0

NARSISI MENGUMPULKAN KEPINGAN DIRI

Oleh: Dwi Afrianti 

“Mirror Mirror on the wall, siapakah wanita tercantik sejagad ini?” Narsisi, Sang Putri, seperti biasa, tiap bangun pagi ´mengkoreksi´ dirinya kepada sebuah cermin antik masa purba yang menempel pada sebuah dinding, yang antik purba juga.
“Oahm …………..,” Sang Cermin, sambil menguap, menggeliat. Matanya masih sipit, belum dapat dibuka sempurna, tapi telinganya sudah tajam mendengar pertanyaan, yang, serupa setiap pagi sedari zaman purba sampai dengan sekarang. “Engkau, Putriku, tak ada yang lain.”
Narsisi, Sang Putri mengangguk, puas.
————————
Siangnya, Narsisi, Sang Putri, harus mengikuti sekolah. Sekolah “Anak Negri” namanya. Semua anak yang hidup di negri tempat tinggal Narsisi, Sang Putri, yaitu Negri Pusaka, harus bersekolah di dalamnya. Kelas yang dimasuki tergantung usia perjalanan hidup. Bidang studinya banyak sekali dan banyak yang tidak dapat melalui ujian tiap bidang studi dengan baik. Bagi yang berkemauan kuat, walaupun mengalami kegagalan, ia akan tetap berusaha mempelajari bidang studi tersebut sampai benar-benar lulus.
Sebagaimana sebuah pelajaran pada sebuah sekolah, ada teori dan praktek yang harus diikuti. Praktek adalah penerapan teori, di mana dalam sekolah “Anak Negri”, penerapan teorinya berlaku kapanpun dan di manapun berada.
“Narsisi, jangan lakukan itu. Kamu ini … tidak tahu malu!! Sombong sekali kamu! Bukalah baju bagusmu itu, gantilah ia dengan baju karung beras atau kain kapan. Tahu kain kapan kamu? Itu, tuh … kain pembungkus mayat,” salah seorang temannya, Sang Putra, menegurnya ketika siang itu di sekolah, Narsisi, Sang Putri mengenakan pakaian terbaiknya. Ia ingin tampil sangat cantik pagi itu, maka digunakannyalah pakaian terbaiknya, alias pakaian terbagusnya. Pakaian yang pernah dipakainya ketika berdansa dengan salah seorang pangeran tampan dari negri seberang, yaitu Negri Celestial.
“Ah, tidak. Aku tidak sedemikian. Tidak ada maksudku ingin sombong dengan baju yang kukenakan ini. Aku hanya ingin tampil cantik. Itu saja. Bukankah ketika cantik, banyak yang akan suka melihatku? Kecantikan menebar kebahagiaan pada orang lain yang memandangku. Bukankah begitu? Kecantikan itu merupakan sebuah keindahan. Tuhan pun bahkan cantik. Malaikat juga cantik. Para nenek moyang kita, juga cantik. Lalu, salahkah aku jika aku ingin tampil cantik juga?”
“Kamu salah jika mengatakan bisa tampil cantik dengan hanya mengenakan baju terbagus yang kamu miliki!” lalu Sang Putra ngeloyor pergi, meninggalkan Narsisi, Sang Putri, duduk tertegun di kursi belajarnya.
———————–
“Mirror Mirror on the wall, siapakah orang terjelek di dunia ini?” Narsisi, Sang Putri, seperti biasa, tiap bangun pagi ´mengkoreksi´ dirinya kepada sebuah cermin antik masa purba yang nempel pada sebuah dinding, yang antik purba juga.
“Oahm …………..,” Sang Cermin, sambil menguap, menggeliat. Matanya masih sipit, belum dapat dibuka sempurna, tapi telinganya sudah tajam mendengar pertanyaan, yang, serupa setiap pagi sedari zaman purba sampai dengan sekarang. “Engkau, Putriku, tak ada yang lain.”
Narsisi, Sang Putri mengangguk, namun hatinya merasa tidak puas.
Narsisi, Sang Putri, langsung marah dikatakan paling buruk sejagad. Ia ingin cantik sejagad, tapi kenapa Sang Cermin mengatakan ia adalah terburuk sejagad?
Wahai, Narsissis, Sang Putri, tahukah kamu?
Bagaimana pertanyaanmu kepada Sang Cermin, maka itulah jawabannya. Kamu harus pintar bertanya agar jawaban Sang Cermin dapat memuaskan hatimu, namun tidak membuatmu terlena dengannya.
Narsisi, Sang Putri, belum dapat mengunyah pelajarannya dengan baik. Banyak yang ia tidak pahami; teori, apalagi praktek. Lihat! Sekarang lihat apa yang dilakukannya?
Cermin antik zaman purba itu telah pecah berkeping-keping dengan pukulan Jurus “Tangan Besi”. Narsisi, sang Putri, telah menghancurkan cerminnya sendiri, tanpa berpikir panjang. Ia tidak berani lagi menatap dirinya di dalam cermin. Mungkin lebih baik begitu saja, pikirnya, daripada menyusahkan aku setiap hari harus menerima “siapa” diriku ini.
Aduh, Narsisi, semestinya bukan begitu seharusnya cara kamu memperlakukan Sang Cermin. Kamu walau bagaimanapun, tetap harus berani melihat dirimu, seburuk apapun dirimu. Itu adalah dirimu yang harus kau terima. Siapa lagi yang akan lebih dapat menerima dirimu selain kamu sendiri?
Sekarang Sang Cermin benar-benar telah hancur. Apakah benar itu yang kamu inginkan?
Lihat saja, kamu akan kesusahan sendiri nantinya, karena kamu akan sangat susah melihat siapa dirimu tanpa Sang Cermin. Kepingan-kepingan Sang Cermin hanya akan memantulkan sisi terpisah dari dirimu, bukan seutuhnya. Mengertikah kamu itu?
Sudahlah, sudah terlanjur kulakukan, gumamnya.
—————
Mulai pagi itu hingga sampai kapan, Narsisi, Sang Putri, mempunyai rutinitas baru, yaitu mengumpulkan kepingan Sang Cermin. Kalau beruntung, sesekali ia bisa melihat sisi lain dari dirinya. Lumayanlah, katanya, daripada tidak sama sekali. Siapa tahu, katanya, ketika kepingan Sang Cermin ini telah menyatu, “aku telah semakin bijak dalam bertanya dan menerima jawaban.”

