih keren ketimbang beberapa bulan yang lalu saat dia terakhir kali melihatnya. Sekarang, mungkin dia harus menghimpun keberanian untuk menghadapi cowok yang diperkenalkan Aretha itu kepadanya. Sebelum perasaan kurang pedenya itu mengerdilkan segalanya.
Ya, sebelum segalanya menjadi kerdil. ©
0

KEPAK-KEPAK SAYAP MERPATI

Senja diselimuti kabut tipis. Dan biasanya bisa ditebak, bagaimana suhu di Osaka pada saat-saat ini. Apalagi pada aki same seperti sekarang. Sudah dingin setiap harinya, masih ditambah lagi dengan kedinginan yang datang akibat aki same turun tiada hentinya sejak tadi.
Di kejauhan Amanda berlari kecil menghindari terpaan angin yang tiba-tiba datang menghantam tubuhnya. Sesekali dia sibuk merapatkan sweater yang dikenakannya.
Brrrr... Amanda menggigil kedinginan.
Cuaca hari ini, benar-benar tak bisa diajak kompromi, gerutunya pelan. Mungkin kalau tadi pagi diturutinya kata-kata Sam, untuk tidak keluar dalam cuaca seperti ini, dia tidak akan tersiksa sendiri, dengan kedinginan di sekujur tubuhnya. Dan jeleknya lagi, semuanya ini akan terus seperti ini dari hari ke hari sampai saat haru tiba.
Oaaah, Amanda menguap lebar-lebar.
Kalau begini, ingin rasanya cepat-cepat sampai di rumah dan kemudian duduk diam di depan perapian, untuk sekadar menghangatkan badan sambil menghirup segelas susu hangat. Hm, pasti sangat nikmat sekali. Amanda tersenyum membayangkan.
Dan sekarang ini, gadis itu rasanya boleh tersenyum senang, atau tepatnya bernapas lega, karena rumah berukuran sedang itu, sudah terlihat dari pandangannya.
"Amandaaa...."
Amanda mendongak. Menatap ke arah suara. Dilihatnya di depan pintu seseorang melambaikan tangannya setengah berteriak menyuruhnya cepat sampai.
Amanda balas melambai. Dia mempercepat langkahnya, dan cepat-cepat mengulas senyum ramah pada sosok di depannya.
"Menunggu, Sam?" sapa gadis itu, sambil mengibaskan sisa titik-titik airmata yang melekat pada sweater-nya. Sedangkan bibirnya berusaha tetap tersenyum di sela-sela kedinginan.
Tarikan di bibir Amanda perlahan mengendur, ketika wajahnya mendongak menatap mata setengah sipit milik cowok itu.
"Sam?"
Sam terdiam. Dia berpaling dan cepat melangkah masuk ke dalam rumah. Melihat itu, Amanda menghela napas. Ingin rasanya dia bertanya, 'Ada apa Sam?'. Tapi cepat ditahannya mulutnya agar tidak berbicara apa pun, dan mengikuti langkah Sam.
"Mengapa dalam cuaca seperti ini memaksakan diri keluar? Badanmu bisa sakit lagi nanti," tegur cowok itu marah sesampainya mereka di dalam.
Amanda tersenyum gelisah melihat gurat kecemasan di mata Sam. Dan tanpa sempat dicegah, rasa bersalah menjalar cepat di hatinya.
"Maaf, Sam."
"Tadi pagi sudah kubilang, kan?"
"Aku tidak apa-apa, kok," ujar gadis itu. "Jangan cemas, yah?"
"Anak bandel! Tidak apa-apa bagaimana?! Lihat sini!" Sam menarik tangan Amanda menuju cermin besar di ruang tengah. "Ayo. Coba kau lihat! Apa wajah seperti ini, yang tak apa-apa?!"
Gadis itu tersenyum kecut menatap dua wajah dalam cermin. Seorang gadis terpantul di sana dengan wajah yang pucat dan bibir yang membeku kedinginan. Di sampingnya, berdiri seorang cowok tampan yang atletis, tersenyum masam pada gadis itu.
"Sam?"
"Sudahlah!" Sam mengibaskan tangannya. "Lain kali, jangan kau paksakan pergi dalam cuaca begini."
Cowok itu mengingatkan. "Ah. Aku sampai lupa. Tadi sudah kuhidupkan perapian. Hangatkan badanmu, Nda."
Amanda tersenyum mengiyakan.
"Doku desu ka?" tanya Sam dari arah dapur.
Amanda terdiam. Matanya menerawang jauh. Kalau tegami-nya cepat sampai, berarti akan tiba di tangan Johan setengah bulan kemudian. Bahkan mungkin lebih!
Sumimasen, Joe, desis Amanda giris. Kore wa watashi no machigai desu. Walau bagaimanapun, semua sudah tak mungkin lagi untuk kita. Keputusan apa pun, terasa sulit buatku. Dan kalau akhirnya aku pergi, mungkin itu pilihan terbaik untuk kita, batin gadis itu pilu. Meski tanpa mengabarimu, Joe!
Mengenangmu setiap saat, sama saja membuka kembali kejadian berpuluh-puluh hari yang lalu, Joe. Dan itu berarti, menghadirkan luka yang aku sendiri tak tahu kapan sembuhnya!
Aku mencintaimu, Joe. Amat sangat mencintaimu! Dulu aku pernah berjanji. Hanya kau satu-satunya dalam hidupku. Tapi Joe, aku tak dapat lagi merengkuhmu. Tak bisa menyakiti hati Ilda dengan kebersamaan kita. Bagaimanapun, walau tak rela melepaskanmu, dia adik kembarku, Joe.
"Arigatoo, Sam."
"Ni ii kenko?"
Amanda mengangguk.
"Pantas tadi tak terdengar pertanyaanku. Rupanya kau melamun ya, Nda."
Amanda tersenyum kecut. "Maaf, Sam. Aku tadi ke yuubinkyoku. Kirim kabar ke rumah. Juga buat dia," sahutnya cepat, ketika ditangkapnya mata Sam mengerlingnya penuh arti.
"Setidaknya agar semua tak mencemaskanku, karena pergi tanpa pamit."
Amanda meletakkan gelasnya.
"Rasanya baru kemarin aku datang. Kini aku harus merepotkanmu lagi, Sam. Sekarang ini... ah, sudahlah!" Gadis itu mengibaskan tangannya. "Akiru, Sam?"
Sam menggeleng.
"Aku malah senang, kau masih ingat keluargamu di sini, Nda." Dia tertawa. Menepuk pundak Amanda. "Wajahmu menyeramkan lho, kalau sedang susah seperti itu."
Amanda menghela napas.
"Aku tidak tahu lagi harus bagaimana, Sam," ucap gadis itu sedih. Dia tersenyum giris. "Kalau saja bisa, aku tak pernah ingin kehilangan dia. Tak ingin memutuskan tali cinta kami begitu saja. Ah, Sam...," Amanda menggigit bibirnya. Berusaha menghalau kristal bening dari matanya. "Aku tak percaya, kami akan seperti ini. Membayangkannya pun tidak!"
"Kalau begitu kembalilah, Nda! Jangan kau lepaskan cinta yang sudah kalian bangun berdua."
Amanda menggeleng putus asa.
"Aku tidak bisa, Sam!"
"Apa dengan begini, kau tidak menyiksa dirimu sendiri?!" cetus cowok itu marah. "Pikirkanlah dirimu, Nda."
"Sam?"
"Apa sekarang kau menyesal?"
Menyesal?! Amanda tersenyum samar. Andai saja kau tahu, betapa menyesalnya aku. Tapi semua sudah tak mungkin lagi, kan? batin gadis itu nelangsa.
Kadang aku berpikir, apalagi nanti yang akan kuberikan pada Ilda, Sam! Padahal, semua yang terbaik dalam hidupku, dia juga yang merenggutnya!
Andai saja Ilda bukan adikku. Andai bukan Johan yang dia cintai. Mungkin aku tak perlu 'melarikan diri' sejauh ini untuk kebahagiaannya, Sam!
***
Johan terpaku menatap selembar surat dalam genggamannya. Awalnya dia gembira, ketika menemukan sepucuk surat dari gadis itu di meja belajarnya. Setelah lama tak ada berita, dan dia terus menantinya dengan harap cemas. Sudah sesak rasanya dia menahan kerinduannya untuk bertemu. Tapi apa yang ditulis gadis itu? Johan menggeleng tak mengerti.
Entah untuk memastikan apa. Tapi pagi ini, di atas pesawat Garuda, dia sudah membaca isinya berulang kali. Tetap saja tak ada yang berubah. Yang ditulis gadis itu tetap sama. Hanya tiga kalimat. 'Maafkan, aku Joe!'
Maaf untuk apa? Ah. Ingin rasanya saat ini dia 'terbang' menemui gadis itu. Mendekapnya dalam pelukannya. Mengurai rindu yang sudah lama tersimpan. Tapi sayangnya dia bukan pilotnya. Jadi yang dapat dilakukannya hanya diam menunggu. Padahal dia ingin secepatnya tiba di hadapan gadis itu.
Tadinya dia sempat ragu untuk menemui gadis tercintanya. Berpikir puluhan kali malah semakin menyiksa perasaannya. Tapi, setelah menerima telepon interlokal dari seorang cowok, yang mengaku bernama Sam, keraguannya pupus sudah.
Kemarin petang, dia pergi juga. Walau Mama dan Papanya menatapnya cemas. Bahkan juga Ilda, kembaran gadis itu. Ah, Tuhan, mengapa baru disadarinya kalau gadis itu juga mencintainya.
Kalau akhirnya dia nekat pergi, itu bukan karena Ilda. Tapi... itu semua karena kerinduannya sudah tak bisa dibendung lagi. Dia juga tahu, dia mungkin sangat nekat untuk datang. Bagaimana tidak, kalau dia sama sekali buta negara Matahari Terbit itu. Apalagi Osaka!
Johan menggeleng berulang kali. Dia ingin sekali pesawat Garuda ini, mendarat mendarat cepat di Narita. Rasanya dia sudah tidak sabar, untuk segera mengatakan pada gadis itu, bahwa dia sangat mencintainya.
"Excuse me."
Johan tersentak. Seorang gadis cantik bermata sipit, di sebelahnya, membuyarkan lamunannya.
"What can I do for you?"
Gadis itu tersenum ramah. Tangannya menunjuk tempat yang diduduki Johan.
"May I change my seat?"
Johan mengangguk dan tersenyum.
"With pleasure," ujarnya sambil berdiri, membiarkan gadis itu menempati tempatnya. Dan kemudian baru dia duduk kembali di tempat gadis itu duduk sebelumnya.
Johan menatap gadis itu sekilas, dan kemudian merebahkan diri ke sandaran kursi berwarna biru. Belum sempat dia memasang headphone di telinganya, suara gadis itu terdengar lagi.
"Where are you come from?" Gadis itu melirik Johan lewat sudut matanya. "Indonesia?" tanyanya lagi.
Johan mengangguk pelan. Dia meletakkan headphone di tempatnya. Dan berpaling melirik gadis itu, sambil tersenyum.
"Aku punya kenalan orang Indonesia," ucap gadis itu lagi, dengan bahasa Inggris yang fasih. "Dulu kami bertemu, ketika dia pertama kali ke rumahku sebagai anak AFS. Dia baik sekali. Sampai-sampai saat dia akan pergi, semua tak rela melepaskannya." Gadis itu tersenyum mengenang. Kemudian seperti teringat sesuatu, dia tertawa. Sambil menyodorkan tangannya, gadis itu menyebutkan namanya. "Akana."
"Nama yang bagus," puji Johan.
"Seperti nama orang Jepang kebanyakan. Oh ya, namaku Johan."
Gadis itu tersenyum.
"Where are you going?"
"Osaka."
Gadis itu tertawa senang. "Kita rupanya sejalan. Tapi Osaka itu luas, lho," sahutnya cepat. "Siapa yang kau cari?"
Johan hanya menjawab dengan tersenyum.
"Ah." Akana tersenyum penuh arti.
"Your girlfriend?"
Johan tersenyum jengah. Tak ada pilihan lain selain mengangguk. Toh kenyataannya itu benar. Amanda satu-satunya gadis yang dicintainya. Jadi untuk apa ditutupi. Lagian belum tentu kan, dia bertemu gadis ini lagi, gumamnya dalam hati.
Johan melirik gadis itu lagi. Kali ini dia tersenyum lega, mendapati Akana sudah tertidur pulas di kursinya.
***
"Jadi pergi, Sam?"
Cowok itu mengangguk. Tangannya cekatan memakai sarung tangan dan syal. Sementara tangan satunya lagi menyambar kunci mobil dengan tergesa.
"Aku boleh ikut, kan?"
Sam menggeleng cepat.
"Kalau kau ikut, ini bukan lagi sebuah kejutan dong." Cowok itu tersenyum menggoda. "Aku segera kembali, Nda." Sam beranjak pergi. Tapi kemudian di berbalik. "Yakinlah kalau ini kulakukan untuk kebahagiaanmu, Nda."
***
Narita Airport, Japan