http://dwiafrianti.wordpress.com/2010/06/29/narsisi-mengumpulkan-kepingan-diri/


0

BAYANGAN YANG HILANG

Parno semaput. Bayangannya tiba-tiba hilang. Sedang bayangan teman-temannya tetap ada menjulur sekian derajat ke sebelah barat.
"Lho, bayanganku mana?" serunya terkejut.
Teman-temannya saling pandang.
"Kok bayanganku tak ada?" Parno berlari ke sungai. Ia bertambah panik karena bayangan dirinya tak menampakkan wujud aslinya. Tuhan tak adil! Bukankah aku belum mati, dan kenapa bayanganku tak ada?! gerutunya dalam hati.
"Ragil, kamu lihat bayanganku?" tanya Parno sekembali dari sungai.
"Tersangkut di pohon barangkali!" sahut Ragil sekenanya.
"Jangan bercanda kamu, Gil!" hardik Parno kesal.
"Bukannya kamu yang bercanda dengan pertanyaanmu itu?"
"Aku serius, Gil. Coba lihat, bayanganku tidak ada, kan?"
Ragil memperhatikan tubuh Parno yang berdiri tegak. "Gila! Tak ada bayangannya!" teriaknya tak sadar. Terus memanggil teman-temannya yang lain. Teman-teman lainnya pada bingung.
"Eh, ke mana bayangan diri kamu, Parno?" tanya Parmin terheran-heran.
Lalu Darto mengelilingi tubuh Parno, " Kok bisa ya, bayanganmu tidak kelihatan? Sedang matahari begitu tajam menyorot kita!" Akhirnya ketiga temannya itu kabur meninggalkan Parno yang bingung, berteriak sendirian:
"Bayangan Parno hilang! Bayangan Parno hilaaannngg!"
***
Kejanggalan yang dirasakan Parno tidak akan diketahui orang lain jika Parno tidak over akting. Tapi karena Parno sering panik sendiri akhirnya semua orang jadi tahu kalau kepanikan Parno itu dikarenakan ia merasa kehilangan bayangannya sendiri. Orang-orang yang akhirnya jadi pada tahu itu, akan memperhatikan tindak-tanduk Parno jika lewat di depannya. Akibatnya Parno jadi sering salah tingkah atau menjauhkan diri dari terik matahari agar 'kejanggalannya' tidak begitu tampak. Parno akhirnya sering memilih berjalan di tempat yang teduh atau membawa payung untuk menghindari sorot matahari.
"Lihat si Parno, kayak banci saja siang-siang begini pakai payung!" celoteh Mirjan yang tidak tahu masalah yang sedang dihadapi Parno.
Orang-orang yang melihatnya pada tertawa.
"Pantatnya sambil digoyang, dong," teriak Gojek memberi aplus.
Parno jadi serba-salah. Tujuannya bawa payung untuk mengelabui orang-orang yang tidak tahu bila dirinya sudah tidak punya bayangan. Bukan untuk bergaya. Sial! gerutu Parno, kesal.
Di rumah, Parno merenung. Kenapa ia kehilangan bayangan dirinya. Apakah bayangan diri itu bisa hilang seperti barang-barang lainnya? Misalnya seperti benda-benda yang ada di dalam rumahnya? Kalau dicuri, apa bayangan bisa dijual? pikiran Parno mulai ngelantur. Mau cerita kepada ibunya, tak mungkin karena ibunya sudah lama meninggal.
"Rini, apakah kamu punya bayangan?" tanya Parno kepada adiknya yang sedang asyik membaca buku.
"Bayangan apa maksud, Mas?"
Parno menarik tangan adiknya terus diajak keluar rumah. "Coba kamu berdiri tegak," pinta Parno.
Rini yang masih bingung itu menuruti saja perintah kakaknya. Rini menegakkan diri di bawah matahari. "Nah, tuh kan, kamu punya bayangan. Tapi kenapa...," Parno tak meneruskan ucapannya.
"Kenapa apanya, Mas?" kejar Rini semakin tak mengerti.
"Kamu tidak melihat, Rin? Kamu tidak melihat bayangan yang lepas dari tubuhku?"
Sang Adik memperhatikan tubuh kakaknya dari kepala sampai ke kaki. "Hah! Mas Parno tidak punya bayangan? Ba-Bapaaakk," Rini berlari ke dalam rumah meninggalkan Parno sambil berteriak-teriak memanggil ayahnya.
***
"Kurang ajar! Siapa yang mencuri bayanganku?" tukas Parno sambil berjalan menuju stasiun siang itu. Kereta tiba-tiba lewat di jalur sebelahnya. "Kereta saja punya bayangan, masak aku tidak!"
Kereta yang baru datang itu berhenti di jalur empat. Para penumpang berhamburan keluar sambil menenteng bawaannya melewati Parno yang tengah dilanda kebingungan yang amat sangat. Parno melihat semua penumpang yang turun dari kereta memiliki bayangannya sendiri-sendiri. Ini benar-benar aneh, pikirnya. Lalu ia berdiri di dekat WC umum, tujuannya untuk menghindari terik matahari. Ia melihat kantin. Beberapa orang tengah makan siang di kantin itu. Glek! Jakun Parno bergerak naik turun. Lapar di perut Parno menguap. Parno masuk ke kantin, pesan makan dan air teh dingin. Selesai makan ia keluar stasiun, berjalan menuju pasar. Para pedagang kaki lima berjajar di sisi trotoar.
"Jambret. Jambreeett!" teriak seorang ibu tepat di sebelah Parno. Para pedagang kaki lima berhamburan ke tengah jalan setelah mendengar perempuan itu berteriak.
"Mana jambretnya, Bu?" tanya tukang pakaian dalam.
"Ituu!"
"Yang ini?!" teriak tukang buah sambil membawa pisau menunjuk ke arah Parno.
"Bukan, bukan itu. Tapi yang bawa tas Ibu itu. Itu...." seru perempuan itu sambil menuding-nuding seorang lelaki yang matanya beringas.
Namun tidak diduga, tiba-tiba saja lelaki itu ikut-ikutan berteriak maling sambil menunjuk ke arah Parno. Tapi Parno kali ini cerdas, ia yang sudah kehilangan sejak lama, balas berteriak dan balik menuding maling ke arah lelaki itu.
"Ini dia malingnya!" teriak Parno langsung. "Orang ini yang mencuri bayangan saya!"
"Betul, dia malingnya!" balas perempuan yang tasnya dijambret tanpa peduli apa yang dimaksud Parno.
Para pedagang yang sudah kalap menyergap lelaki itu dengan benda apa saja. Seakan tak ada kompromi lagi bagi pejambret atau pencuri, pelaku langsung diseret, digebuk, ditendang, dihantam sampai bonyok.
"Bakar saja!" teriak seseorang dari dalam kerumunan.
"Betul! Biar tahu rasa dia!" sambut pengamen pasar menimpali.
Seorang yang terpancing amarahnya sertamerta menyiramkan minyak tanah ke tubuh pejambret itu dengan leluasa. Tanpa dikomando, seseorang lagi langsung menyalakan korek api dan melemparkannya ke tubuh pejambret itu hingga menyala besar. Pejambret yang sudah babak belur itu langsung kelojotan dilalap api. Hanya beberapa menit, pejambret naas itu tewas ditempat.
Sadis! gumam Parno. Dan ketika polisi datang, para penjagal sudah bubar.
Tak ada yang ditangkap, kecuali beberapa orang dimintai keterangannya mengenai peristiwa pembakaran orang hidup-hidup di tengah jalan, termasuk perempuan yang jadi korban pejambretan.
"Eh, Mas! Kamu tidak ikut ke kantor polisi?" tanya tukang buah kepada Parno.
"Ah, itu tidak penting. Yang penting sekarang, saya harus menemukan bayangan saya! Paham?"
Tukang buah itu terlolong.
***
"Bapak tahu di mana bayangan saya?" tanya Parno kepada tukang parkir. Karuan saja tukang parkir itu terbengong-bengong ditanya seperti itu. "Bapak tahu kan, Pak?"
"Ah, cari saja sendiri!" sahut tukang parkir sambil mencibir.
Parno mendatangi tukang rokok dan bertanya lagi seperti yang ia lakukan kepada tukang parkir tadi.
"Maaf anak muda, bayangan kamu tidak ada di sini. Sana, cari saja di rumah sakit!"
"Terima kasih atas petunjuknya, Pak."
Tukang rokok itu tertawa, "Baru buka sudah disatroni wong edan!" dengusnya. "Cari saja sampai bodoh di rumah sakit jiwa! Dasar gila!"
Parno tidak ke rumah sakit, melainkan berjalan menuju tempat pembuangan sampah.
"Pak! Paaak! Itu Mas Parno, Paaak!" teriak Rini yang mendadak melihat kakaknya berada di tempat pembuangan sampah sedang mengorek-ngorek tumpukan sampah dengan kakinya.
"Parnooo...." suara sang Ayah terdengar satir, memanggil. Parno yang masih asyik mengais di tumpukan sampah. "Parno!"
Parno menoleh.
"Sudah kau temukan bayanganmu, Nak?" tanya sang Ayah, menyembulkan seulas senyum.
"Belum, Pak. Apa Bapak menemukan?"
"Sudah, Nak. Sekarang bayanganmu ada di rumah!"
Parno girang. Ia berjingkrak. Teman-teman Parno terkekeh.
Bahkan tawa Darto nyaris tak bisa dihentikan. Akhirnya mereka beramai-ramai membawa Parno pulang.
***
"Sebenarnya, siapa yang menjadikan Parno seperti ini?" tanya Pak Bejo, orangtua Parno kepada teman-temannya setelah Parno 'dikamarkan'.
"Begini, Pak," Darto menyambar duluan pertanyaan Pak Bejo. "Kalau kita membantah apa yang dikatakan Parno mengenai bayangannya yang hilang, kami bisa celaka, Pak. Bahkan, kita-kita ini pernah kena pukul gara-gara membantah apa yang dia katakan."
"Benar, Pak. Kalau Parno memberitahukan bayangan dirinya hilang, kita harus spontan terkejut atau pura-pura kaget. Kalau tidak, bisa gawat Pak. Kepala ini, bisa ditimpuk pakai batu!" timpal Parmin sambil menyorongkan kepalanya ke hadapan Pak Bejo.
Pak Bejo terenyuh.
"Iya, Pak," Rini menimpali. "Kalau Rini tidak menjerit sambil berlari waktu itu, rambut Rini bisa dijambaknya. Pokoknya, apa yang dibilang Mas Parno, kita harus pura-pura terkejut, dan pura-pura mencari apa yang Mas Parno cari!"
Pak Bejo makin sedih hatinya. "Tapi kenapa kalian baru ngomong sekarang, heh? Kalian juga sama gendengnya kalau begitu!"
"Tapi Parno tidak bahaya lho, Pak," kata Darto tenang.
Mata Pak Bejo melotot. "Tidak bahaya, dengkulmu! Wong syarafnya terganggu kok dibilang tidak bahaya. Aneh sampean ini!"
"Yang saya tahu," Ragil buka suara, "Parno jadi begini karena dia tidak punya cita-cita, tidak punya masa depan. Jangankan masa depan, masa lalunya pun Parno lupa. Nah, bagaimana Parno merasa tidak punya bayangan diri, kalau dia sendiri tidak pernah membayangkan sesuatu!"
Pak Bejo makin bingung. Apa ini gara-gara aku jarang di rumah? Tidak dekat dengan anak-anak? Jarang berdiskusi? Tidak terbuka dengan mereka? Apa Parno tahu kalau aku suka....
Pak Bejo tidak kuasa melanjutkan perkataan yang melintas di benaknya. Lalu lamunannya terputus oleh suara Parno yang terdengar nyaring dari dalam kamar:
"Paaakk! Bayangan Parno mannaaaa!" ©

0

PEREMPUAN YANG BERSAMAKU

Perempuan itu, entah dari mana ia datang. Dan tidak ada yang tahu kemana ia pergi. Ia hadir ketika senja terkalahkan oleh sang malam. Ketika matahari terlahap habis di ufuk barat. Ketika lembayung berwarna merah saga. Namun ia tidak ada di acara-acara pesta. Atau di acara hajatan dan perwiritan. Tidak ada yang tahu ia tinggal di mana. Tidak ada yang tahu siapa ia, asal-usulnya. Dan tidak ada yang mau tahu cerita tentang ia. Ia bagaikan seekor burung gagak yang sangat menakutkan.
Ia muncul dari balik malam yang sangat dingin. Ketika malam telah diselubungi selimut hitam tebal. Bermandi cahaya rembulan yang redup dan suara binatang malam yang terdengar aneh.
Perempuan itu bergaun merah jambu. Memakai pemerah bibir merah muda dan memakai parfum kembang seribu. Memakai kalung putih bertaburkan batu manik. Rambutnya tergerai panjang. Ia bagaikan bidadari turun dari khayangan.
Malam menggayut. Mengantarkan kembali angin dingin yang beku. Membuat aku meringkuk dalam jaket parasutku.
Malam benar-benar membuatku kalut. Aku bertemu dengan perempuan itu saat pikiranku tengah digeluti sebuah masalah besar dalam hidupku. Ia hadir begitu saja di depanku. Dengan menebar senyum dan memperlihatkan sederetan giginya yang putih bersih. Memamerkan sedikit belahan pada dada dan kemolekan sintal tubuhnya. Bulu matanya lentik dengan bola mata bersinar.
Perempuan itu mendekatiku. Aku memang terpana melihatnya. Ia memang sosok perempuan yang sangat sempurna. Aku menatapnya dengan tajam.
"Jangan menatapku seperti itu," katanya lembut.
Aku mengerjap, tersadar dari lamunanku.
"Siapa kau?" tanyaku penasaran.
Perempuan itu tersenyum seraya duduk di sampingku.
"Akulah yang telah lama kau nanti," jawabnya lembut, mencoba merayuku.
Parfum yang menyeruak tercium di hidungku. Aku betul-betul tidak dapat membayangkan parfum apa yang telah dipakainya. Wangi dan teramat wangi. Aku mengerutkan dahiku. Sepertinya ia bisa membaca pikiranku. Saat ini aku memang sangat merindukan seorang gadis duduk di sampingku. Sudah lama sekali aku hidup melajang. Dan kini usiaku hampir berkepala empat. Tanpa ada embel-embel yang pasti. Istri dan anak.
Meski aku ingin sekali menanyakan dari mana ia datang dan di mana ia tinggal. Tetapi pertanyaan itu kukubur dalam-dalam. Aku tidak mau tahu ia datang dari mana, tinggal di mana dan siapa dirinya. Bukankah itu sudah menjadi haknya untuk tidak memberitahu kepada orang lain siapa dirinya?
"Kau kelihatan kusut. Apa yang kau pikirkan?"
"Hidup. Aku merasakan kehidupanku telah sirna," jawabku pelan.
"Kau tidak boleh berkata begitu. Hidup adalah suatu anugerah yang indah. Manis maupun pahit, mesti kita jalani dengan sebaik-baiknya."
Perempuan itu membelai pundakku. Sesaat aku merasakan suasana sejuk yang menyeruak di sekujur tubuhku. Tetapi aku tak mau terlarut dalam hal-hal aneh seperti itu. Bukankah itu suatu hal yang wajar, seorang lelaki menggeliat bila disentuh perempuan cantik seperti ia?
Malam semakin pekat. Hawa dingin seakan menguliti tubuhku. Menghantarkan kembali wangi parfum yang menyebar di sekitarku.
Itulah awal semua pertemuanku dengan perempuan itu. Ia muncul dari balik malam yang sangat pekat. Setelahnya, kami bergumul bagai sepasang kekasih di musim kawin. Kami telah kehilangan kalimat untuk sebuah percakapan. Ketika subuh menjelang, ia akan pergi begitu saja sebagaimana datangnya.
Aku merasa tenang berada di sampingnya.
***
Aku terjaga dari tidurku. Sesekali mengerjapkan mataku karena sinar matahari pagi. Mataku masih terlihat buram mencari sosok perempuan yang bersamaku malam tadi. Tetapi tak kutemukan. Aku hanya tegeletak di bawah sebuah pohon rindang yang berdaun lebat. Padahal malam tadi, perempuan itu mengajakku singgah ke rumahnya dan tertidur di ranjangnya yang empuk. Aku melihat sekelilingku. Ladang jagung dan sebuah anak sungai dengan airnya yang jernih. Sebuah gubuk jerami dan terbuat dari bambu kuning. Dan sebuah tanah kosong yang tak jauh dari tempatku terbaring.
Aku bangkit bersama kelelahan kemarin. Kemudian memaki kecil dengan umpatan serapah. Mengapa perempuan itu meninggalkan aku begitu saja. Dan meninggalkan aku di sebuah ladang jagung yang sama sekali tidak pernah aku tahu. Atau jangan-jangan ia sengaja mengajaku ke tempat ini agar tidak bisa kembali ke rumahnya? Atau ia ingin merampokku? Merampok?! Apa yang akan dirampoknya? Aku tidak punya apa-apa. Bahkan selembar uang sepuluh ribuan pun aku tidak punya. Aku hanya memiliki harta benda pakaian yang kukenakan diragaku. Tidak ada apa-apa. Aku hanya si Miskin yang baru saja di-PHK pada sebuah perusahaan yang juga di penghujung kebangkrutan.
Aku kembali ke rumah kontrakanku. Aku tinggal sendiri di kota ini dengan sejumput rasa frustasi. Kuhabiskan malam dengan baur sunyi. Aku tak punya kebiasaan lain selain menikmati rokok di bawah cahaya rembulan sambil memperhatikan asapnya mengepul di udara. Atau mengoceh sendirian dengan botol minuman keras sebelum akhirnya tersungkur di jalanan. Biasanya, sebelum matahari mencipta cahaya, aku sudah lelap di kamar kontrakan.
Senja adalah waktu yang paling nikmat untuk mengutuk apa saja. Aku akan menyumpah sampai mulutku terasa kering dan bergetah. Aku tak begitu mengerti mengapa aku begitu membenci hidup ini. Setelah puas dengan segala caci maki, aku akan meninggalkan rumah dengan gumpalan amarah. Betapa kejamnya dunia ini terhadapku. Dan betapa manisnya dunia ini bagi sebagian orang yang bernasib beruntung, yang dapat hidup dalam gelimang kemewahan. Aku benci ketidakadilan dunia ini!
***
Perempuan itu datang lagi menemuiku. Aku tengah mabuk berat. Beberapa botol minuman keras telah terteguk dan kini bersemayam di lambungku. Aku sempoyongan dengan cegukan yang sesekali terdengar aneh seperti suara katak nan birahi. Dan berbaur bersama ocehan-ocehan yang biasa kulontarkan entah pada siapa. Bahkan aku tidak tahu siapa nama gadis itu sampai suatu saat ia mengingatkanku lagi!
"Aku Kinanti," ucapnya.
Lagi-lagi ia seperti tahu apa yang ada di pikiranku.
"Aku telah lama menunggumu," katanya sambil mengumbar senyum yang, lagi-lagi menggodaku.
"Kau menungguku?" Aku mengerutkan kening sambil melontarkan botol minuman keras kosong.
"Kau mabuk."
"Apa urusanmu?!"
Perempuan itu malah tersenyum. Dan begitulah ia menggodaku. Lagi-lagi aku larut dalam buaian asmaranya. Entah sudah keberapa kali kami menikmati pergumulan terlarang itu. Hingga aku terkulai di sisinya, di atas tempat tidur rumahnya. Ia membelai rambutku dengan lembut dan aku tertidur di pangkuannya.
Aku menghabiskan sisa malam dengan buncah bahagia. Ia seolah memupus semua lara yang berkecamuk di benakku. Aku rindu buaiannya yang dapat melamur kesedihanku. Aku rindu belaiannya yang dapat menghapus kebencianku pada dunia ini. Sejenak, ya sejenak.
Perempuan itu seperti anugerah yang diturunkan dari langit untuk menghiburku, meski dalam cinta terlarang yang sama-sama kami lakoni dalam keterasingan! Tetapi, apa peduliku?! Bayang-bayang lara dan pemuncak kesedihan telah memasungku ke dalam nista ini. Mungkin ini bukan cinta sejati seperti damba banyak insan. Namun ia telah mengenalkan aku pada idiom cinta melalui hubungan kami yang terlarang.
Aku memilih tertidur di pangkuannya, dan sejenak, malam ini, melupakan kembali lara dan kesumat yang senantiasa membuatku sakit!
***
Namun waktu bergulir demikian cepatnya. Seperti Pangeran yang dibatasi oleh ikrar sang waktu, yang akan mengubah sang Pangeran menjadi si Gembel, dan mengubah kereta kencana menjadi labu, maka aku pun harus pulang ke muasal keberadaan.
Pagi datang seperti sepercik sesal yang terus menggulung. Senyap. Sesenyap petang-petangku yang datang kemudian. Perempuan itu telah pergi. Ia tak pernah datang lagi. Mungkinkah ia meninggalkan aku karena aku seorang pemabuk? Atau ada laki-laki lain selaksana Pangeran Sejati, yang jauh dan jauh lebih sekar ketimbang aku yang hanya seorang 'gembel'?
Aku menggeleng. Entahlah.
Mataku mengerjap seperti biasa. Ada setetas dua landung embun yang dingin menerpa wajahku.
Aku terkejut bukan kepalang. Hei, kali ini aku dibawanya ke tempat pemakaman?! Rupanya, aku tertidur di sebuah perkuburan! Dan saat ini aku masih separo terlentang di samping sebuah kuburan dengan papan nisan bertuliskan nama seorang perempuan yang telah kukaribi beberapa hari belakangan ini!
KINANTI!
Seluruh persendianku serasa lemas.
Galauku berbaur bersama angin pagi dan aroma tanah pada kuburan tua. ©