Sam duduk diam dalam mobil hijau lumutnya. Tangannya mengetuk-ngetuk setir mobil dengan gelisah. Sesekali dia mengedarkan pandangannya. Menyapu seluruh sudut ruangan.
Sam menatap foto cowok dalam tangannya. Ah. Semoga saja Amanda tidak menyadari, salah satu foto koleksinya telah raib dari albumnya. Kalau tidak begini, dia tidak bisa mengenali sosok yang dicarinya.
Belum lama tangannya membuka pintu, matanya dengan cepat mengenali seseorang, yang berdiri celingukan mencari taksi. Dia berdiri memperhatikan sambil tersenyum senang. Sampai akhirnya dia tak tega dengan kebingungan gadis itu, dan memanggil setengah berteriak.
"Kana...."
Sam tertawa melihat tangan gadis itu meninjunya dari jauh, sambil berlari lincah mendatanginya. Dia tersenyum menyambut. Tangannya terangkat, mengacak-acak rambut gadis itu dengan sayang.
"Tumben?"
Gadis itu meninju lengan Sam, main-main.
"Jangan ge-er dulu, Sam. Aku datang karena mendengar Amanda ke rumah. Jadi bukan kangen sama kamu," cetusnya manja, sambil meleletkan lidahnya menggoda. "Ayo kita pergi. Aku sudah kangen, nih." Tangannya membuka pintu dan langsung duduk di kursi belakang dengan kaki diselonjorkan.
"Aku ke sini, bukan sengaja menjemputmu, Nona." Sam tersenyum menggoda.
"Ah, jadi ada cewek lain lagi?" Akana melongokkan kepalanya. Menatap kakaknya dengan curiga. "Siapa?"
Sam hanya menjawab dengan senyum.
"Sam?"
"Nanti juga kau tahu. Ah!" serunya riang. "Itu dia." Sam melangkahkan kakinya, menghampiri seorang cowok, yang baru saja keluar sambil mendorong troli barangnya.
"Johan?" tanyanya ragu. Dan Sam hanya bisa tersenyum lega, saat menyadari dia tidak salah orang. "Aku Sam. Ingat?"
Johan mengangguk pelan.
"Makasih ya, sudah mengabariku." Dia mengedarkan pandangannya. Seperti tahu yang dicari cowok itu, Sam menggeleng pelan.
"Dia tak datang."
Johan tersenyum. Menyembunyikan kecewanya.
"Aku mengerti. Tidak apa-apa, kok."
Di dalam mobil Akana terperanjat. Orang yang dimaksud kakaknya ternyata adalah Johan, seseorang yang baru saja dikenalnya. Heh, segalanya tak terduga!
***
Di dalam mobil yang melaju kencang, tidak ada yang inisiatif membuka pembicaraan. Semua sibuk dengan pikirannya masing-masing. Dan Sam juga tidak ingin bersuara. Membiarkan kebisuan menyelimuti.
Sam melirik cowok itu dengan ekor matanya. Dia menelan ludah pahit.
Tuhan... apa yang telah kulakukan ini, batinnya pilu.
Seharusnya tak perlu menyuruh cowok itu datang. Seharusnya dia tahu yang dilakukannya ini, malah semakin menyiksanya. Membuatnya merasakan luka lagi. Cowok setampan ini, gumamnya dalam hati. Ah, ya. Tentu saja. Gadis mana yang tidak jatuh cinta padanya? Bahkan juga Amanda!
Dua bulan lalu, saat Amanda datang untuk kedua kalinya, dengan senyum yang sama, dia tahu... di balik senyum itu ada luka yang disembunyikan. Dia juga tahu, di balik sikap tegar gadis itu, tersembunyi hati yang rapuh.
Saat itu, sebenarnya dia sudah ingin mengulurkan tangan. Membantu gadis itu dari kenangannya. Meyakinkannya, bahwa masih ada hari esok untuknya. Bahkan juga cinta!
Tapi itu semua tidak dilakukannya. Dia memilih bicara, jika gadis itu membutuhkan. Setidaknya dengan cara itu, dia mencoba mengerti, dengan membiarkan hatinya membuang harap yang berlebih.
Sam tersenyum giris.
Walau tanpa penolakan, toh hatinya tahu, tak akan pernah ada cinta di hati gadis itu untuknya. Cintanya sudah diberikan bulat-bulat pada cowok di sampingnya ini. Bahkan kemudian rela melepaskannya dan menanggung luka sendiri, demi orang lain yang juga sama berartinya dengan cowok itu.
Sam menggigit bibirnya. Perih! Mungkin itu yang dirasakannya kini. Apalagi saat mobil yang dikemudikannya membelok, memasuki sebuah pekarangan.
"Ah, sudah sampai!" Akana berteriak senang. Membuka pintu dengan tergesa, kemudian menghambur ke dalam. Memanggil Amanda dengan suara rindu.
Sam tersenyum melihat tingkah adiknya. Dia berpaling, menatap Johan. Cowok itu dilihatnya sedang mengusap lembut cincin di jari manisnya. Dia meraba hatinya. Ada desir halus di sana.
Sudahlah! kata hati berbicara. Mungkin gadis itu memang bukan untuknya, gumamnya pahit dalam hati. Dia hanya bisa berharap, bahwa suatu hari nanti, dia akan menemukan seseorang, yang tulusnya seperti gadis itu.
Sam tersenyum. Tangannya menyentuh lengan Johan, pelan.
"Masuklah! Dia ada di dalam."
***
Pukul 17.20 Waktu Osaka

Birunya laut menyambut kedatangan sepasang hati. Amanda melepas sepatunya. Membiarkan dinginnya air membasahi kakinya. Dia menghela napas. Membiarkan cowok di sampingnya ini, membuat perasaannya semakin tak menentu. Bahkan mungkin pertahanannya.
"Aku rindu padamu."
Amanda menelan ludahnya pahit. Kalau ingin jujur... dia juga rindu pada cowok itu. Amat sangat!
"Setelah menerima suratmu, ingin rasanya segera tiba di hadapanmu. Mengatakan padamu, bahwa cintaku tak pernah berubah."
Aku tahu, Joe. Walau tanpa kau ucapkan pun, dari dulu aku tahu. Cintamu putih untukku.
"An, kau tak rindu padaku?"
"Joe!"
Johan mengibaskan tangannya. "Aku mengerti. Dia sudah menjelaskannya padaku." Cowok itu tersenyum. "Dia mencintaimu, kan?"
"Joe!"
"Andai saja kita bisa bersama lagi," keluh cowok itu. Menatap Amanda penuh kasih. "Kau tak adil padaku, An!"
Lalu bagaimana caranya, Joe? Baik kau atau pun Sam, sama saja buatku. Tak ada pilihan lain!
Memilihmu, akan menyakiti hati Ilda. Juga mungkin Sam. Jika aku memilih Sam, aku malah menyakiti cowok itu dengan cintaku yang palsu, Joe! Lalu, harus bagaimana lagi agar bersikap adil pada kalian?
"Aku berharap, suatu hari nanti, kita akan seperti dulu lagi, An. Kau mau?"
Amanda tersenyum.
Bagiku... cintamu adalah bagian hidupku, Joe. Tapi untuk hari ini...
Gadis itu menggeleng, aku tak bisa!
Mungkin suatu hari nanti, Joe. Aku percaya, jika ada 'benang merah' di antara kita, hari itu pasti tiba! ©

Keterangan

Aki Same: Musim gugur, yang biasanya disertai hujan.
Ame: Hujan.
Haru: Musim semi.
Doko desu ka: Tadi pergi ke mana?
Tegami: Surat
Sumimasen: Maafkan aku
Akiru: Bosan
Kore wa watashi mo machigai desu: Ini semua salahku.
Arigatoo: Terima kasih
Yuubinkyoku: Kantor Pos
Ni ii kenko: Sudah rada baikan?
0

GETAR CINTA ARGA

Arga baru saja tiba di rumah dan menggeliatkan badannya mengusir penat setelah seharian dia meliput acara perlombaan voli pantai di Parangtritis ketika Niar, adiknya, menegurnya dengan mulut belepotan silverqueen sembari selonjoran di teras membaca majalah GADIS.
"Ada undangan ultah untuk Mas Ar. Tuh, di atas meja makan."
"Dari siapa?"
"Dari siapa lagi?" Niar masih asyik dengan permen coklatnya. Matanya tidak terlepas dari gambar-gambar model di majalah GADIS.
Arga menghela napas panjang-panjang. Sri. Gadis itu lagi!
"Kayaknya dia ada hati sama Mas Ar!"
"Siapa?" Arga pura-pura tidak tahu. Dilepaskannya rompi dan kamera Nikon-nya. Diletakkannya sementara di atas meja makan. Matanya menyambar sepucuk surat mungil bersampul merah jambu. Ada pita pemanis dengan warna senada.
"Sweet seventen-an. Asyik. Mas Ar, Niar ikut ya?"
Arga tidak menjawab. Ditariknya sebuah kursi dan duduk anteng dengan rupa cemas.
Entah sudah berapa kali Sri menelepon mengingatkannya agar hadir pada hari jadinya yang ketujuh belas. Dan hari ini dia mengirimkan undangan. Alangkah sakitnya hati Sri bila besok dia sampai tidak menghadiri pesta ulang tahunnya itu.
Tapi....
"Mas Ar mau hadir, kan? Tadi pagi-pagi sekali dia nelepon lagi. Katanya...."
Arga bangkit. Dilangkahkannya sesegera mungkin kakinya menuju kamarnya. Dia tidak ingin mendengar celoteh adik semata wayangnya itu. Dia ingin tidur puas-puas. Melupakan saja gadis yang menaruh perhatian lebih kepadanya itu. Sungguh, dia menyesal mengapa bersikap manis saat mewawancarai gadis itu. Mengapa dia bersikap baik bila bertandang ke rumahnya. Mengapa....
Di kamarnya, di atas tempat tidurnya yang sederhana namun resik, dia terpulas karena kecapekan. Di dalam mimpinya, dia bertemu Sri lagi. Sri nampak cantik dan anggun seperti Cinderela dengan gaun pestanya yang gemerlap mempesona. Dan dia menjadi pangeran yang siap mempersunting Cinderela.
***
Plaakk!
Arga tergeragap. Dia meringis sembari mengelus bahu kanannya yang perih akibat tepukan seseorang di belakangnya. Secuil senyum nakal menyambutnya begitu dia berbalik untuk menengok.
"Ngelamunin dia lagi ya, Ga?" Pertanyaan itu terdengar saat mata Arga membentur sesosok tubuh lampai punya Liana, teman sekampusnya.
Arga tak menggubris. Pura-pura dialihkannya kembali tatapannya ke harian lokal yang memuat artikelnya. Merasa tidak dianggap, Liana berusaha merebut tabloid itu dari tangan Arga. Tidak berhasil. Karena Arga bergerak refleks, mengelakkan badannya ke samping. Lalu menyembunyikan tabloid tersebut di belakang punggungnya.
"Apa-apaan sih, Na?" semburnya sembari melotot.
Liana berkacak pinggang dengan rupa semasam mangga muda. "Kamu tidak tuli, kan?"
"Tentu saja tidak." Arga kembali menggelar tabloidnya.
Liana duduk kini di samping Arga. "Nah, kalau tidak, tolong jawab pertanyaanku tadi."
"Soal apa?" tanya Arga tanpa mengangkat muka.
"Soal gadis cantik-manis-ayu de-es-te (dan seterusnya) yang bernama Sri."
Air muka Arga berubah. Diangkatnya kepala dari lebar kertas tabloid di akhir jawaban Liana. Ini, ini dia yang mesti dihindarinya! Sebab, tabu hukumnya apabila dia menyinggung-nyinggung soal gadis manis yang punya talenta besar di bidang modeling itu. Bahaya. Nah, sedini mungkin hal-hil yang menyangkut tentang Roro Sri Dwinintaputri Trisnojoyo harus digebahnya. Terbang jauh-jauh dan semoga tak akan pernah kembali.
"Kenapa memangnya dengan putri tunggal puak terpandang itu?" tanya Arga cuek, meski tak urung juga bola matanya bergerak gelisah.
"Kenapa?" Liana tersenyum sinis. "Justru aku yang pingin nanya tentang dia."
"Dari aku?"
"Siapa lagi?"
"Hei, kok ke aku?"
Liana menghempaskan napasnya dengan keras. "Kok, kamu mendadak jadi bego begitu, sih?!"
"Maksudmu?"
"Cih, pura-pura lagi," Liana mencibir dengan gaya kekanak-kanakan. "Kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu, padahal hati kamu kebat-kebit," ledeknya, lalu tertawa terbahak.
Arga menahan dirinya sekuat mungkin untuk tidak tersenyum. Dirasakannya pipinya memanas. Hm, mudah-mudahan cewek tengil ini tidak melihat pipiku yang mungkin sudah merah-padam, harapnya dalam hati. Pufh! Anak ini memang kerjanya suka usilin urusan orang lain. Dia ratunya tukang gosip. Setiap hari ada saja korban dan bahan gosipnya. Mottonya, tiada hari tanpa gosip.
"Lho, hari ini kamu kan, ada kuis?" tanya Arga cepat.
"Tidak jadi. Pak Hans lagi tidak enak badan," jelas Liana dengan kalimat 'steno'nya, lantas menyergah, "Eit, jangan mengalihkan pembicaraan. Dosa, tahu?"
Mau tidak mau Arga akhirnya tersenyum juga. Nona yang satu ini memang pantang menyerah jika sudah mengejar sumber berita. Apalagi yang hangat dan aktuil. Dan memang harus diakui kalau dia punya prospek yang cerah untuk menjadi seorang wartawati handal. Tapi mudah-mudahan saja bukan untuk media cetak yang, khusus mengupas masalah gosip dan isu hasil bentukannya bersama nona-nona rumpi lainnya!
Akhirnya Arga menyerah. Liana terlalu pintar untuk dibohongi. Juga terlalu cerdik untuk dikibuli. Dia seperti punya seribu pasang mata dan telinga yang bertebaran di mana-mana.
"Cuma temenan." Hanya kalimat itu yang diuraikan Arga menanggapi desakan pertanyaan Liana yang seperti muntahan peluru senapan mesin, menanyai tentang kebenaran gosip yang belakangan ini menjadi buah bibir semua orang.
"Percaya, percaya...." Liana berdiri dengan sikap prajurit, lantas membungkukkan badannya dalam-dalam seperti hormat ala Jepang. "Terima kasih atas jawabanmu yang sudah klise."
"Eh, tidak percaya?" Arga turut berdiri setelah melipat tabloidnya.
"Hanya orang stewar yang akan percaya."
"Apa? Rod Steward?" Arga mengernyitkan dahinya, sama sekali tidak mengerti bahasa 'gaul' yang dilontarkan Liana barusan.
"Bukan Rod Steward yang penyanyi rock itu. Tapi stewar!"
"Apa itu stewar?"
"Itu singkatan dari setengah waras."
"O," Arga mengangguk lugu. "Tapi kamu akan menjadi orang stewar bila ikut-ikutan gosip itu."
"Oya?" Liana mendelik. "Lantas, apa dalih kamu lagi mengenai foto berdua kamu dengan Sri yang jelas-jelas terpampang besar-besar dan dimuat di sini minggu lalu?" Ditariknya tabloid dari tangan Arga, lalu diacung-acungkannya di muka hidung cowok itu.
"Itu hanya snap-shot dari paparazzi amatiran yang tidak punya kerjaan," Arga menanggapi dengan tenang. Diambilnya kembali tabloid dari tangan Liana.
"Tapi...."
"Liana, Liana," Arga menyalib, menggeleng-gelengkan kepalanya, "Kamu tuh, harus tahu siapa sebenarnya Si Sri itu. Dia itu publik figur. Dan sebagai publik figur dia tidak terlepas dari perhatian yang sekecil apa pun."
"Tapi...."
"Sstt.... jangan potong kalimatku," Arga mengibaskan tangannya. "Nah, entah di mana dan bagaimana, pas aku terlihat berdua dengan dia, 'klik-klik-klik', maka jadilah foto yang kamu lihat di sini minggu lalu." Giliran Arga yang mengacung-acungkan tabloid itu di muka hidung Liana. "Kebetulan saja aku yang ketiban sialnya karena saat itu aku tengah mewawancarai dia. Kukira, hal itu tidak menutup kemungkinan bagi cowok-cowok lain. Paham?"
Tapi Liana tidak mau paham. Sebab, nyaris seantero Yogyakarta tahu kalau Roro Sri Dwinintaputri punya gacoan baru bernama Arga Sofyan.
"Tidak ada yang bakal menjebloskan kamu ke dalam penjara kalau kamu berterus terang, kok." Liana belum menyerah.
"Tapi...."
Liana yang menyalib kini. "Cantik, beken, dari keluarga terpandang. Apalagi? Bangga dong, punya doi seperti Sri. Nah, kenapa mesti malu mengakuinya?"
Arga kali ini benar-benar menyerah. Dia tidak tahu harus ngomong apa lagi untuk meyakinkan Liana kalau dia sama sekali tidak ada affair dengan model belia adik dari Roro Sari Dewantiputri, teman sekampusnya di Universitas Atma Jaya Yogyakarta .
Cuma temenan!
Kalimat itu yang berkali-kali diulang Arga di bibirnya. Di bibir tok. Tapi tidak di hatinya. Karena hatinya menolak kalimat itu. Hatinya tidak pernah mau akur dengan kalimat yang berkali-kali diucapkannya itu.
Hatinya bicara lain.
***
Jika ada kesalahan terbesar sepanjang hidupnya, maka Arga tidak akan memungkiri ini:
Jatuh cinta pada Sri!
Kadang-kadang dia berpikir kalau dirinya sedang mengalami gejala psikopat. Mengharap apa yang mustahil diraih. Pungguk merindukan bulan!
Gadis itu demikian terpandang. Berprestasi. Model. Lahir dari keluarga yang menjadi panutan masyarakat. Sedangkan dia? Huh, sudah kurus, jelek, miskin lagi. Lagian masa depannya belum jelas. Nyari makan untuk diri sendiri saja susah, bagaimana mau ngasih makan anak orang lain? Apa mau dikasih makan batu? Arga, Arga, kamu mesti tahu diri. Ngaca, ngaca, dong! maki Arga berulang-ulang kepada dirinya sendiri.
Dunia akan menertawakannya.
Dan mereka semua sekarang sudah tertawa membaca beritanya yang dianggap paling lucu sedunia. Seorang mahasiswa kere berani-beranian berpacaran dengan seorang model dari keluarga berdarah biru, ningrat. Nyali apa yang dia pakai?!
Cibiran pun tertuju untuknya. Sarkartis dan menyakitkan memang. Sekarang dia digelari si Muka Badak. Tidak secara langsung. Cuma bisik-bisik seperti sepoi-sepoi angin. Tapi sepoi-sepoi angin itu bakal menjadi topan yang memporak-porandakan hatinya....
Agaknya dia harus belajar untuk menjadi seorang satria. Jujur pada dirinya sendiri, berterus terang mengatakan cintanya pada Sri dengan mengenyahkan perasaan-perasaan kerdilnya. Atau, tidak sama sekali dan berarti kalah untuk selama-lamanya! ©
0

ANGEL VS EVIL

"Aku tidak suka mendengar musik gubrak-gabruk begitu!"
"Musik beginian sedang nge trend, tahu?"
"Huh, ngetrend apanya?! Musik seperti begitu kok dibilang bagus. Apa sih bedanya musik begituan sama 'klentang-klentong' tukang kaleng yang biasa mangkal di Pasar Loak?!"
"Belum coba, ya? Bisa bikin jantung berdebar-debar senang. Bisa bikin hepi pula meski lagi sedih banget. Jenis iramanya techno, namanya lagu house music. Berisik tapi asyik. Trus, kalau lagi jingkrak-jingkrak harus di tempat yang temaram. Tidak boleh terang, tidak boleh...."
"Eh, memangnya...."
"Memang begitu caranya, Non. Namanya, disko."
"Diskotik! Clubbing!"
"Lho, kok kamu tahu?"
"Kamu pikir aku ini gadis pingitan apa?"
"Tentu saja tidak. Tapi...."
"Makanya...."
"Hei, aku tidak tahu kamu ternyata...."
"Aku tidak suka diskotik!"
"Tapi...."
"Tidak suka ya tidak suka!"
Bulan menutup perbincangan via telepon dengan ultimatum. Ada gabrukan keras terdengar di akhir kalimatnya. Tari menahan napas. Separuh jiwanya seperti melayang. Tentu bukan perkara biasa kalau Bulan Purnama Sidhi sampai marah besar begitu. Padahal, tidak ada dalam niatannya untuk membuat gadis itu mangkel. Maksud baiknya ditampik. Dia sedih.
Selama ini Bulan memang jarang bicara. Di sekolah, selain menekuri buku-buku pelajaran, tidak ada hal lain lagi yang dilakukannya. Padahal, teman-teman lainnya tengah asyik-asyiknya ngobrol seputar gaya hidup dan partyzone metropolis.
Ada deringan terdengar. Dalam satu gerak gegas tangannya yang jenjang itu mengangkat gagang pada deringan ketiga. Sudah menjadi kebiasaan tidak mengangkat gagang telepon pada deringan awal. Entah kenapa.
***
"Maafkan aku, Tari."
Sudah seperti yang diduganya. Bulan pasti menelepon kembali, seperti ada sesuatu yang terputus dalam perbincangan tadi. Belum rampung sama sekali. Dan dia sengaja tidak beranjak meninggalkan tempat.
"Aku marah tanpa alasan."
"Tidak apa-apa. Aku tidak...."
"Aku tahu kamu pasti tidak bakal marah. Makanya, aku meneleponmu kembali."
"Aku yang salah. Mengajakmu ke tempat yang tidak kamu sukai."
"Sebenarnya maksudmu baik...."
Tari terdengar menghela napas lega. Gadis berkacamata minus sahabatnya sejak dari bangku Sekolah Dasar dulu memang berjiwa besar. Dia akan mengakui kesalahan atas kesadarannya sendiri. Dan suatu saat dia berharap dapat memiliki jiwa sebesar Bulan.
"Kamu masih sering...."
"Ke diskotik?"
"Hei, memangnya ke bonbin? Apa lagi kalau bukan tempat itu yang aku maksud?"
"Hm, akhir-akhir ini iya."
"Sendiri?"
"Mana berani aku pergi sendiri?"
"Sama siapa?"
"Tidak tentu. Tapi yang pasti beramai-ramai."
"Papi-Mami kamu...."
"Tentu saja tanpa sepengetahuan mereka."
"Astaga, Tari!"
Ada suara keluh di seberang sana . Seperti mengumpat namun tidak jadi. Hanya jeda sebentar.
"Tari, kamu sekarang mulai belajar berbohong, ya?"
"Ak-aku terpaksa, Lan. Kalau tidak begitu...."
"Kalau tidak begitu kamu pasti tidak diizinkan, kan ?"
"He-eh."
"Tari, Tari. Orangtua mana sih, yang rela anak gadisnya keluyuran di malam hari?"
"Tapi...."
"Eit, jangan bilang kalau diskotik itu tidak buka pada siang hari."
"Justru karena itu aku selalu bilang nginap di rumah kamu."
"Masya Allah, Tari! Kamu bawa-bawa namaku segala!"
"Sori, Lan...."
"Eh, jangan bilang lagi kalau kamu terpaksa. Tahu tidak, bagaimana kalau Papi-Mami kamu telepon ke rumahku?!"
"Makanya itu, Lan, kamu-lah satu-satunya sohibku yang paling bisa dipercaya. Dan mereka...."
"Eit, jangan bilang mereka percaya kepadaku seratus prosen sehingga tidak bakal menelepon kemari. Satu dua kali mungkin tidak. Tapi kalau terus-menerus...."
"Tapi...."
"Jangan motong! Perbuatanmu itu sangat berbahaya, Tari. Tahu tidak, seandainya belangmu ketahuan, pasti aku juga terseret. Melakukan konspirasi tidak terpuji dengan Tarida Putri Lesmana."
"Mereka belum tahu, Lan."
"Sampai kapan kamu dapat mengibuli mereka?"
"Tapi mereka tidak bakal tahu kalau kamu tidak buka mulut...."
"Hei, kamu pikir aku ini mata-mata pengkhianat...."
"Tentu saja tidak begitu. Kamu temanku yang paling baik."
"Dan karena kebaikanku, maka kamu seenaknya bawa-bawa namaku di depan orangtua kamu!"
"Aku tidak bermaksud begitu. Tapi...."
"Tari, dengarin aku. Bukannya aku tidak mau nolongin kamu, tapi apa yang kamu lakukan itu sudah salah."
"Aku bete di rumah, Lan. Makanya aku main ke tempat begituan."
"Jangan jadikan kejenuhan sebagai alasan, Tari. Tentu saja kamu boleh main ke diskotik. Tapi, kalau setiap hari kan kebangetan namanya."
"Tapi...."
"Tari, aku tidak berhak melarang. Kamu tahu kan, bagaimana rawannya tempat hiburan malam begitu. Lagipula, kamu masih di bawah umur. Sadar dong, Tari. Kita ini masih kelas satu SMA!"
"Hu-uh. Kamu sok toku, Lan. Kapan lagi dong, kita dapat menikmati masa muda kalau bukan sekarang?! Apa harus kalau sudah jadi nenek-nenek?!"
"Tentu saja bukan begitu. Cari hiburan ya cari hiburan. Bukan seperti kamu yang cari penyakit. Setiap malam ke diskotik!"
"Tapi aku bisa jaga diri, Lan."
"Itu kalau kamu mawas. Lha, kalau tidak bagaimana?!"
"Maksudmu?"
"Maksudku begini. Seandainya ada orang yang mau jahilin kamu, mana mungkin dapat kamu awasi terus-menerus. Pas kamu goyang di hall, orang itu naruh inex ke dalam gelas minuman kamu, jadinya kan bisa berabe."
"Makanya, Lan. Aku pergi sama teman-teman yang sudah akrab. Jadi, kamu jangan tanya kenapa aku ngotot pingin kamu ikut. Tidak tahunya malah aku kena damprat kamu tadi."
"Teman bisa berubah, Tari. Kamu jangan kelewat percaya sama teman. Hati orang siapa yang tahu, sih?"
"Iya, deh. Aku dengar nasehat kamu. Tapi, mau tidak kamu ikut?"
"No way!"
"Please, Lan. Hanya sekali ini saja. Anton pasti senang kalau kamu bisa ikut. Come on, please. Ultah Anton hanya sekali dalam setahun. Masa sih kamu tega!"
"Ultahnya mau lima kali setahun juga kek, sekali tidak tetap tidak!"
"Buuulaannn, please dong, ah!"
"Bye."
Bulan meletakkan gagang telepon.
Dia menghela napas panjang. Bimbang mengambangkannya.
Malaikat dan iblis bertempur di dalam hatinya. ©
0