0

PEREMPUAN PILIHAN

Terus terang, saat ini usiaku sudah nyaris kepala empat. Dan rambutku mulai memutih satu per satu. Raut wajahku pun mulai berkerut dengan garis-garis penuaan. Terutama di sekujur dahi dan pelupuk mata. Terang saja aku sudah semakin tua, tanpa terasa.
Tigaratus enampuluh lima hari bukanlah waktu yang singkat. Beribu hari sudah kulalui begitu saja. Tanpa ada embel-embel yang membuat statusku semakin jelas. Aku iri, iri sekali dengan teman-temanku yang sudah berhasil dan sukses. Dan kini mereka sudah menyandang gelar seorang ayah. Dan aku masih seorang bujangan yang belum mendapatkan apa-apa. Belum lagi orangtuaku yang selalu mendesakku agar segera menikah.
"Kau harus segerah menikah, Her. Umurmu sudah kepala empat. Apa yang kau tunggu? Apa kau mau disebut bujang lapuk seumur hidupmu?" Itulah komentar ibu setiap kali umurku bertambah, dan menanjak tanpa terasa.
"Jodoh itu ada di tangan-Nya, Bu," tepisku datar. Terus terang, kupingku sudah bosan terhadap kalimat-kalimat yang itu-itu juga. Dari tahun ke tahun.
"Ibu tahu. Tapi kalau kamu tidak mencarinya, apa Tuhan mau memberimu jodoh? Tidak mungkin, Her. Apa lagi yang kau tunggu? Kau sudah mapan, bahkan lebih dari mapan. Kapan lagi?"
Aku menggaruk kepalaku setiap ibu membuat pertanyaan seperti itu. Terlebih adik-adikku yang semuanya sudah berumah tangga. Rasanya perasaan iriku semakin memuncak.
Mungkin aku sangat minder dengan kata-kata ibu. Kata-kata itu selalu saja terngiang di telingaku. Belum lagi sahabat-sahabat seusiaku. Mereka sangat bahagia dengan pasangan hidupnya. Dengan buah hati yang sangat lucu dan menggemaskan. Tapi aku? Jangankan buah hati yang lucu, pendamping hidup saja aku tidak punya.
"Apa lagi sih yang Abang tunggu?" komentar adik perempuanku. "Apa perlu kami mengenalkan Abang dengan seorang wanita? Atau menjodohkan Abang dengan teman kami?"
"Tidak," tepisku. Aku bukan tipe laki-laki seperti itu. Apa mereka pikir aku tidak sanggup mencari pendamping hidup?"
"Lantas, bagaimana? Abang adalah kakak tertua kami. Dan kami tidak mungkin menunggu Abang berumah tangga, baru kami melepas masa lajang." Adikku yang satu berceloteh.
Terang saja dia tidak mau menjadi lajang tua sepertiku. Dan dia masih menghormati aku sebagai kakak dengan tidak ingin melangkahiku.
"Beri aku waktu," ucapku seraya berlalu dengan raut wajah yang kutekuk kecewa..
***
Sore terasa menyiksa. Bagaimana tidak. Sepulang kerja pikiranku bertambah kacau. Belum lagi serangan-serangan ibuku nantinya. Pasti ia akan mendesakku agar segera menikah. Aku maklum ibuku sudah semakin tua dan ingin menimang cucu dariku. Tapi apa boleh buat, aku memang belum mendapatkan jodohku.
Tetes air hujan dari langit membasahi kemejaku. Dengan sigap aku berlari ke sebuah cafe pinggir jalan. Suasananya memang sangat berkelas. Hangat dan bikin betah pengunjungnya. Dengan alunan musik yang sendu dan interior cafe yang futuristik, benar-benar membuatku betah. Aku menikmati suasana nyaman dan santai di cafe itu.
Seorang pelayan menghampiriku seraya menyodorkan beberapa menu makanan dan minuman. Kebetulan aku juga lapar dan haus. Aku memilih menu makanan yang ringan saja. Aku tak ingin lemak tertimbun di perutku yang semakin membuncit. Setelah pelayan itu pergi, aku menghapus sisa air hujan di keningku. Kemudian mataku mengedar pada interior dan jendela cafe. Sangat transparan hingga terlihat dari luar.
Capuccino hangat disuguhkan di hadapanku. Aku mengaduknya perlahan, kemudian meneguknya dengan nikmat. Aku terdiam. Pandanganku tertujuh pada sisi luar cafe. Dan aku melihat gadis remaja di sana. Kehujanan, bajunya basah kuyup. Sepertinya aku mengenal orang itu.
"Sadrina...," gumamku pelan. Aku tidak salah lagi. Orang itu pasti Sadrina. Perempuan yang dulu pernah menjadi kekasihku. Tapi dia lebih memilih Reza ketimbang aku. Lantas kenapa dandanannya tidak seperti dulu? Aku mengerutkan keningku. Sambil terus memperhatikan perempuan itu dari dalam cafe.
Aku benar-benar tidak sampai hati melihat Sadrian di luar sana. Dengan perlahan aku pun beringsut dari kursiku. Berjalan keluar dan membuka pintu cafe. Aku memanggil Sadrina dengan keras. Hingga ia menoleh ke arahku.
"Sadrina, sini...." kataku.
Sadrina berlari sambil menutupi kepalanya. Kemudian menepiskan sisa air hujan yang membasahi bajunya. Aku merogoh saku celanaku dan memberinya tissue. Aku memandangi lamat wajah belia nan rupawan itu. Dulu, dia demikian dekat denganku.
"Terima kasih ya, Bang."
Aku mengangguk. "Sadrina, kenapa kamu ada di sini?" tanyaku di sela kesibukanya menghapus air hujan.
Dia menoleh ke arahku. "Her, aku...."
"Sudahlah, kita ke dalam, yuk," ajakku kemudian.
Sadrina mengikuti langkahku. Setelah mempersilakan dia duduk, mataku kembali menatapnya. Masih dengan seribu tanda tanya yang berseliweran di benakku.
"Bagaimana kabarmu, Sad?" tanyaku dalam keheningan.
"Hm, aku baik-baik saja, Her," sahutnya datar.
"Di mana suamimu?"
Sadrina terdiam sambil menatapku tajam.
"Suamiku sudah meninggal, Her. Dalam kecelakaan pesawat itu."
"Ops, maaf. Aku tidak bermaksud...."
"Ti-tidak apa-apa. Semua sudah takdir, kok," urainya dengan mata membasah. Tetapi ia berusaha tersenyum kemudian.
Aku mengangguk pelan. "Kau tinggal di mana sekarang?"
"Saat ini aku mengontrak di kawasan Medan Kota."
Aku terpaku menatapnya berkali-kali. Wajah itu dulu membuatku tergila-gila. Bahkan sampai aku seperti hilang kesadaran. Dan sampai kini benih-benih cinta itu masih tersisa.
"Kegiatanmu saat ini?" tanyaku lagi.
Sadrina tertunduk, seraya mengambil sehelai tissue yang kembali kusodorkan kepadanya.
"Aku tidak ada kegitan apa-apa, Her."
Keningku kembali berkerut. "Maksudmu?"
"Aku sementara menganggur. Sejak suamiku meninggal, aku seperti tidak memiliki semangat untuk bekerja. Lalu, perusahaan tempatku bekerja mem-PHK-ku karena dianggap tidak becus bekerja lagi."
Aku menghela napas berat. Kasihan sekali kau Sadrina. Kenapa kehidupanmu menjadi seperti ini? Bukankah orangtuamu begitu kaya dan terpandang?
Dan seolah dapat membaca pikiranku, Sadrina berucap membelah keheningan yang hanya terselingi irama instrumentalia musik cafe.
"Orangtuaku memang tidak menyetujui perkawinan kami, Her. Makanya, aku memutuskan untuk tidak pulang ketika suamiku meninggal. Mungkin mereka bersyukur, entahlah. Yang pasti aku tidak ingin menelan ludahku kembali yang, pernah terlontar untuk lebih memilih kemiskinan bersama laki-laki yang aku cintai ketimbang keluarga kaya orangtuaku."
"Aku prihatin, Sad. Namun aku yakin, seantipati apapun mereka terhadapmu, toh kamu tetap darah dan daging mereka sendiri. Lagian, maaf, suamimu sudah meninggal. Pasti mereka dapat memaafkan kesalahan masa lalumu. Pulanglah. Mereka adalah orangtuamu."
"Tapi, mereka tidak pernah merestui pernikahan kami. Hingga dulu, kami harus membuat keputusan sendiri. Menikah tanpa wali orangtua." Mata Sadrina terlihat basah.
"Sudahlah. Tidak usah mengungkit masa lalu."
Sadrina masih terisak. "Kini aku harus memenuhi kebutuhan anakku. Tapi aku bingung harus kemana mencari!" cetusnya dengan suara parau.
Aku mengernyitkan kening.
"Anakmu...?"
Sadrina mengangguk.
"Lantas, di mana dia sekarang?"
"Aku menitipkannya sama tetangga."
Aku menarik napas dalam-dalam. Merengkuh kemudian jemari tangannya dengan lembut, tak sadar. Tetapi aku tidak peduli. Jujur, aku masih mencintainya. Dan rasa itu belum memudar meski telah sekian tahun kenangan tersebut tercerabut di hatiku. Tiba-tiba ada sepercik lelatu tanya yang beriak dalam batinku. Apakah aku harus menikahi Sadrina? Seorang janda beranak satu? Atau menampik rasa cinta dan membiarkan aku kembali bermain dalam angan kenangan lama semata hingga rambutku memutih semua. Ah, aku tidak dapat mencetus keputusan di antara dilematisasi ini. Antara cinta lamaku, dan....
Saat ini aku tengah jatuh hati pada seorang gadis sebelah rumahku. Karibku bersamanya setelah bayang Sadrina semakin melamur dalam hari-hariku. Setelah dia tak mungkin kuraih. Saat dia memutuskan menikah dengan Reza, suaminya yang telah meninggal itu.
***
"Aku akan menikah, Bu," tandasku suatu sore.
Ibu dan adik-adikku terlihat berbinar bahagia mendengar penuturanku.
"Syukurlah kalau kamu sudah menemukan pendamping hidupmu. Siapa gadis yang akan kamu nikahi itu?" tanya ibu penasaran, ingin tahu.
"Maria," jawabku mantap.
Kontan saja mereka terperanjat kaget dan saling berpandangan.
"Maria...?!"
"Ya, Maria."
"Maria, gadis tetangga yang masih berumur delapan belas tahun itu, Bang?" Adik perempuanku masih terperanjat kaget dengan bola mata yang nyaris terlontar keluar.
"Iya, Maria. Dia adalah perempuan pilihanku. Memangnya kenapa?"
"Hah?!" ©

0

LOVE FOR MOTHER EARTH

Sudah seminggu ini SMA Perwira Nasional mengadakan aksi hijau di lingkungan sekolah. Banyak juga yang mendukung, namun yang tampak cuek dan ogah-ogahan juga tidak kalah jumlahnya.
"Kurang kerjaan." Iitulah pendapat yang keluar dari mulut Wira, ia termasuk ke kelompok yang terkesan tidak peduli dengan aksi go green di sekolahnya.
Ketika jam istirahat dimulai, Litha memilih berkeliling mengingatkan teman-temannya untuk membuang bungkus makanan mereka ke tempat sampah yang sudah disediakan. Ia bahkan menjelaskan untuk membuang sampah ke tong sesuai jenis sampahnya.
Wira sedang asyik mengunyah kripik kentangnya ketika melihat Litha sibuk wira-wiri mengingatkan orang-orang.
"Kenapa sih dia? Sok peduli banget!" cibir Wira di hadapan teman-teman segengnya.
"Tau tuh! Katanya, dia yang ngusulin aksi hijau di sekolah kita," sahut Nando, teman Wira yang juga apatis akan aksi cinta bumi di SMA Perwira Nasional ini.
"Oh ya?" tanya Wira sambil memandang sosok di seberangnya dengan sinis.
"Gue denger dia jomblo lho, Wir. Aneh ya? Padahal Litha cantik banget, kan?" sahut Nando, yang kedengaran nggak nyambung.
"Maksud lo apa nih, Nan?" tanya Wira kesal. Ia merasa tersindir, karena sudah hampir lulus SMA masih belum juga mendapatkan seseorang yang spesial di hatinya. Seseorang yang nggak cuma cantik fisiknya tapi juga cantik hatinya. Padahal dia sudah dikenal sebagai cowok yang paling banyak fansnya, sayangnya dari fans yang berjibun itu dia belum juga menemukan yang dicarinya. Cewek-cewek yang mengejarnya kebanyakan hanya tertarik dengan harta dan tampilan fisiknya saja. Ia ingin seseorang yang tidak melihat itu semua dari dirinya, ia ingin seseorang yang bisa membuatnya lebih baik.
Wira nggak pernah mengutarakan kriteria cewek idamannya ini ke siapapun, termasuk Nando sahabatnya sejak kelas satu. Somehow, ia merasa sulit mendapatkan cewek dengan kriteria itu dengan reputasinya sekarang—tukang bikin onar, sering skip pelajaran, hobi nongkrong di kantin, dan selalu skeptis terhadap semua kegiatan sekolah. Sehingga ia memutuskan untuk menyimpan impiannya itu rapat-rapat, entah kapan harus dibuka. Mungkin bila sudah menemukan yang tepat.
Tanpa terasa bel masuk berbunyi. Wira dan teman-temannya memutuskan untuk kembali ke kelas.
"Yuk ah, balik. Pelajarannya Pak Rahmat nih. Gue nggak mau kena skorsing lagi," ajak Wira pada Nando sambil meninggalkan bungkusan bekas kripik kentang dan kaleng Cola-nya di atas meja kantin.
Ketika berbalik, ada yang menepuk bahunya dari belakang. Refleks ia berbalik kembali dan menemukan sosok yang membuat mood-nya nggak enak akhir-akhir ini.
"Kalo udah selesai makan dan minum, bungkus plastik sama kalengnya tolong dibuang ke tong sampah ya," ujar Litha ramah sembari menyodorkan bungkus kripik kentang dan kaleng Cola yang tadi ditinggalkan begitu saja oleh Wira.
Merasa disulut amarahnya, Wira mengambil bungkus plastik dan kaleng di tangan Litha dengan kasar lalu membuangnya ke tong sampah di dekat kantin.
"Puas?" kata Wira jutek sambil menatap Litha penuh amarah. Berikutnya ia pergi menyusul teman-teman segengnya yang sudah lebih dulu masuk ke kelas.
Litha memiringkan kepalanya tidak mengerti. She's wondering, apa yang sudah diperbuatnya sampai membuat Wira sedemikian marah kepadanya. Seingatnya, Wira memang terkenal sebagai tukang pembuat onar meski anehnya teman-teman ceweknya banyak yang ngefans gara-gara tampang Wira yang good looking. Namun, dia dan Wira tidak pernah bermasalah sebelumnya.
Sang mentari perlahan beranjak ke sisi lain bumi, membuat pemandangan menjadi bersemu jingga dan meninggalkan kesan hangat. Usai main squash bersama ayahnya, Wira yang sedang menikmati segarnya jus jeruk dingin dari kulkas menyambar majalah Bunda yang tergeletak di ruang tengah, majalah yang memuat tentang pola hidup sehat, penyakit populer, info-info kesehatan sampai kondisi bumi saat ini. Entah kenapa Wira tertarik untuk membaca sebuah artikel mengenai Global Warming. Judul artikel itu "Bumi sedang Koma", Wira penasaran mengenai isinya. Menurutnya, mana ada benda mati yang bisa mengalami koma. Jadi ia memutuskan untuk mencari tahu sendiri apa yang dimaksud penulis dengan mencantumkan judul yang tidak rasional menurutnya itu.
***
Sementara itu, sore-sore begini sudah menjadi hobi Litha untuk menyirami tanaman-tanaman kesayangannya di belakang rumahnya. Kebetulan ibunya juga hobi merawat tanaman, terutama bunga Anggrek. Sehingga terkadang Litha pun berkebun berdua bersama ibunya, seperti sore hari ini.
Sambil menyirami pot-pot euphorbia, Litha bercerita tentang kejadian di sekolah hari ini. Mengenai temannya yang diperingatkan untuk membuang sampah malah marah-marah dan membuatnya sedikit ketakutan karena tatapan matanya yang tajam.
"Apa kamu yakin nggak pernah membuat temen kamu itu marah sebelumnya?" tanya Ibu sambil menyemprot air ke koleksi Anggreknya yang digantung-gantung di bawah net khusus green house.
"Duh, Ibu. Aku selalu berusaha menghindari konflik dari dia. Dia itu terkenal bad boy di sekolah, Ibu kan tahu aku paling benci bikin masalah. Sebisa mungkin aku menghidari masalah," terang Litha.
"Iya, Ibu ngerti. Tapi usul kamu tentang program go green itu, apa semua setuju? Kamu yakin tidak ada yang merasa kontra dengan usul kamu itu, Lit? Biasanya, setelah sebuah pendapat muncul, pro dan kontra pasti akan mengikuti berikutnya."
Litha pun seperti tersadarkan, selama ini ia mengira usulnya untuk mencanangkan program go green di sekolah bakal mulus-mulus saja. Apalagi ia mendapat persetujuan langsung dari Kepala Sekolah, tanpa mengajukan proposal lewat OSIS terlebih dahulu. Ia menganggap, ini kan program untuk kebaikan, bukan program hura-hura yang cuma menghabiskan duit, pasti banyak yang mendukungnya. Ibu seolah baru saja menunjukkan bahwa beberapa pihak, sekecil apapun jumlahnya, pasti ada yang kontra.
"Tapi... Wira kan paling cuek sama kegiatan sekolah," gumam Litha sambil menerawang.
"Namanya Wira? Cowok ya, Lit?" tanya Ibu dengan raut excited. Litha mengangguk menjawab pertanyaan ibu.
"Mungkin dia naksir kamu, Lit. Cowok kan suka usil kalo lagi naksir cewek," goda Ibu yang langsung membuat pipi Litha bersemu kemerahan.
***
Esoknya di sekolah, Sang Ketua OSIS, Fahri, tengah sibuk menata pot tanaman yang kini menghiasi teras depan ruang OSIS. Litha yang sedang melintas pun tertarik untuk menikmati pemandangan baru di sekolahnya ini.
"Wah, pemandangan di sini jadi segar nih!" ujar Litha sambil membantu memindahkan pot-pot kecil berisi bunga.
"Iya, saya juga meletakkannya hampir di teras semua ruangan. Masih baru sebagian sih, sisanya datang nanti siang. Kamu mau membantu?" Fahri membetulkan letak kacamatanya yang agak melorot usai membungkuk menata pot-pot tadi.
"Ya, tentu saja!" ujar Litha bersemangat. Ini kesempatan bisa memandang sang Ketua OSIS dari dekat, diam-diam dia naksir teman sekelasnya ini.
Wira yang baru saja datang, melintas di depan ruang OSIS, di mana Fahri dan Litha sibuk membawa pot-pot tanaman ke depan ruang guru yang ada di sebelah ruang OSIS.
Tak sengaja lengan Wira menyenggol bahu Litha sampai pot bunga yang ada di tangannya terjatuh dan pecah.
"Oops... sori." Spontan Wira minta maaf.
Begitu mendapati Wira yang berdiri di sebelahnya, raut wajahnya langsung berubah menjadi keras.
"Mau kamu sebenarnya apa sih? Saya tau kamu nggak mendukung aksi go green di sekolah ini, tapi nggak perlu bikin kacau dong!" semprot Litha.
Wira bingung harus menjawab apa, karena ia benar-benar tidak sengaja melakukannya. "Gue nggak sengaja tau! Lo jangan asal tuduh ya!" seru Wira akhirnya dan menghambur pergi meninggalkan Litha yang masih kesal akan perbuatannya barusan.
"Udah ngejatuhin, nggak bantuin pula!" Litha ngomel-ngomel sambil membersihkan pecahan pot.
"Sudah, nggak apa-apa, Litha,." kata Fahri sembari membantu Litha.
"Maaf ya, Fahri," balas Litha dengan nada tidak enak hati.
Fahri tersenyum memaklumi.
"Saya dengar pot-pot ini dananya dari kamu pribadi ya?" tanya Litha ketika pot yang pecah selesai dibersihkan. Fahri agak terkejut mendengar pertanyaan Litha.
"Kamu dengar dari mana, Lit?" tanya Fahri tanpa menatap lawan bicaranya. Ia pura-pura merapikan pot di samping kakinya.
"Ya... dari anak-anak. Tapi emang bener ya?" Litha menatap Fahri intense.
Fahri tidak langsung menjawab, ia memutuskan untuk meletakkan pot terakhirnya dulu. "Cuma sedikit rasa terima kasih kepada bumi kok, Lit. Nggak ada apa-apanya dibandingkan kamu yang udah berani mempelopori aksi go green ini. Kamu hebat banget!"
Pipi Litha bersemu merah dipuji begitu. Dalam hati ia membatin, Fahri nggak cuma cakep, pintar dan populer, ia juga berhati emas. Kalo dibandingin sama Wira sih, bagaikan bumi dan langit. Yah meskipun sama-sama cakep dan populer, tapi Fahri jelas punya nilai plus.
***
Hari ini akan diadakan Green Day, dimana semua warga sekolah diwajibkan untuk ikut kerja bakti membersihkan sekolah dan menanam beberapa pohon di halaman sekolah yang sebelumnya gersang.
Litha tampak lebih bersemangat hari ini, mata bulatnya berbinar-binar indah, memancarkan kecantikannya. Ia tampak sibuk menanam tanaman hias di pot besar di teras depan kelasnya bersama beberapa teman sekelasnya.
"Litha," tiba-tiba ada yang memanggilnya.
"Ya?" ujar Litha sembari berdiri dari posisi jongkoknya. Ketika melihat sosok yang berdiri di depannya, her face's turning into a frown. Ia mengira yang memanggilnya tadi adalah Fahri. Namun nyatanya yang ada di hadapannya saat ini adalah orang yang paling tidak ingin ia temui saat ini.
"Gue emang nggak bisa beli pot-pot tanaman buat menghias sekolah kayak Fahri," ujar Wira dengan raut serius.
Litha yang tadinya pengen langsung nyemprot, berpikir dua kali untuk benar-benar melakukannya.
"Tapi gue punya ini buat elo, Lit. Maafin gue ya?" Wira menyodorkan sebuah pot bunga kepada Litha. "Ini sebagai ganti pot yang udah gue pecahin kemarin."
Litha menerima pot bunga itu ragu, ia masih tidak percaya Wira berubah 180 derajat begini.
"Well, thanks." kata Litha sambil tersenyum, menimbulkan gejolak aneh di perut lawan bicaranya.
"Tapi ini bukan buat saya, ini buat bumi. Kamu cinta bumi kan?" tanya Litha di luar dugaan. Wira sempat nggak ngeh dengan maksud perkataan Litha, namun kemudian ia tersenyum penuh arti.
"Iya, gue cinta bumi," kata Wira akhirnya, di mana ada elo di dalamnya.
Tiba-tiba Litha menarik tangan Wira untuk mengikutinya mengambil pot-pot berukuran agak besar di suatu sudut di depan kelasnya. Ia minta Wira membantunya mengangkat pot-pot itu bersamanya, karena ia tak kuat mengangkatnya sendirian. Wira pun menyanggupi permintaan Litha.
Somehow Wira merasa inilah saatnya membuka kembali impiannya yang sudah ia pendam rapat-rapat itu.
I think I found her, batin Wira. ©