SEMBUNYI

Saya diperintahkan untuk bersembunyi oleh kedua teman saya, Beno dan Aep. Katanya, saya sedang dicari oleh beberapa orang berbadan kekar dan berwajah seram. Ada urusan apa mereka mencari saya? Sungguh saya tak mengerti.
"Sudah, pokoknya kau jangan muncul dulu barang beberapa hari, situasinya cukup gawat. Aku tidak rela temanku diculik seperti yang sering terjadi baru-baru ini," tutur Beno, teman saya yang pertama kali menyuruh saya untuk bersembunyi.
"Benar Bim, kau harus hati-hati. Di era reformasi ini, banyak orang berlaku sewenang-wenang, main jarah, main culik, main bunuh. Aku tidak mau hal itu menimpa dirimu," sambung Aep membuat saya semakin tak mengerti.
"Iya, tetapi aku ingin tahu dulu masalahnya, kenapa orang yang tak kukenal itu berusaha mencari aku?"
"Aku juga kurang tahu, Bim. Tetapi kayaknya mereka tidak main-main. Mereka serius mau bikin perhitungan dengan kau!" tegas Beno.
"Aku bukan aktivis, Ben. Bukan pula orang dari golongan tertentu. Kalian tahu kan, kita cuma tukang asongan. Tukang menjajakan barang asongan di lampu-lampu merah? Kadang menjual koran, air mineral, sekali-kali ngamen kalau malas dagang, tak lebih dari itu."
"Ssstt, sudah! Jangan banyak omong. Keadaan sekarang benar-benar lagi gawat. Yang penting sekarang, kau harus sembunyi. Titik!"
***
Tiba-tiba saya merasa jadi seorang buronan untuk pertama kali. Padahal berbuat salah terhadap orang sekalipun rasanya belum. Untuk menghindari hal yang tidak saya inginkan, akhirnya terpaksa saya jarang keluar rumah. Tidak berjualan atau pun iseng main ke perempatan jalan serta lampu merah tempat kami mencari sesuap nasi.
Dalam perenungan saya siang dan malam, saya berusaha mencari tahu apa sebab Beno dan Aep melarang saya berjualan di perempatan jalan itu. Walau mereka mengatakan hal itu demi keselamatan diri saya, tetap saja saya penasaran dan kurang paham akan masalahnya. Apa sih kasusnya? pikir saya. Begitu pentingkah diri saya sehingga ada orang mencari saya?!
Ah, kalau hanya bertemu saja, kenapa harus takut, harus sembunyi? Hadapi saja dahulu, resiko belakangan! pikir saya yang lain. Tetapi kalau saya bertemu dengan orang-orang yang dimaksud teman-teman saya itu, apa saya akan aman-aman saja? Bagaimana kalau tiba-tiba saja saya diculik seperti yang dikatakan oleh kedua teman saya itu? Wah, bisa berabe. Saya tak ingin seperti para aktivis yang diculik beberapa tahun lalu. Dan kalau saya dianggap sebagai aktivis, apa pantas?
Memang saya pernah bercerita penuh tentang kejadian penembakan terhadap mahasiswa yang dilakukan oleh aparat keamanan kepada salah seorang wartawan pada zaman krisis reformasi dulu, karena secara kebetulan saat penembakan itu terjadi saya berada tepat di bawah jembatan.
Dan juga saya ceritakan tentang adanya beberapa kelompok tertentu membakar puluhan toko dimana di dalamnya terdapat puluhan penjarah sedang beraksi. Nah, apakah karena pengaduan tentang kejadian yang sudah cukup lama itu keselamatan diri saya terancam, tetap jadi target bagi 'orang' tertentu? Ataukah karena wartawan itu menulis nama saya jelas-jelas sebagai narasumbernya? Kayaknya tidak mungkin. Sebab kode etik jurnalistik tetap dipegang teguh oleh semua wartawan.
Sudah dua minggu ini saya menyembunyikan diri. Bosan juga rasanya. Apalagi persediaan makanan sudah habis. Untuk keluar rumah, saya takut diciduk. Namun rasa bosan di rumah semakin jadi siksaan bagi diri saya. Jenuh menunggu sesuatu yang tak pasti. Akhirnya saya menemukan alternatif lain untuk tetap bisa keluar rumah dan bisa melihat keadaan di jalan yaitu dengan cara membotaki kepala, pakai topi kupluk ala ABG, kemudian bersembunyi dibalik kaca matahitam.
***
Matahari siang itu begitu panas menyengat. Saya berdiri di sebuah halte bus. Berbaur dengan para calon penumpang. Di ujung mata memandang, kemacetan ada di mana-mana. Beberapa petugas dari kepolisian berjaga-jaga di sudut-sudut jalan. Saya kurang tahu untuk menjaga apa atau siapa? Saya bergerak menuju daerah di mana kami sering mengasongkan dagangan.
Saya berdiri di bawah pohon mahoni, kira-kira seratus meter dari tempat Beno dan Aep menjajakan dagangannya. Di dekat lampu merah, saya melihat Gito sedang asyik mengamen di hadapan pengemudi mobil sedan yang kacanya sedikit terbuka. Aep menawarkan koran dan majalah ke beberapa orang yang berada di dalam mobil sedan yang terjebak lampu merah. Beno sedang asyik melayani pembeli majalah yang dijualnya tepat di belakang mobil di mana Gito sedang mengamen. Menoleh ke belakang, saya melihat Marni, si tukang jamu gendong sedang melayani pembeli seorang tukang plistur di depan toko meubel. Marni, si tukang jamu gendong itu pernah saya cium bibirnya di belakang toko meubel itu.
Asyik juga pacaran sama tukang jamu, setiap ketemu minum jamu gratis. Jadi anak jalanan banyak asyiknya. Saya sering melihat dua insan di dalam mobil saling berciuman mesra di saat mereka terjebak lampu merah. Pada malam hari, saya pernah ditantang oleh seorang pelacur untuk datang ke tempat kostnya. Tidak bayar, katanya.
Tetapi tidak saya turuti karena saya takut ketularan penyakit kotor. Ada lagi seorang tante mengendarai Honda Civic. Waktu itu mobilnya mogok tepat di depan saya. Saya hampiri untuk menolongnya. Ketika saya bukan kap mesin, ada salah satu kabel delkonya lepas. Setelah saya pasang, mobilnya bisa jalan kembali. Selain uang, saya dikasih kartu nama.
"Kalau mau pekerjaan, datang saja ke alamat ini," tawarnya dengan mata menantang. Senang sekali saya waktu itu. Maka, dua hari kemudian saya datangi alamat yang tertera di kartu nama itu. Tidak sulit mencari alamat perempuan itu. Sebuah rumah yang cukup megah menurut saya, berada di sebuah kompleks perumahan yang jauh dari keramaian kota. Saat itu saya membayangkan akan mendapat pekerjaan yang bisa menopang hidup saya kelak.
Tetapi apa lacur, setelah bertemu, saya 'dijarah' seharian penuh. Imbalannya adalah uang dalam amplop yang diselipkan ke saku celana jeans saya. Kapok? Saya tak bisa menjawab, sebab ketika saya datangi lagi tante yang bernama Farida itu ternyata sudah pindah rumah. Kata penjaga rumah itu, Tante Farida hanya sebagai penyewa, bukan pemilik rumah. Ah, terkejutlah saya pada waktu itu.
Itulah pengalaman sebagai anak jalanan. Mungkin Beno, mungkin Aep atau anak jalanan lainnya tentu pernah mempunyai pengalaman menarik menurut pribadi masing-masing. Seperti sekarang ini, saya harus bersembunyi dari pencarian sekelompok orang yang konon badannya kekar-kekar, dus bukan orang sembarangan. Saya takut sekali.
Tetapi saya rindu kepada teman-teman seprofesi. Minimal bisa melihat mereka mencari sesuap nasi di tempat biasa kami mangkal. Dan sekaranglah bisa terlaksana, saya bisa melihat mereka berjualan, mengamen dan sebagainya. Sebagai anak jalanan, selain itu saya juga sering melihat kejadian umum di jalanan. Misalnya kecelakaan, penjambretan, anak sekolah tawuran, mobil tabrakan, orang yang tertabrak mobil, jatuh dari bus kota, mahasiswa berdemontrasi, para buruh berunjuk rasa sepanjang jalan dan melakukan long march menuju gedung DPR, itu semua pernah saya saksikan.
Tetapi tak sekalipun saya ikut demontrasi dalam kasus apa pun. Namun, kenapa saya harus takut keluar rumah? tanya saya dalam hati. Beno dan Aep menyampaikannya serius sekali. Mereka seperti tidak main-main. Apa salahnya saya percaya pada mereka. Siapa tahu benar. Dan jika saya diculik, habislah saya. Kalau hanya diculik dan diberi makan setiap hari, itu tak jadi soal. Justru saya senang. Ngapain susah-susah dagang, mendingan diculik tetapi kebutuhan dijamin! kelakar saya dalam hati. Tetapi kalau sampai disiksa, bagaimana rupa wajah saya nanti, bisa-bisa cacat seumur hidup. Kalau masih hidup masih untunglah, tetapi kalau sampai dibunuh dan mayatnya dibuang di laut, bagaimana jadinya? Saya akan tinggal nama. Keluarga dan teman-teman akan kehilangan saya.
Dan mereka tidak akan bisa menemukan mayat saya. Ke mana mereka akan melapor, pasti bingung. Keluarga saya buta hukum. Namanya juga orang kampung tahu apa?
***
Di rumah atau di manapun saya berada, bayangan orang-orang yang ingin menemui saya kian menghantui pikiran. Apa mereka percaya kalau saya tidak tahu apa-apa pada masalah yang bakal mereka tuduhkan kepada saya nantinya? Kalau saya harus dipaksa mengaku padahal saya tidak berbuat, itu berarti saya telah mengkhianati hati nurani saya sendiri. Apa saya mau dijadikan tumbal politik? Mustahil! Terlalu jauh bila sampai ke urusan politik segala.
Sudah satu bulan saya bersembunyi. Mengubah penampilan setiap mau keluar rumah. Begitu setiap saya mau melakukan aktivitas di luar. Dan hari ini saya bosan di rumah. Jenuh. Terasa dunia kian sempit dan menciut. Dalam pikiran kalut dan kusut, saya nekat keluar rumah lagi. Mendatangi tempat biasa saya mangkal.
Seperti biasa pula tak ada teman yang mengenali penyamaran saya. Saya berdiri di bawah pohon mahoni, bertopi kupluk dan berkacamata hitam, mungkin saya persis dengan tampang perampok belum mandi. Masa bodoh! Bising kendaraan berbaur dengan suara pedagang asongan dan suara pengamen yang sama-sama mencari sesuap nasi. Saya amati orang-orang yang berada di lampu merah. Ada Beno dan Aep sedang menjajakan koran dan majalah. Juga beberapa teman mencari sesuap nasi di sekitar halte bus. Barangkali ada orang berbadan kekar seperti intel atau oknum tertentu yang disebut-sebut Beno dan Aep, sedang mencari diri saya. Tetapi, sudah dua kali ini saya ke tempat itu, belum pernah melihat adanya orang yang tampangnya mencurigakan. Akhirnya saya jadi penasaran, apa benar orang yang disebut Beno dan Aep itu benar-benar ada? Tiba-tiba saya melihat Gito sedang mengamen di dekat lampu merah.
Tanpa sepengetahuan Beno dan Aep, saya panggil Gito. Pada awalnya Gito tak mengenali tampang saya. Tetapi setelah saya buka kacamata dan topi kupluk yang saya pakai, barulah teman saya itu dapat mengenali diri saya sesungguhnya.
"Hai, Bima, kemana saja kau?" sapa Gito setengah berlari ke arah saya.
Saya dekatkan telinga Gito ke mulut saya, "Gito, aku mau tahu, apa benar ada intel mencari aku?" Gito merenggangkan badannya. "Kata siapa?" Dahinya mengernyit.
"Beno dan Aep," bisik saya lagi.
Gito tiba-tiba tertawa lepas. Tetapi cepat-cepat saya tutup mulutnya.
"Ini serius Gito, jangan ketawa kau!"
"Siapa yang mencari kau, heh? Justru aku yang mencari kau kemana saja selama ini!"
"Jadi tidak ada orang yang mencari aku?" kejar saya penasaran.
"Ah, itu cuma ulah si Beno dan Aep saja supaya kau tak berjualan lagi di daerah ini. Sebab yang kutahu, jika kau tak berjualan di sekitar lampu merah ini, maka tinggal merekalah berdua yang menguasai daerah ini. Paham kau sekarang?"
Deesss!
Darah saya mengubun.
Saya seperti ditinju telak-telak oleh pukulan yang dibentuk dari akal Beno dan Aep, teman seprofesi saya itu. Sakit hati saya ditipu mereka. Terasa ada darah yang mendidih di ujung-ujung kepalan tangan saya. Saya melihat Beno dan Aep sedang menghitung uang hasil penjualan koran dan majalah yang mereka jajakan di wilayah yang nyaris sepuluh tahun saya tempati untuk menjajakan koran dan majalah yang sama.
Asem!
Satu bulan cukuplah saya ditipu mentah-mentah untuk tak berjualan di situ. Sekarang saya berpendapat, lebih baik mereka menghitung berapa menit lagi bisa menghirup udara kota ini! ©
0