0

GAUN PENGANTIN


Aku kembali memperhatikan gaun pengantin berwarna putih gading bertaburkan manik-manik. Aku baru saja mengambilnya dari tukang jahit langgananku. Kami sudah lama berlangganan, sejak ibuku baru saja menikahi ayahku. Mungkin mereka adalah pasangan pengantin yang sangat bahagia. Memiliki tiga orang anak, satu putra dan dua putri. Ah, aku ingin seperti mereka. Menjadi orangtua dari anak-anakku kelak. Tapi harapan itu pupus saat aku terjerembab pada sebuah pernikahan yang semu.
Senja telah menutup layar kuning-jingganya sejak delapan jam lampau. Saudara-saudara dan sanak keluargaku sudah berkumpul. Sebagian mereka mempersiapkan makanan untuk tamu dan para undangan lainnya. Teratak dan tenda biru sudah berdiri di halam depan rumah kami. Janur kuning melambai-lambai tertiup angin. Tapi sampai saat ini aku tidak menemukan sosok Khaidir. Laki-laki yang akan menikahiku.
Mataku tak kuasa mengelak putaran pikiranku, meski masih teringat pesan ibuku empat jam lalu.
"Tidurlah, Nur. Sudah jam dua, kamu harus istirahat, besok kau akan bersiap-siap dengan acara pernikahan itu."
Tapi aku tidak peduli. Aku masih memandangi gaun pengantinku yang esok akan kukenakan di lekuk tubuhku.
Sampai dini hari aku masih duduk sendiri di sofa samping jendela kamarku. Tak bisa kuhitung berapa lama aku di situ sambil menatap halaman depan yang terlihat gersang. Menatap lautan dan perahu-perahu yang bersandar dan bergoyang gemulai di dermaga nun jauh tampak di sana, beberapa kilometer dari rumahku ini. Ombak kecil memukul-mukul badannya. Siluet perahu-perahu kecil tampak dari kejauhan. Separo rembulan dan gemintang tergantung di atasnya. Sedang suara-suara geliat malam tak mampu menembus jendela kaca kamarku. Malam pun melarut dalam kesunyian, sesunyi hatiku kini.
Pernikahanku dengan Khaidir akan berlangsung besok. Tapi sampai dini hari Khaidir tidak muncul di sampingku. Apa gerangan yang terjadi. Apakah Khaidir telah pergi bersama wanita lain? Atau ia sengaja menunda pernikahan ini hingga ia selesai menamatkan sarjana ekonominya? Tapi justru aku ingin pernikahan ini segera dilaksanakan meski tanpa restu orangtuaku yang sesungguhnya.
Aku mengambil vcd dari laci riasku. Aku tak ingin larut dalam kekhawatiranku akan sebuah pernikahan. Jujur saja aku sangat gugup dengan acara yang sangat sakral seperti ini.
Aku memasukkan vcd dalam dvd player miliku. Hadiah itu dari Khaidir, waktu kami sengaja jalan-jalan ke toko kaset dan vcd di kotaku. Kota kecil di dekat pesisir pantai. Meski sebagian orang di desaku lebih memilih hidup sebagai nelayan dan melaut, tapi mereka sesekali ingin menikmati suasana kotaku.
Suara-suara dalam vcd itu mengiang-ngiang di telingaku. Ah, semakin sunyi hatiku. Suara-suara dalam kotak kaca yang menayangkan film yang pernah menggetarkan hati anak-anak muda beberapa tahun silam. Kisah cinta yang dilerai malapetaka yang berujung pada kematian si Pemuda, meski keduanya berhasil menyelamatkan diri dari kecelakaan yang menenggelamkan kapal congkak Titanic. Ajal telah menjemput pemuda yang kelelahan dan terlalu lelap di permukaan samudera dingin. Tragis. Namun sang Gadis tetap setia pada cintanya, walau helai-helai salju telah memahkotainya. Kesetiaan yang tergenggam dalam kalung yang kekal masih tersimpan di memori hatinya.
Kesetiaan? Masih adakah?
Sebuah fatamorgana cinta yang kembali menampar kesadaranku tentang cinta. Apakah cinta itu ada? Oh, gaun pengantinku. Jujur saja, aku tidak sepenuhnya lagi percaya pada cinta semenjak pernikahanku hancur-lebur dalam hitungan satu menit. Pernikahan yang memang tak kupersiapkan dengan cinta selayaknya, kecuali kuingin hubunganku dengan Khaidir mendapat restu kedua orangtuaku.
Aku mengenal laki-laki itu pada sebuah acara pesta pernikahaan temanku. Dan dia yang memperkenalkan aku dengan Khaidir. Hatiku berbunga-bunga saat aku menatap wajahnya yang benar-benar menawan kalbuku. Menggetarkan seluruh persendianku. Dan aku memilih dia sebagai kekasihku. Namun orangtuaku menolak aku berpacaran dengan laki-laki itu. Mereka benar-benar tidak setujuh.
Khaidir, seorang seniman kawakan. Banyak mengalunkan puisi-puisi tentang cinta dan kehidupan yang serba fatamorgana. Kesetiaan cinta dan roman picisan yang berjuta-juta dialunkan.
Kesetiaan cinta? Masihkah kesetiaan merupakan mutiara hati setiap insan? Jika hanya kematian adalah pedang pemisah kesatuan jiwa, kenapa ketidaksetiaan begitu semena-mena mendiktekan suatu perpisahan? Di manakah cinta? Di manakah mutiara?
Mungkin engkau kini sedang menyimpan mutiara cinta itu, yang belasan tahun kupinta dari Tuhan. Belasan tahun, sejak tenggelamnya rasa cintaku. Dalam usiaku yang berangka dua puluh lima, masih kucari mutiara itu di antara laki-laki yang kujumpai di dunia ini.
Pernah kubaca sebuah puisi pendek di sebuah antologi puisi semasa aku masih mahasiswi belia.
"Biarlah cinta bercahaya.
Kuingin kembali menyusun
puing-puing kepercayaanku
pada cahaya cinta."
Angin dini hari menggigilkan belantara beton berkaca. Kupeluk hangat diriku sambil pandanganku tak lepas dari lampu-lampu di sekitar dermaga. Kekasih, andai perahumu tak juga datang beserta selembar surat nikah yang ditandatangani oleh orangtua kita, dan memang akhirnya harus kusadari bahwa kata-kata cintamu hanya halusinasi, mungkin harus kuterima ajakan naik perahu laki-laki lainnya yang betul-betul sudi segera membawaku berlayar, pulang, dan cinta kudapatkan pula. Sungguh, aku sudah tak tahan berlama-lama berlelah-lelah dalam kesetiaan penantian sepi ini.
***
Sinar matahari pagi menembus jendela kamarku. Dengan berat aku bangkit. Mataku masih sembab karena menangis dan dera luka batin yang berkepanjangan. Aku terjaga melihat sisi sampingku. Namun aku tidak menemukan sosok kekasihku di sana. Oh, di manakah kau, Kasihku. Bukankah kau telah berjanji dengan gaun pengantinku. Akan melekatkan gaun itu di lekuk tubuhku.
Gaun pengantinku masih tergeletak di sisi tempat tidur. Kubiarkan agar aku bisa memandangnya lebih jauh. Aku ingin sekali segera mengenakan gaun itu di tubuhku, dan elangsungkan pernikahanku dengan Khaidir. Namun hingga matahari kembali terbenam, meninggalkan warna merah saga, Khaidir tak kunjung datang. Aku kecewa dan sangat kecewa. Mengapa sampai saat ini Khaidir tidak menemuiku.
Ayah ibuku memandangku dengan tatapan yang sangat jauh. Aku bahkan tidak tahu tatapan apa itu. Apakah tatapan itu sama seperti tatapan beberapa waktu lalu. Saat mereka melarangku untuk menikah dengan laki-laki seperti Khaidir?
"Aku benar-benar terdampar
pada sebuah karang
yang sangat tajam.
Dermaga tak lagi mampu
menampung perahu-perahu kecil milikku."
Pandanganku terlihat nanar, nun jauh menangkap birunya air laut. Riak dan ombak saling bergulung dan berkejaran. Namun hatiku kini sedang beku.
Seseorang datang menemui orangtuaku. Aku tidak tahu siapa dia. Aku tidak kenal dengannya. Namun teka-teki itu baru terjawab ketika orang itu memberikan sebuah kepastian tentang laki-laki yang akan menjadi suamiku. Khaidir, ya Khaidir. Kini Khaidir telah pergi meninggalkan aku. Membiarkan aku membeku di dermaga ini, bersama gaun pengantinku yang tidak pernah kukenakan. Khaidir memilih menikahi wanita lain ketimbang diriku. Ternyata kesetiaan itu benar-benar tidak ada!
"Aku menangis
sedih ini tak akan berujung
seperti cemara layuk
oleh badai dan angin.
Cinta hanya sepenggal dusta
seperti landung embun yang jatuh
pada tanah
dan tiap resap
hanya menyisakan giris,
aku masih dahaga
dan 'kan mati dalam kerontang."
Kesunyian kian menghasut kesepianku. Keluargaku telah bermimpi sampai entah di mana. Aku belum ingin tidur. Kisah film Titanic mengajakku melayari angan-angan tentang cinta, kesetiaan, dan dirimu yang pada saat dingin dini hari ini entah sedang melakukan apa.
"Dan seperti waktu-waktu lampau,
setia kunanti perahumu datang.
Di ujung teluk sana
mercusuar berkedap-kedip
menggoda kerinduanku,
menggoda harapanku itu.
Kapal-kapal selalu hilir-mudik
bila mentari membuka
lebar-lebar jendela cakrawala,
burung-burung camar
kian menerbangkan anganku
ke ranjang angkasa
dan busa gemawan.
Bersamamu,
menikmati keindahan langit biru
sebiru cintaku...."
Aku sungguh-sungguh mengharapkan perahumu segera melawat, merapat di dermaga itu. Namun aku telah lelap dalam kesepianku. Aku terlalu jauh berjalan hingga ke tengah lautan. Mengenakan gaun pengantinku yang berwarna putih gading bertabur manik-manik pemberianmu. Sebagian air laut menenggelamkan tubuhku, hingga akhirnya aku bermukim di dasar laut ini sebagai penunggu abadi. ©