TALIKASIH OCIT DAN ANGGA ( CHAPTER 7 )

CHAPTER 7:
JANGAN PERGI, OCIT!


Sekarang Angga berubah. Setiap pulang sekolah, dia tidak lagi ngeloyor pergi atau mendekam di kamarnya. Yang dicarinya pertama-tama adalah Ocit.
Dan ia selalu bertanya, "Cit, mau Angga masakin apa?"
Walaupun Mama sudah selesai masak.
Atau, "Cit, mau nonton nggak? Di TO Plaza Senayan ada film bagus, lho?"
Dan alhasil, Ocit akan menolak dengan rupa heran. Kok Si Angga jadi baik? Baiiiik banget! Malah, cowok kurus itu tidak pernah lagi meledeknya. Dan tiap kali Ocit mau pergi latihan, Angga nawarin buat ngantar. Padahal dulu angga selalu ngomong:
"Ah, gengsi! Entar dikira pacar kamu lagi! Bikin pasaran sepi saja!"
***
Ocit mengunci kopernya dengan wajah masih cemberut. Si Angga keterlaluan banget, sudah tahu Ocit berangkat hari ini, eh anak itu malah menghilang sejak pagi.
Di Bandara Soekarno-Hatta, Ocit mencium pipi Mama dan Papa dengan mata berkaca-kaca.
Mama memeluknya. "Baik-baik ya, di sana," pesannya.
Ocit menangis. Sedih bukan hanya karena akan pergi, tapi gara-gara Si Angga tidak ada saat keberangkatannya.
"Angga sebel sama Ocit, ya?" tanyanya pada Mama.
Mama tersenyum. "Nggak, kok! Angga sayang sama kamu. Cuma, dia nggak setuju kamu pergi," hibur Mama, mengelus rambut Ocit.
Tiba-tiba Papa menunjuk ke depan. Tampak seorang cowok kurus duduk sendirian di kursi tunggu Keberangkatan Luar Negeri, membelakangi mereka.
Senyum Ocit mengembang. "Itu kan, Angga!" Ia berlari ke sana. "Angga," panggil Ocit.
Angga mendongak kaget. "Eh...," ia tampak salah tingkah.
"Kamu nungguin Ocit, ya?" tanya Ocit, ikut duduk.
"Ah! Nggak!" sangkal Angga cepat. "Tadi kebetulan lewat sini, eh tiba-tiba mau singgah duduk-duduk," bohongnya konyol.
Ocit jadi terharu. Ia tahu Angga berbohong. Jarak rumah ke bandara hampir dua jam, masa sih kebetulan lewat?
"Kamu sudah mau pergi, ya?"
Ocit mengangguk. Hatinya ikut sedih melihat wajah murung itu.
Angga menunduk, memain-mainkan kunci motornya.
"Nanti Ocit suratin via email, ya?"
Angga mengangguk pelan. "Jangan lupa telepon, ya?" tambahnya. "Di sana jangan keluyuran. Jangan sembarangan bergaul, milih teman yang baik. Jangan pacaran sama bule. Jangan suka nangis lagi. Jangan terlambat makan, jangan...."
"Iya." Ocit mengangguk, memotong pesan Angga yang banyak.
"Tapi," Angga menatap Ocit khawatir, "kalau kamu disakitin orang, siapa yang ngebela kamu? Kalau nggak ada makanan, terus kamu lapar, siapa yang masakin? Kan, kamu nggak bisa masak. Kalau kamu sakit, siapa yang...?"
"Ocit pasti akan baik-baik saja," potong Ocit terharu. Ia menghambur, memeluk Angga erat. Tangisnya tumpah.
"Kalau kamu sedih di sana, pulang ya, Cit?"
Ocit mengangguk sambil menyeka airmatanya. Dilepaskannya pelukannya. Kemudian diciuminya pipi Angga. "Ocit sayang kamu," katanya.
Angga mengangguk. "Angga juga."
Mereka berpelukan lagi. ©



0

Mippin feed validation KEY=1a6d976a

TALIKASIH OCIT DAN ANGGA ( CHAPTER 6 )

CHAPTER 6:
OCIT TIDAK BOLEH PERGI


Angga melongo heran melihat Ocit memeluk buku segede bantal itu ke kamarnya.
"Ma," ia mendatangi Mama yang sedang sibuk memasak, "Si Ocit bawa apaan, tuh?"
"Kamus bahasa Jerman," jawab Mama sambil terus memasak.
"Kamus? Mau ngapain? Memangnya Ocit mau jadi guide, ya?"
"Bukan," Mama membuka panci, "Ocit ikut pertukaran pelajar."
"Hah! Pertukaran pelajar?" ulang Angga tak percaya.
Mama mengangguk, berjalan ke belakang. Angga mengekor dengan penasaran. "Kok Angga nggak dikasih tahu, sih?" protesnya.
Mama tertawa kecil. "Ocit sudah bilang sama Papa dan Mama."
Angga cemberut. "Kok Si Ocit ikut yang begituan, sih?"
Kening Mama berkerut, tapi tangannya terus bekerja. "Ocit diminta sekolah untuk ikut. Adikmu itu kan, pintar."
"Mama izinin?" kejar Angga terus mengekor.
Mama mengangguk.
"Nggak bisa," protes Angga lagi. "Angga nggak ikut-ikutan yang begituan, masa Ocit ikut?"
"Lho, Mama kan nggak ngelarang kamu ikut, Ga," balas Mama.
"Tapi Ocit kan cewek, entar di sana ada apa-apa, kan gawat," alasannya. "Nggak boleh!" tegasnya seakan ia yang memutuskan.
Mama meliriknya heran. "Kamu ini?"
Angga mencibir. "Sori! Angga nggak minat ikut begituan."
Mama menggeleng tidak mengerti.
Angga duduk di kursi. "Angga kan, sudah bilang, Ocit itu cewek, masih kecil dan polos. Entar ada yang mainin kan...." Angga memilin-milin serbet di meja, tidak menyelesaikan kalimatnya.
Mama duduk di samping Angga sambil tersenyum lembut.
"Jangan diizinin ya, Ma?" pinta Angga memelas.
"Ocit itu belajar keras beberapa minggu ini, ingin bisa pergi. Masa Mama tega. Lagipula, ini kesempatan baik untuk masa de...."
"Ocit juga punya masa depan di sini," potong Angga cepat.
Mama menghela napas. "Beda, Ga. Soal kekhawatiran kamu tentang Ocit, Mama yakin Ocit bisa menjaga diri. Lagipula, di sana Ocit punya orangtua angkat," jelas Mama panjang.
Angga tambah cemberut.
Mama tersenyum. "Kamu nggak mau ditinggal Ocit, ya?"
Angga diam.
"Kamu ini," kata Mama geli. "Kalau Ocit ada terus digangguin. Tapi dengar Ocit mau pergi, kamu malah nggak setuju."
"Pokoknya Ocit nggak boleh pergi!" kata Angga keras kepala, lalu masuk ke kamarnya dengan wajah tertekuk.
***



0

TALIKASIH OCIT DAN ANGGA CHAPTER 5

CHAPTER 5:
MENUNGGU OCIT PULANG


"Ocit ke mana sih, Ma?" tanya Angga tampak kesal.
"PMR," jawab Mama acuh tak acuh.
Angga mondar-mandir di ruang tamu. Uring-uringan sendiri. "Ocit ke mana, sih?" gumamnya jengkel sambil melirik jam.
Papa yang tengah nonton tivi menoleh. Mama juga.
"Kenapa?" tanya Mama heran. "Janjian dengan Ocit?"
"Gengsi!" Angga mencibir. Tapi ia masih juga gelisah. Ia lalu membuka pintu. "Angga ke toko dulu, ya?"
Lima belas menit berlalu. Mama melirik jam, mulai merasa resah. "Ocit ke mana, ya?"
Papa ikut melirik jam. "Macet barangkali," katanya menenangkan. "Kita tunggu di luar saja, yuk?" ajaknya pada Mama.
Mereka keluar bersama-sama.
"Nunggu di depan lorong saja ya, Pa," ajak Mama tak sabar.
Papa mengangguk, menjejeri langkah Mama. Tapi langkah Mama terhenti melihat seseorang yang berdiri gelisah di ujung jalan.
"Angga!"
Angga tersentak kaget dengan mata melotot.
"Ngapain kamu di sini? Katanya mau ke toko?"
"I-iya, baru dari toko," bohongnya salah tingkah.
Mama menatapnya dengan senyum tertahan. "Nungguin Ocit, ya?"
"Ah! Nggak kok!" sangkal Angga cepat.
Papa ikut tersenyum. "Ya, sudah. Kamu saja yang nungguin Ocit," katanya seraya menggandeng Mama pulang.
Sepuluh menit kemudian Ocit membuka pintu dengan wajah cemberut. Tak lama Angga ikut masuk.
"Kok terlambat, Cit?" tanya Mama.
"Latihannya dipanjangin!" jawab Ocit ketus. Diliriknya Angga dengan mulut yang maju beberapa senti. "Norak, ih! Pakai nunggu di depan malu-maluin saja! Teman-teman Ocit pada ketawa!"
Angga menjulurkan lidah. "Siapa yang nunggu kamu?" balasnya tak mau mengaku sambil ngeloyor masuk kamar.
Mama tersenyum geli. Papa juga.
***