0

30 YEARS, IS JUST TOO EARLY

"Diperkirakan 30 tahun dari sekarang, bumi dikhawatirkan akan mengalami kehancuran."
Begitulah kutipan kalimat dalam sebuah artikel suratkabar yang dibaca Kania. Ditutupnya koran yang ia pegang kemudian ia mengkalkulasikan umurnya saat ini dengan perkiraan waktu bumi akan hancur.
"Berarti waktu aku umur 47 tahun dong! Haaaaaaaaahhh?!" jerit Kania histeris, membuat Bunda yang melintas di depannya terkejut melihat putrinya menjerit heboh.
"Ada apa, Ka?" tanya Bunda bingung.
Kania teringat langkah pencegahan global warming dari artikel yang baru dibacanya. "Mulai besok aku mau ke sekolah naik sepeda aja, Bun," kata Kania.
"Kan sepedanya dibawa Mas Bima ke Bandung," timpal Bunda.
"Bukan sepeda motor, Bun. Tapi sepeda pancal yang udah lama nggak pernah dipake itu," terang Kania.
"Hah?" Bunda terkejut dengan penjelasan Kania yang terdengar agak nyeleneh itu. "Sekolahmu kan lumayan jauh, Ka. Apa nanti kamu nggak terlambat datangnya?" tanya Bunda, masih tidak mengerti maksud di balik rencana putrinya itu.
"Aku kan bisa berangkat lebih pagi, sekalian olahraga, Bun. Lagipula, aku pernah baca di koran, Pemkot aja udah mencanangkan Bike to Work. Kenapa aku nggak Bike to School? Demi kelangsungan bumi kita tercinta, Bunda." Kania mengakhiri perkataannya sambil tersenyum, Bunda pun dibuat amazed akan jawaban Kania. Beliau kagum putrinya concern juga masalah kondisi bumi yang semakin gawat ini.
***
Esoknya di sekolah.
Kania sudah menjadi pusat perhatian sejak ia mulai mengayuh sepedanya melewati pintu gerbang sekolahnya, bahkan satpam penjaga gerbang saja sampai tercengang.
"Kania?" sebuah suara menyapa Kania yang sedang mengunci sepeda pancalnya di tempat parkir motor.
"Hai, Lintang," sapa Kania, degup jantungnya mendadak semakin cepat. Diam-diam ia naksir sang Ketua Kelas di hadapannya ini.
"Kamu naik sepeda ke sekolah?" tanya Lintang sambil melirik sepeda yang masih tampak mulus di samping Kania.
Kania mengangguk. "Aku nggak mau mati muda soalnya," jawab Kania sambil berlalu, meninggalkan Lintang yang masih belum menangkap maksud jawaban Kania.
Lintang pun mengejar Kania yang melenggang masuk ke dalam sekolah. "Maksud kamu? Kamu nggak sedang mengidap penyakit parah, kan?" tanya Lintang setengah khawatir.
"Nggak kok, Lintang. Ini cuma supaya bumi kita nggak cepat hancur, aku baca di koran prediksinya 30 tahun dari sekarang. Masih banyak yang mau aku lakukan, masih pengen keliling dunia. Duh, pokoknya mati umur 47 masih terlalu muda!" Kania berseru histeris.
Lintang pun dibuat terdiam akan jawaban Kania yang polos itu. Selama ini ia tidak pernah notice hal-hal tentang global warming meski media juga tengah gencar menyiarkan. Tapi, penjelesan sederhana dari cewek yang selama ini ia kagumi ini ternyata mampu menyadarkannya tentang seberapa gawat keadaan bumi sekarang.
30 tahun? Gue juga masih pengen hidup di umur 47, batin Lintang.
"Ka, kamu kan Ketua Osis. Kenapa nggak bikin program aja buat menyelamatkan bumi? Kalau nggak salah kan Pemkot bikin Bike to Work, kita bikin aja Bike to School." Lintang mengusulkan.
Gosh, Lintang. Kenapa kita bisa berpikiran sama sih? batin Kania.
"Boleh. I've been thinking about that actually. Makasih ya usulnya," kata Kania sambil tersenyum manis. Membuat jantung Lintang berdebar kencang saat melihatnya.
"Ka, aku denger kamu naik sepeda ke sekolah," todong Bonie, salah satu sahabat Kania.
Bel istirahat berdering, para siswa SMA Perwira Nasional berhamburan menuju kantin sekolah yang mungil tapi punya tempat makan favorit siswa yang nyaman karena outdoor di area taman. Tidak terkecuali Kania dan ketiga sahabatnya.
"Iya, emang kenapa?" tanya Kania sambil menyeruput es jeruk nipis kesukaannya kala matahari sedang terik-teriknya seperti sekarang.
"Apa kata anak-anak entar, Ka. Masa Ketua Osis naik sepeda? Emang bokap udah nggak mau nganter lagi?" tanya Prita yang selalu mementingkan image di depan orang lain.
"Kalo gue sih cuek aja, Ka. Bodo amat apa kata orang! Di Jakarta, orang yang nekat kayak elo jarang banget. Terusin aja, Ka. Besok gue juga naik sepeda deh ke sekolah." Berbeda dengan pendapat kedua temannya yang lain, Hera yang asli Jakarta malah mendukung Kania.
Kania pun menceritakan tentang artikel yang dibacanya kemarin. "Kalian nggak harus ngikutin caraku kok, kalian boleh ke sekolah naik apa aja sesuka kalian. Tapi usahain jangan bikin polusi semakin meningkat," lanjut Kania.
"Oh gitu ya, Ka. Kemarin aku juga baca artikel kayak gitu juga sih. Ngeri emang ngebayangin kalo bumi kita hancur dalam waktu dekat," sahut Bonie.
"Berarti kita mati muda dong?! NO...!" seru Prita heboh. "Aku kan masih pengen jadi bintang film di Hollywood. Kalo 30 tahun lagi bumi udah hancur, aku nggak bisa ke Hollywood dong!"
"Ya udah, besok lu berangkat ke sekolah naik bemo aja, Prit," kata Hera asal, membuahkan tawa yang mendengarnya. Naik angkutan umum adalah hal yang paling nggak mungkin Prita lakukan. Pikiran-pikiran parno mengenai bemo pun langsung menyergapnya. Prita pun memandang Kania, minta pertolongan.
"Kalo nggak mau naik bemo ya naik sepeda aja, Prit," usul Kania yang malah membuahkan tawa yang semakin keras dari teman-temannya. Membayangkan Prita mengayuh sepeda bakal sama seperti membayangkan betapa lucunya seorang putri manja yang naik sepeda pancal ke sekolah.
"Atau kamu bisa bareng sama aku ke sekolah, Prit. Emang sih mobilku nggak senyaman Mercedez-mu. Apalagi aku barengan sama dua adikku yang masih SD, tapi masih ada tempat kosong kalau kamu mau nebeng. Gimana?" Bonie memberi usul yang kali ini masih agak masuk akal.
"Iya, Prit. Rumah kalian kan sekomplek, barengan aja kan lebih efisien," timpal Kania.
Prita pun mengiyakan. "Ini semua demi mimpiku ke Hollywood," kata Prita menerawang. Kania, Bonie dan Hera pun tertawa terbahak melihat tingkah temannya ini.
***
Esok paginya di sekolah.
Ketika sedang antri untuk memarkirkan sepedanya, Kania dibarengi seorang cowok yang juga naik sepeda pancal ke sekolah. Saat menoleh ke samping, ternyata cowok itu adalah Lintang.
"Lintang? Kamu...." tanya Kania takjub, tak menyangka Lintang yang tampak berwibawa ini akan mengikuti jejaknya.
"Aku juga nggak mau mati muda. Still have lots of things to do," jawab Lintang sembari tersenyum.
Kania dan Lintang pun memarkirkan sepedanya bersebelahan, hal itu tanpa mereka sadari menarik perhatian Hera yang tengah melintas usai memarkirkan sepedanya tepat di depan mereka.
"Duh, romatis bener! Sepedanya sampe diparkir sebelahan gitu," goda Hera sambil melenggang pergi.
Kania pun jadi blushing mendengarnya, ia lihat Lintang juga tampak bingung menyembunyikan wajahnya yang merona.
30 years is just too early for God's sake! ©