0

TALIKASIH OCIT DAN ANGGA CHAPTER 4

CHAPTER 4:
MENDATANGI ROY


Roy memaksakan sebuah senyuman.
"Maaf ya, Cit! A-aku... salah, nggak seharusnya aku nya-nyakitin kamu," ucapnya tersendat-sendat. "Maafin aku, ya?" pinta Roy dengan wajah memelas.
Ocit dan Dini bengong melihat wajah Roy yang babak belur.
Tapi Ocit mengangguk juga walau tak mengerti.
Roy tersenyum lagi, tapi seperti meringis. Kemudian ia berlalu dengan tergesa-gesa.
"Eh," Dini menyikut Ocit. "Si Roy kenapa ya, pakai minta maaf segala? Mukanya lagi, kok ancur begitu?"
Ocit ikut-ikutan mengerutkan keningnya.
"Jangan-jangan...," kata Dini terputus, teringat sesuatu.
Ocit menoleh. "Jangan-jangan apa?"
"Angga, dia...?" Dini membali terdiam.
"Angga?" Ocit semakin bingung. "Angga kenapa?" desaknya.
Dini menelan ludah. Menyumpahi Angga dalam hati.
"Kemarin, dia nelepon aku, tanya kok kamu nangis. Trus aku...," Dini tidak melanjutkan. Ia menatap Ocit takut-takut. "Maafin aku, soalnya Angga bilang cuma pengen tahu, jadi...."
Ocit tersandar lemas.
Jadi Angga yang nonjok Roy sampai babak belur begitu?
Ada rasa bersalah dan haru yang menyergap Ocit.
***
Cowok jangkung yang sebentar lagi jadi mahasiswa itu lagi asyik ribut dengan gitarnya.
Ocit masuk, memperhatikannya tanpa suara.
Angga menoleh. "Apa?" tanyanya sambil kembali ribut. Mulutnya mengeluarkan bunyi yang aneh.
"Makasih ya, Ga," ucap Ocit pelan.
"Memang aku ngasih kamu duit?"
"Karena memperhatikan Ocit. Tapi lain kali jangan sampai mukul begitu."
Angga menoleh, menghentikan nyayian kacaunya.
"Mukul siapa?" tanyanya dengan kening berkerut, berlagak heran.
"Kasihan lho Roy, dia sampai ketakutan begitu," lanjut Ocit.
"Roy? Roy yang mana?" Angga pura-pura bingung. "Kamu ngomong apa, sih?" suaranya teredengar kesal.
"Biar kamu nggak mau ngaku, tapi Ocit tahu kok kamu yang mukul Roy," kata Ocit yakin. "Makasih ya, sudah mengkhawatirkan Ocit. Tapi, sebenarnya Ocit nggak apa-apa kok!" lanjut Ocit tersenyum manis. Kemudian ia keluar.
Angga terkekeh.
"Hihihi, ternyata Si Roy benar-benar pergi minta maaf," gumamnya senang sambil menyanyi lagi. Nyanyian aneh!



TALIKASIH OCIT DAN ANGGA CHAPTER 3

CHAPTER 3:
OCIT MENANGIS


Angga menguap, diliriknya jam kamarnya. Jam tujuh lewat. Ia keluar. Eh, kok masih sepi sih? Sayup-sayup terdengar suara Metalica dari kamar Ocit. Baru saja Angga akan membuka kamar Ocit ketika telinganya menangkap isakan kecil. Eh! Kok Metalica menangis, sih? Versi baru, ya? Ia berpikir sejenak. Atau...
Angga menempelkan daun telinganya ke pintu. Benar! Si Ocit yang menangis.
Angga duduk di depan pintu kamar Ocit, sibuk berpikir apa yang membuat si Bontot itu menangis. Gara-gara Mama pergi tidak ngajak Si Ocit?
Angga menggeleng.
Ocit kan sudah gede, nggak suka ngekor lagi. Gara-gara dia suka ngeledekin Ocit? Angga kembali menggeleng. Perasaan selama ini ledekannya masih wajar-wajar saja. Atau....
Mata Angga membulat.
Pasti gara-gara cowok! Si Ocit mungkin lagi jatuh cinta tapi nggak kesampaian. Atau mungkin ada cowok yang nyakitin Ocit, ya?
Angga menggeram.
Ia lalu mengendap-endap mendekati telepon di ruang tamu yang persis berada di samping kamar Ocit. Dipencetnya beberapa nomor.
"Halo," ucapnya berbisik.
"Halo," terdengar nada heran di ujung.
"Dini, ya?" Angga masih berbisik.
"Iya. Ini siapa, sih?"
"Angga," bisik Angga lagi sambil melirik deg-degan ke pintu kamar Ocit.
"Siapa?"
"Angga," ulang Angga berbisik serak.
"Angga yang mana?"
"Angganya Ocit! Eh, Si Ocit kenapa, sih?"
"Kenapa bagaimana?" tanya Dini bingung.
"Kok dia nangis?" Angga kembali melirik kamar Ocit. Mudah-mudahan Ocit nangis terus dan nggak keluar! doanya dalam hati.
Dini terdiam di seberang.
"Aku tanya Si Ocit kenapa?" ulang Angga mulai tak sabar.
"Ng...."
Angga mendesis jengkel. "Mau ngomong nggak, sih?"
"Entar Si Ocit marah kalau...."
"Aku nggak bakal kasih tahu, deh!" sela Angga cepat.
"Bener?"
Angga mengangkat dua jarinya. "Eh! Bener! Bener!" ucapnya cepat, sadar kalau Dini tidak bisa melihatnya.
"Roy ngecewain Ocit."
"Apa?!" Angga berteriak marah. Ia mendekap mulutnya, kaget dengan suaranya sendiri. Matanya melirik curiga ke pintu kamar Ocit. Pintu itu tidak terbuka. Angga menghembuskan napas lega.
"Halo? Kamu masih ada?"
"Iya, iya! Si Roy tadi kenapa?" Angga kembali berbisik.
"Si Roy ngomong kalau dia tuh jatuh cinta sama Vera, padahal dia tahu kalau Ocit tuh suka kama di...."
"Kurang ajar!" desis Angga marah.
"Eh, tapi...?"
"Roy itu kelas berapa?" sela Angga.
"Kelas satu empat. Mau ngapain, Ga?" tanya Dini khawatir.
"Nggak kok!" Angga mengubah suaranya menjadi manis. "Cuma pengen tahu saja," bohongnya. "Sudah ya, dan makasih buat infonya," lanjutnya lagi mengakhiri.
"Eh, tapi bener lho, nggak bilang ke Ocit?"
"Bener! Bye-bye, Dini Manis!"
Angga mengepalkan tangannya. Senyumnya menghilang.
"Awas kamu!" geramnya dengan wajah sangar.
***



0

TALIKASIH OCIT DAN ANGGA ( CHAPTER 2 )

CHAPTER 2:
MASAK SENDIRI


"Ociiiit!" teriak Angga yang baru pulang. Ia meneguk segelas air es. Tapi Ocit tidak muncul.
Angga membuka pintu kamar Ocit. Cewek SMA kelas satu itu sedang asyik mendengarkan lagu lewat ipod.
"Hoooooi!" teriak Angga kencang membuat Ocit terloncat dengan wajah shock. Angga terkekeh. "Mama mana?" tanyanya tanpa merasa berdosa.
"Pergi!" jawab Ocit ketus.
"Lunch-nya kok nggak ada?"
"Mama nitip duit, beli sendiri katanya."
"Masak sendiri, ah!" kata Angga seambil berjalan keluar.
Ocit mengekorinya. "Mau masak apa, Ga?"
Angga membuka kulkas, menengok apa yang bisa dimakannya.
"Telur," jawabnya sambil mengeluarkan sebutir telur. Kemudian ia menyiapkan penggorengan dan menyalakan kompor. Dengan bersiul-siul kecil ia mulai memasak. Ia memang jago masak.
Telur yang telah dimasak ditaruhnya di piring lalu dipotong-potongnya menjadi kecil. Ia lalu mengambil tomat, bawang merah, cabe dan entah apa lagi lalu ia mulai memotong-motong semua itu.
"Katanya masak telur, kok pakai tomat?" tanya Ocit yang sedari tadi berada di sampingnya, heran.
"Telur kuah ala Angga," jawab Angga seenaknya.
Ia lalu mencampurkan semua itu dengan menambahkan bumbu-bumbu dapur Mama. Kemudian ia memasak lagi dengan memasukkan telur yang tadi, air dan entah apa lagi.
Ocit bingung.
Tercium bau harum yang membuat perut Ocit berteriak-teriak. Ocit menelan ludah. "Kayaknya enak ya, Ga?"
"Oh, so pasti itu. Angga!" balas Angga sombong.
"Masakin Ocit juga, dong!" pinta Ocit.
"Masak sendiri! Cewek nggak bisa masak, payah," omel Angga.
Ocit cemberut. "Ayo dong, Ga," bujuknya memelas.
Angga mencibir. "Nggak!"
Ocit berjalan pergi dengan wajah kesal bercampur sedih.
Angga melirik. Merasa kasihan juga. "Nih!" teriaknya keras. "Buat kamu. Awas kalau nggak dihabisin."
"Makasih ya, Ga," ucap Ocit sambil mengambil piring.
Angga memasang wajah galak, pura-pura tidak mendengar. Tapi sesekali diliriknya Ocit yang makan dengan lahap. Ada senyum di bibirnya.
***

0

TALIKASIH OCIT DAN ANGGA ( CHAPTER 1 )

CHAPTER 1:
OCIT DAN ANGGA


Buuum!
Angga yang tengah memandikan sepeda motor Tiger-nya tersentak kaget mendengar suara itu. Tanpa mencuci tangannya yang penuh busa shampo, ia berlari kencang ke kamarnya.
"Ociiiit!" Terdengar lengkingan Angga dari kamarnya.
Mama yang sedang membaca di ruang tamu menoleh heran.
Di dalam kamar, tepatya di samping buku-buku yang berserakan, Ocit tertunduk gemetar.
"Aku sudah bilang, jangan masuk ke sini!" omel Angga dengan suara menggelegar.
Ocit semakin gemetar. "So-sor-sori! Ocit nggak se-seng...."
"Nggak sengaja, nggak sengaja!" potong Angga ketus. "Ngapain kamu di sini?" tanyanya galak.
"Ocit cuma mau minjem...."
"Minjem, minjem!" sela Angga lagi, tidak memberi kesempatan pada Ocit. "Minjem apa nyolong?" Angga melotot.
"Minjem," jawab Ocit hampir menangis.
"Minjem tapi nggak bilang-bilang?! Mana berantakin kamar lagi!"
"Ocit beresin, deh...."
"Nggak usah!" sergah Angga tambah melotot. "Kamu keluar saja. Cepat!" usirnya seraya membuka pintu lebar-lebar.
Ocit melangkah pelan. "Tapi...." protesnya takut-takut.
"Apa tapi-tapi?!" Angga memasang tampang kejam.
Ocit berlari keluar dan duduk di samping Mama. Ia menyembunyikan wajahnya di belakang Mama.
Angga membanting pintu kamarnya dan berjalan keluar dengan mata yang masih terus melotot pada Ocit.
"Awas kalau berani masuk lagi!" ancamnya.
"Angga," lerai Mama sambil mengelus rambut Ocit.
"Dia yang salah, Ma. Masa kamar Angga diberantakin. Buku-buku pada jatuh semua," adu Angga.
"Kan Ocit cuma mau minjem buku," bela Ocit.
"Minjem apa nyolong?! Nggak minta izin dulu!" Angga mendekati Ocit yang segera bersembunyi kembali di belakang Mama.
Ocit seperti tikus yang hanya menongolkan sedikit kepalanya untuk menengok.
"Awas kamu kalau berani masuk lagi!" Angga mengacungkan telunjuknya yang tertutup busa pada Ocit yang cemberut.
"Angga!" tegur Mama.
Angga mencibir. "Dasar anak manja!"
***


0

BIANG DIHATI YANG MERINDU

"Cinta tak dapat dipaksakan.
Ia tumbuh alami di dasar hati dengan kinasih.
Memaksakan kehendak cinta pada seseorang
hanya akan mendatangkan kehancuran,
dan bukannya kebahagiaan!"
(Effendy Wongso)


Setidaknya kejadian pagi tadi akan menjadi ingatan yang tidak bakal pupus dari benak Rida. Semuanya terjadi secara tiba-tiba dan mendadak. Uh. Rida menarik napas panjang. Dadanya penuh. Tapi, lupakanlah. Toh semuanya telah terjadi. Dede tidak tersakiti bila ia misuh-misuh begini. Malah, ia sendiri yang rugi. Sakit.
Rida menghempaskan pinggulnya di atas busa lunak sofa kecil di samping ranjang. Begini sepertinya lebih baik. Sedari tadi juga ia mondar-mandir dan bolak-balik seperti robot mini bertenaga baterai punya Rido, adik bungsunya. Memang sangat tidak mengenakkan memikirkan peristiwa tadi. Apalagi kalau itu terjadi di muka umum. Di depan mata dan kepala teman-teman sekelas pula. Ufh. Malu-maluin saja!
Bukan karena apa. Cowok muka badak Dede itu rupanya perlu dikasih pelajaran tentang malu. Bayangkan, masa ia datang pagi-pagi sekali lantas langsung mengamuk-ngamuk kayak kuda mabuk. Dan, ini biangnya! Ia mengungkit-ungkit kenangan silam, yang semestinya telah dikubur dalam-dalam. Seharusnya. Tapi ia....
***
Pukul 10.00 Wita,
Jam Istirahat Pertama di Sekolah


Rida mengernyit. "Eh, De. Kok, di sini?" Lima detik ia tertegun sampai akhirnya bertanya kembali. "Ka-kapan datang?"
"Kemarin malam." Ketus kalimat balasan yang keluar dari bibir simetris seorang cowok berbadan tegap.
"O," Rida mengangguk samar, kemudian memaksa secuil senyum yang samar pula di bibirnya.
"Aku ingin bicara." Cowok itu mendesak. "Penting."
Sebersit rasa was-was perlahan melingkup hati Rida. Firasatnya mengatakan ada yang tak beres kali ini. Entah soal apa. Yang pasti Dede tidak akan senekat ini ke sekolah jika tidak ada sesuatu hal yang sangat penting. Mudah-mudahan bukan dari rumah sakit atau kantor polisi. Lha, ngapain ia membolos kuliah datang ke Bone?!
Dan nyatanya letak persoalan bukan dari kedua tempat yang sempat dikuatirkan Rida. Ia pun menghela napas lega. Namun, ada gamang lain yang justru bercokol di hatinya.
"Kemasi buku-bukumu. Tas sekolahmu. Kita bicara di rumah Nenek," desak cowok berkulit hitam manis yang bernama Dede itu.
"Se-sekarang?" Alis Rida bertaut. "Untuk apa?"
"Banyak hal yang ingin disampaikan oleh Nenek padamu," jawab Dede diplomatis.
"Soal apa sih, De?"
"Di rumah Nenek nanti kamu akan tahu. Nah, sekarang kita pulang!" Dede mendesak tidak sabaran.
"Baik. Kita ke rumah Nenek. Tapi setelah bubaran sekolah nanti. Oke?" Rida menolak.
"Tidak. Ini soal penting." Dede menarik pergelangan tangan Rida. Hanya tiga kedip. Karena Rida menghentak protes.
"Hei... apa-apaan kamu ini, De?!" Rida melotot. Tidak senang diperlakukan demikian. Dan ia melangkah karenanya. Cuma setindak ke depan. Sebab pada langkahnya yang kedua, pergelangan tangannya kembali ditarik.
"Pulang, Ri!"
"Gila kamu. Aku kan sekolah!"
"Aku sudah minta izin sama Guru Piket."
"Ta-tapi, aku ada ulangan pada jam terakhir."
"Ikut susulannya saja."
"Enak saja kamu ngomong begitu." Rida semakin kesal. "Pokoknya aku tidak mau pulang."
"Kenapa, kenapa, Ri?" Dede menuntut. "Kenapa kamu selalu menolakku?!"
Rida membelalak. Lintasan kenangan silam tiba-tiba terekam jelas dalam memori otaknya. Tentang sebuah hubungan yang disalahartikan. Tentang....
"Ak-aku...."
Ya, Rida masih ingat benar kisah dua tahun silam. Pada sebuah pertemuan dilatari lembayung senja yang indah, Dede, sepupu jauhnya mengungkapkan perasaan hatinya yang sarat dengan kerinduan. Kerapnya pertemuan antara ia dan Rida telah mengakarkan rasa lain di luar daripada persaudaraan. Tentu saja Rida menolak. Baginya, Dede tak lebih dan tak kurang dari seorang saudara. Kakak.
"Kenapa?!" Dede emosional. Kini ia mengguncang bahu Rida yang masih larut dalam ketersimaan. Yang masih belum habis pikir, dan sama sekali tidak menyangka kalau seorang Dede masih terus menuntut cintanya. "A-apa sih kekuranganku hingga menolakku terus?!"
"Ka-kamu...?" Mata Rida memerah. Kedua tangan kekar Dede masih menggenggam lengannya.
"Oke, oke. Kalau kamu tidak bisa menjawab sekarang, mungkin di rumah Nenek kamu dapat menjelaskan segalanya." Dede melepas tangannya yang terangkum erat di lengan Rida. Bermaksud untuk bersikap lunak. "Kita pulang sekarang. Oke?"
Tapi Rida bersikeras tidak mau pulang. Ia sudah kepalang dikasari. Cowok itu memang begitu. Pembawaannya kasar. Temperamental. Semua permasalahan diselesaikannya dengan cara emosi. Padahal Rida tidak suka begitu. Memang sangat jauh berbeda dengan Hari....
"Ayo, pulang!" Dede kembali mendesak. Kali ini dengan suara yang mengeras.
"Aku bilang tidak, tidak!" Rida menjerit. Tanpa ia sadari, ia telah menyita perhatian teman-teman kelasnya. Satu per satu siswa berkerumun. Suasana semakin keruh. Dede kalap. Rida tidak mau mengalah.
"Nenek menunggumu!"
"Bukan hal yang sangat penting bila itu mengganggu kelancaran studiku!"
Dede mendengus keras. "Kalau perlu aku akan minta izin sama Kepala Sekolah."
Rida galau. Entah harus ngomong apa. Cowok itu terlalu tegar untuk dibikin mengerti. Padahal sudah tiga kali ia menolak dan mengungkapkan keterusterangannya bahwa, ia hanya menganggap Dede sebagai seorang kakak. Namun Dede sendiri yang tidak mau mengerti. Dan kini ia membawa nama-nama Nenek. Memang Nenek pernah mengusulkan supaya Dede dijodohkan dengan Rida. Nenek beranggapan lebih baik memilih pasangan hidup dari pihak keluarga. Alasannya, asal-usulnya jelas.
Itu bagi Nenek. Tapi bagi Mami, tidak! Karena Mami mempercayakan kebebasan memilih ada di tangan anak-anaknya sendiri. Jodoh tidak bisa dipaksa-paksakan. Tidak etis lagi.
"Pulang, Ri!" Kali ini Dede menyentak lengan Rida separuh menyeret.
"Tidak!"
Mendadak bibir Dede mengikal. "O, aku tahu. Aku tahu. Pasti gara-gara si Jelek orang ketiga itu, kan?!"
"Ja-jangan bawa-bawa nama dia!" Rida membentak. Sekarang ia sudah tidak peduli lagi pada kerumunan siswa yang menonton pertengkaran.
"Siapa cowok biang pengacau itu?!" Dede berkacak pinggang dengan judesnya setelah ia melepaskan cekalan tangannya.
"Kamu tidak perlu tahu."
"Oh, why not?!"
"Karena bukan urusanmu!"
"Siapa yang bilang begitu? Urusanmu adalah urusanku. Kamu tidak bisa mengelak itu."
"De, harus aku katakan berapa kali hingga bisa bikin kamu sadar? Seratus kali, seribu kali, atau...."
"Cu-cukup, Ri!" Dede menyalib gusar. "Sudah cukup kamu mempermainkan aku!"
Rida tercengang bagai disengat listrik. Ia tahu Dede sudah kelewat jauh menafsirkan hubungan mereka dulu. Kalau ia berakrab-akrab dengan Dede, itu lantaran ia merasa tidak ada sekat yang mengantarai hubungan mereka. Toh mereka adalah saudara. Saudara misan. Lagipula, itu sudah merupakan sifat Rida yang selalu pingin bermanja-manja dan riang begitu.
"Kamu terlalu banyak memberiku harapan, lantas kamu...." Dede tercekat. Matanya memerah. Tangannya mengepal dengan rahang yang mengeras pula.
"A-aku telah menjelaskan semuanya, De. Kuharap kamu mau mengerti," desis Rida pelan.
"Mungkin aku akan mengerti seandainya tidak ada Hari-mu itu!" teriak Dede keras.
Tangan Rida seolah mengejang. Dari mana pula Dede tahu tentang Hari? Ah, persetan dengan semua itu. Rida tidak pingin tahu dari mana si Muka Tebal ini mendapat informasi tentang kekasihnya. Ia juga tidak peduli sampai sejauh mana Dede mengetahui hubungannya dengan Hari. Yang penting, ia mengharap Dede mau berlapang dada. Menerima kenyataan yang sebenarnya bahwa Rida hanya menganggapnya sebagai seorang kakak. Tidak lebih.
"Ka-kamu...." Bibir Rida bergetar menahan tangis.
Dan pertengkaran pun berakhir setelah beberapa guru datang menyurutkan keributan. Rida dan Dede dipersilakan masuk ke Ruang BP. Menyelesaikan semua masalah secara dingin. Bukannya mengganggu kelancaran belajar-mengajar di sekolah.
"I-ingat, Ri. Bagaimanapun juga, aku mesti menyelesaikan masalah ini dengan Hari-mu itu! Dia, dia telah merusak semuanya!" ancam Dede sesaat sebelum mereka meninggalkan Ruang BP.
"Dede...!"
Dede meninggalkan ruangan. Tak peduli teriakan Rida.
***
Malam ini Rida gelisah sekali. Selain kejadian pagi tadi yang tidak mengenakkan, ia juga selalu memikirkan ancaman Dede. Dede tidak main-main dengan ancamannya. Rida tahu betul sifat Dede itu. Bukan tidak mungkin ia akan bertindak bodoh. Nekat.
Ah. Mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa. Besok, ia akan menyelesaikan semua masalahnya dengan Dede secara kekeluargaan. Termasuk dengan Nenek. Biar orangtua dari pihak Mami itu dapat mengerti. Siang tadi ia sudah menceritakan semuanya pada Mami. Mami sendiri nampak terkejut. Juga tidak menyangka Dede masih bersikap sekeras dulu untuk terus mengejar Rida. Terus terang, Mami kurang setuju Rida jalan bareng Dede. Soalnya anak itu dinilai kurang sopan. Lagaknya sombong. Mungkin karena ia terlahir dalam keluarga berada. Hingga terbiasa hidup mewah dan manja.
Rida masih saja gelisah. Juntaian-juntaian bilah rambut lurusnya yang jatuh di bahunya jadi mengikal. Entah berapa lama ia asyik memilin-milin rambutnya sampai akhirnya terdengar suara bel di ruang tamu berbunyi.
"Ada apa sih, Ri? Kok, kusut amat?" Cowok bermata elang yang sebulan belakangan ini mengakrabi hidup Rida, bertanya dengan nada gurau.
"Tidak ada apa-apa, kok," elak Rida berdusta. Ia menyambut Hari di bawah bingkai pintu.
"Pasti ada apa-apa kalau muka kamu keruh begitu," selidik Hari seraya menyembulkan sepasang lekuk indah di sudut bibirnya.
Rida menundukkan kepalanya. Menyembunyikan buncah risau yang menyesaki dadanya sejak siang tadi.
"Ada apa sih, Ri?" Pertanyaan ulang Hari terlontar saat ia telah mengempaskan dirinya di kursi sofa ruang tamu.
"Aku...."
"Aku sudah tahu, Ri." Hari menggeser tubuhnya ke samping, nyaris menyentuh tubuh mungil Rida yang duduk di sudut kanan kursi.
"Ja-jadi...."
"Dede sore tadi ke rumahku. Aku tidak tahu dari mana dia mendapatkan alamatku. Tentu saja bukan dari kamu, kan?"
"Tentu saja bukan." Rida mencoba bersikap tenang. "Ngapain saja dia? Kamu tidak diapa-apakan, kan?"
"Tidak. Dia memperkenalkan dirinya sebagai tunangan kamu. Tapi selain itu, dia juga menceritakan se...."
"De-Dede bohong, Har!" Rida bangkit dari duduknya.
"Iya, iya. Aku tahu," Hari merengkuh pinggang Rida, mengajaknya duduk kembali sekaligus menenangkannya.
"Lalu dia bilang apa lagi?"
"Banyak. Tentang masa lalu kalian. Tentang hubungan kalian yang telah direstui oleh keluarga. Juga...."
"Ta-tapi Mami sendiri tidak setuju. Apalagi aku!"
"Iya, iya. Aku tahu. Kamu kan pernah menceritakan padaku tentang hal itu. Masih ingat?"
Rida mengangguk.
"Tapi terus terang, aku tidak mau dianggap biang perusak hubungan kalian. Dede bilang kalau kehadiranku menjadi penyebab retaknya hubungan kalian." Hari meneguk ludahnya dengan susah payah.
"Di-dia bohong! Aku tidak pernah mencintainya lebih dari sebatas saudara. Aku sudah menganggap dia sebagai seorang kakak. Tidak lebih, Har. Apalagi dia itu masih sepupu denganku." Rida terisak. Menjatuhkan kepalanya di bahu Hari.
"Dede mencintaimu, Ri. Dia bahkan memaksa aku mau mengerti dan mundur," bisik Hari getas.
"Dan... ka-kamu mau menerima permintaannya?!" Rida sesenggukan, masih merebahkan kepalanya di bahu Hari.
"Tidak!"
"Ke-kenapa?"
"Karena aku mencintaimu!" ©

0

PASTIKAN DIA JANGAN MENUNGGU ( THE END )

CHAPTER 7:
PASTIKAN DIA JANGAN MENUNGGU

"Seharusnya Mas Ray tidak perlu repot-repot begini. Sampai mengantarkan segala. Aku sudah minta tolong Warnie."
"Warnie datang kemarin. Tapi aku katakan, ingin aku antar sendiri."
"Ada yang penting?" Kishi duduk di hadapan Ray. Menatapnya.
"Kalau tidak penting, tidak boleh menemuimu?"
"Bukan begitu. Biasanya Mas Ray kan...."
"Tidak pernah mencarimu, apa lagi sampai ke rumah?" potong Ray tersenyum. "Selama ini aku terlalu sibuk dengan diriku sendiri, ya?"
"Tak apa. Melukis toh bukan hal yang jelek."
"Bukan itu. Maksudku...."
Kishi menunduk. "Aku mengerti."
"Seharusnya aku bisa lebih memahamimu."
"Tidak perlu. Pahami saja keinginan Mas Ray." Kishi menelan ludah pahit. "Sudah terima amplop coklat yang kutitipkan?"
"Ya."
"Tito bilang, itu panggilan kerja untuk Mas Ray."
Ray mengangguk. "Pertambangan minyak di Batam."
"Mas Ray terima?"
"Menurutmu bagaimana?"
"Aku tidak punya pendapat untuk itu." Kishi menggeleng. "Kenapa tidak bertanya pada Mbak Ika?"
"Ika?" Ray memajukan tubuhnya. "Karena kamu melihatku memeluknya?"
"Sebenarnya bukan cuma itu."
"Apa lagi?"
"Aku tidak ingin membicarakannya."
"Kamu belum tahu secara pasti bagaimana aku dengan Ika. Kenapa langsung memutuskan?"
"Itu masalah pribadi Mas Ray. Kenapa aku harus tahu?" elak Kishi. "Kenapa harus dibicarakan padaku?"
"Karena kamu tersangkut di dalamnya."
"Aku?" Kishi tertawa. Pahit. "Aku bukan apa-apa."
"Kalau kamu bukan apa-apa, dia tak akan cemburu. Ika bukan tipe orang yang bisa menyerah begitu saja sebelum bertanding."
"Tidak perlu ada pertandingan. Toh memang sudah ada pemenangnya."
"Kamu!" Ray mengultimatum. "Kamulah pemenangnya!"
"Pembicaraan apa ini? Mas Ray ngawur!" Kishi bangkit. Bagaimana dia bisa tahan duduk berhadapan begitu dan membiarkan Ray mempermainkan perasaannya, mengobrak-abriknya?
"Duduk, Kish. Aku belum selesai."
"Apa lagi?!"
"Aku diwisuda besok."
"Lalu?"
"Mau mendampingiku?"
"Kenapa tidak minta pada Mbak Ika?"
"Ika lagi, Ika lagi!" Ray menggeleng kesal. "Aku minta padamu! Bukan Ika!"
"Apa yang Mas Ray inginkan sebenarnya?"
"Waktu Ika meminta kembali, aku tidak tahu kenapa tidak ada lagi yang bisa kuberikan padanya. Di hatiku sudah tidak ada namanya lagi. Di hatiku hanya ada kamu...."
Kishi menggeleng.
"Aku bukan apa-apa bagi Mas Ray. Aku bukan apa-apa...."
"Karena aku tidak pernah membalas semua yang kamu berikan?"
"Memang tidak harus, kan?"
"Kishi, waktu kamu ke paviliun saat itu...."
"Aku tidak ingin mendengar penjelasan Mas Ray tentang alasan memeluk Mbak Ika seperti itu. Itu urusan Mas Ray."
"Urusanmu juga." Ray menatap tajam. "Aku perlu menanyakan ini, Kish. Sebelum kuputuskan ke Batam atau tidak."
"Mas Ray akan ke Batam?" Kishi menatap Ray tanpa menyadari matanya menyimpan kepanikan.
"Tergantung jawabanmu."
"Aku?"
"Ya, bukan Ika! Please, jangan bicarakan dia lagi. Kita sedang mendiskualifikasikan dia." Ray menarik napas sejenak. "Kamu ingin aku pergi ke Batam dan terikat kontrak yang memisahkan kita begitu lama?"
Kishi tak tahu harus menjawab apa. Kalau menuruti kata hatinya, maka dia ingin menjawab tidak.
"Mas Ray ingin pergi?"
"Bagiku, kerja di manapun sama saja kalau tidak ada kamu. Tapi kalau ada kamu, kupilih kerja di sini. Sudah ada perusahaan lagi yang menawariku. Kalau kamu ingin kita tidak berpisah, minta aku jangan pergi!"
Kishi mendongak. Menatap hitamnya mata Ray yang bagus.
"Aku tidak ingin Mas Ray pergi," ucapnya pelan. "Aku...."
Ray menarik gadis itu ke dalam pelukannya.
"Aku tak akan pergi," jawabnya pasti. "Aku tak akan pergi!" ©

0

PASTIKAN DIA JANGAN MENUNGGU ( CHAPTER 6 )

CHAPTER 6:
HATIKU PATAH

"Mau tolong aku, Nie?"
"Apa?"
"Kalau pulang lewat rumah Mas Ray, kan?"
"Kadang-kadang. Memangnya kenapa?"
"Kalau lewat, tolong mampir sebentar. Ada beberapa barangku yang tertinggal di tempatnya."
Warnie menoleh. Menatap Kishi dengan dahi berkerut.
"Ada apa denganmu?"
"Tidak ada." Kishi tersenyum.
"Kenapa harus aku yang datang? Bukan kamu?"
"Aku sibuk. Mesti belajar untuk ujian semester."
"Biasanya minta Ray yang mengajarkan."
"Merepotkan dia saja."
"Hei, ada apa denganmu?" ulang Warnie heran.
Kishi menarik napas panjang, menunduk sedikit.
"Kamu benar. Aku memang bukan apa-apa untuk Mas Ray."
"Oo, Kish." Warnie memeluk Kishi. "Dia mengatakan itu padamu?"
"Aku melihatnya sendiri. Ika kembali."
"Dia bilang akan kembali pada Ika?"
"Mas Ray tidak menjelaskan apa-apa. Aku melihatnya memeluk Ika. Apa itu tidak menjelaskan segalanya?"
"Kish!"
Kishi menelan ludahnya dengan susah payah.
"Seharusnya aku mengerti sejak dulu," ungkapnya.
"Kalau saja kamu mau mendengarkan aku."
"Ya. Tapi tidak ada gunanya memang. Sudah selesai. Semua." Kishi tersenyum pahit. "Jangan lupa, ya? Tolong ambilkan barangku."
"Mau titip sesuatu untuk Ray?"
Kishi menggeleng.
"Tak akan ada gunanya."
***
"Nah, itu dia pulang!"
Kishi tertegun di ambang pintu. Mama berdiri dari duduknya. Menyambutnya. Tapi yang membuat Kishi bingung adalah kehadiran Ray di ruang tamu sekarang.
"Ke mana saja, Kish? Sudah ditunggu lama, tuh."
"Jalan-jalan."
"Tante tinggal ke dalam ya, Ray."
Ray mengangguk. "Terima kasih, Tante."
Pandangannya dialihkan ke Kishi setelah Mama gadis itu menghilang. Sementara Kishi masih saja berdiri di tempatnya.
"Kenapa melihatku seperti melihat UFO?"
Kishi tertawa kecil. "Tumben Mas Ray kemari? Ada apa?"
"Mengantarkan barang-barangmu."
***

0

PASTIKAN DIA JANGAN MENUNGGU ( CHAPTER 5 )

HAPTER 5:
AIRMATAKU MENITIK


"Ada telepon untuk Kishi, Mam?"
"Tidak." Mama mendongak, menatap Kishi sambil berkerut. "Kamu nunggu telepon dari siap sih, Kish? Penting ya sampai nanyain tiap hari?"
Kishi tersenyum pahit. Menggeleng perlahan. Jadi Warnie benar. Dia memang tidak berarti apa pun untuk Ray.
Sudah lebih dari sebulan Kishi tidak lagi menemui Ray. Terakhir adalah saat Kishi mengantarkan amplop titipan Tito. Itu pun Ray tidak ada di rumah. Dia hanya ditemani Mama Ray. Setelah itu Kishi menjauh. Mencoba menahan diri. Dia harus tahu, apa memang ada yang bisa diharapkan.
Tapi ternyata tidak! Sama sekali tidak!
Ray tidak mencarinya. Tidak menelepon. Tidak datang ke rumah.
Mungkin dia memang harus melupakan. Tidak usah mengharapkannya. Tapi bisakah? Sebulan ini saja Kishi sudah merasa kehilangan.
"Oya, Kish. Tadi Warnie datang. Katanya, mau pinjam diktat organik buat kuis besok. Mama suruh cari sendiri di kamarmu. Tapi katanya tidak ada."
Tertinggal di tempat Ray saat Kishi memaksa cowok itu mengajarkannya sebelum ujian kemarin. Dan dia lupa mengambilnya kembali untuk dipinjam Warnie besok.
"Kishi pergi dulu, Mam."
"Lho, baru pulang kok mau pergi lagi?"
"Ambil diktat di rumah teman. Kasihan Warnie, besok dia perlu sekali."
Sekalian mengambil semua barangnya yang tertinggal di paviliun Ray.
***
"Mas Ray ada, Mbok?" Rumah besar itu sepi saat Kishi tiba di sana. Cuma Mbok Tinah yang menyambutnya.
"Ada di paviliun, Non. Biasa, sedang melukis. Masuk saja ke dalam."
Kishi melangkah masuk. Menyusuri taman belakang yang luas sebelum sampai ke paviliun.
"Mas Ray!"
Kishi tertegun di ambang pintu. Batal melangkahkan kaki untuk masuk. Merasakan seluruh dunia berputar balik. Dan dia terjebak dalam pusaran tanpa henti.
Ray menoleh. Mendapatkan Kishi tertegun di ambang pintu. Dia bisa membaca seluruhnya. Keterkejutan. Kesakitan. Semua di mata itu. Perlahan dilepaskannya pelukannya pada Ika.
"Kishi."
"Maaf, aku tidak tahu kalau Mas Ray ada tamu." Kishi mencoba tersenyum.
"Tak apa." Ray menghampiri. Tenang seperti biasa. "Oya, kenalkan. Ini Ika. Ka, ini Kishi."
Kishi melebarkan senyumnya. "Maaf mengganggu. Aku cuma mau mengambil barang-barangku yang tertinggal."
"Berserakan di mana-mana."
"Tidak penting, kok. Cuma diktat itu yang mendesak. Bisa tolong ambilkan, Mas Ray?"
Ray meraih diktat organik Kishi di atas lemari.
"Terima kasih. Aku pulang."
Kishi berbalik cepat. Melangkah cepat melintasi taman belakang rumah Ray.
"Kish!" kejar Ray. "Katanya mau mengambil barang-barang yang lain?"
"Tidak begitu penting. Bisa tolong dikumpulkan dulu, Mas Ray? Nanti kuminta Warnie mampir mengambilkannya. Dia suka lewat sini kalau pulang."
"Kenapa tidak diambil sendiri?"
"Aku sibuk. Sudah hampir ujian semester. Harus belajar keras."
"Tidak ingin kuajari seperti biasa?"
"Nanti mengganggu Mas Ray. Lagipula, aku harus mandiri kan?" Kishi tersenyum lagi. Menyamarkan semua rasa yang sempat terlihat Ray tadi. "Aku pulang, Mas."
"Kuantar, Kish."
Hampir setahun berada di dekat Ray, menghampirinya selalu, Ray tidak pernah menawarinya mengantar pulang. Pun setelah seharian Kishi menemaninya di paviliun. Atau membereskan paviliun yang seperti kapal pecah. Ray bahkan tidak pernah mengantar sampai ke depan rumah, tempat Kishi memarkirkan mobilnya.
Lalu kenapa baru sekarang, setelah segalanya terlambat?
"Aku bawa mobil."
"Kuantar sampai depan."
"Tidak usah. Mas Ray kan ada tamu. Tuh sudah ditunggu."
"Hati-hati, Kish."
Kishi mengangguk. Ray bahkan tidak pernah berpesan seperti itu.
Di dalam mobil, airmata Kishi mengalir deras.
***

Back to Top