0

MASIH ADA HARI ESOK


Butuh satu jam untuk mengenal seseorang, satu hari untuk jatuh cinta, namun untuk melupakannya bisa jadi butuh seumur hidup.
Pagi belum lagi beranjak siang, namun langit di atas kota Jakarta kelabu tua. Mendung menyelimutinya. Hujan turun rintik-rintik. Air yang jatuh dari atas langit bagai jutaan jarum lembut. Membasahi genting, dedaunan, lalu mengalir sepanjang jalan menuju selokan.
Hari ini adalah hari keempat belas Astri berada di rumah sakit. Setelah dioperasi pada hari pertama dan beristirahat total selama hampir dua minggu, dia akhirnya diperbolehkan pulang. Luka-luka di kakinya sudah mengering. Semua barang-barang Astri juga sudah dimasukkan ke mobil.
Gadis itu mencoba berdiri meski dengan bantuan tongkat.
"Pagi, Dok!" sapanya begitu melihat dokter yang ikut membantu perawatannya sedang berbicara dengan seorang suster di pintu kamar.
Dokter muda itu memandangnya sejenak, lalu membalas sapaannya.
"Sudah mau pulang?"
"Ya, Dokter. Sekalian saya mau pamit."
"Baiklah, Astri. Satu saja pesan saya, hidup harus berjalan terus. Kamu tetap kuat dan tabah ya? Selain berusaha menjaga kondisi badan, mulailah berlatih berjalan setahap demi setahap."
Astri mengangguk. "Terima kasih atas bantuannya, Dokter."
Lalu dibantu papa dan mamanya, gadis itu masuk ke dalam mobil. Semenit kemudian, mobil sedan yang membawanya telah melaju di jalan.
Astri beralih ke tepi jendela. Hujan masih menyisakan rintiknya. Dia teringat kembali tentang Kevin, cowok yang sangat dicintainya, yang dulu pernah menemaninya merenda hari. Sampai detik ini, Astri belum mampu melupakannya. Padahal cukup hitungan waktu untuk mengenang kehangatan dan cinta Kevin padanya. Kecelakaan mobil telah membawa cowok itu tidur lelap ditemani kedamaian. Sementara Astri terpuruk dalam kesendiriannya kini.
Memang, tak seorang pun dapat menduga kapan musibah itu datang. Semuanya terjadi begitu cepat. Astri sama sekali tak pernah menyangka, malam itu adalah malam terakhir dia bersama Kevin. Cowok itu mengajaknya dinner bareng seminggu menjelang keberangkatannya untuk melanjutkan sekolah ke negeri Paman Sam.
"Jika rentang waktu setahun ada 365 hari, maka berapa kali matahari terbenam yang akan kita lewatkan hingga kita bertemu lagi?"
"Aku nggak tahu, Vin." Astri menatap kosong. Dia bahkan belum menyentuh potongan steak -nya yang terhidang di meja.
"Suatu hari nanti, aku ingin kita bisa menikmati matahari terbit bersama-sama. Begitu terus setiap hari." Kevin menggenggam jemari Astri lembut. Mencoba memberi keyakinan pada gadis itu.
Tapi nyatanya, apa yang terjadi sungguh ironis.
Astri masih ingat betul, dalam perjalanan pulang Kevin membanting setir mobilnya ke kanan guna menghindari tabrakan dengan mobil depan yang ngerem mendadak. Namun bukannya terhindar dari maut, tiba-tiba malah muncul mobil dari arah sebaliknya menabrak mereka.
Mobil Kevin yang ringsek berat menjadi saksi bisu betapa kecelakaan itu demikian parah dan tak menyisakan ampun. Saat keduanya tak sadarkan diri di rumah sakit, cowok itu duluan menghembuskan napas terakhirnya. Astri beruntung masih selamat. Dia hanya menderita patah kaki ringan dan beberapa luka gores.
***
Satu tahun lebih berlalu....
Tak mudah memang bagi Astri menjalani hari dengan trauma yang masih membekas. Tak seorang pun juga begitu ambil pusing dengan sikapnya yang tertutup dan cenderung pendiam. Ya, kecuali Andhika.
Kring! Begitu bel kampus berbunyi, Astri bergegas meninggalkan ruangan. Rasanya ingin cepat-cepat pulang karena begitu banyak yang harus dikerjakannya di rumah siang ini.
"Astri, tunggu! Aku mau ngomong."
Astri memperlambat langkahnya sambil menoleh ke arah suara yang memanggil namanya. Tampak Dhika berlari-lari kecil ke arahnya. Sedikit terengah begitu berhasil menjejeri langkahnya.
"Aku nggak punya banyak waktu," Astri lantas memotong seraya membalikkan tubuhnya.
"Please, aku cuma pengen nanya. Boleh nggak aku ke rumah kamu malam minggu ini?" imbuh Dhika sambil tersenyum kikuk.
"Kenapa? Beberapa jam aja nggak lihat aku bikin kangen, ya?" tatapan mata Astri melunak.
"Jadi boleh ya aku main ke rumahmu?"
"Siapa yang bilang boleh?" Astri mendelik. "Aku sibuk!"
"Sibuk? Emangnya mulai punya bisnis apaan?"
Astri tertawa kecil. Andhika yang baik selalu mengingatkannya pada Kevin. Tubuhnya yang tinggi menjulang, kulitnya yang putih serta senyum baby face-nya seolah menjelma pada diri Dhika. Hanya saja....
Astri menarik napas dalam-dalam. "Pokoknya nggak boleh, kecuali...."
"Kecuali apa?"
"Kecuali kamu bisa mempertemukan aku dengan Kevin," tantang gadis itu.
Dhika terperangah. Permintaan itu terasa janggal. Gimana mungkin mempertemukan orang yang masih hidup dengan orang yang sudah nggak ada di dunia ini? Astri hanya mengada-ada.
Dan itu menjadi beban batinnya. Ternyata, menyadarkan seseorang yang terbelenggu cinta tak semudah yang dibayangkannya. Sayang dia keburu terbius oleh gadis itu. Sejak perkenalan pertama beberapa tahun silam, sebelum Astri akhirnya menjadi milik Kevin. Kalaupun saat itu dia memutuskan untuk mundur, itu semata karena Dhika yakin Kevin dapat membahagiakan gadis yang sedikit manja itu.
Perkiraannya tidak meleset. Semuanya berlangsung baik-baik saja. Sampai tiba-tiba kabar buruk itu diterima: Kevin meninggal akibat kecelakaan mobil.
***
Astri menggenggam sebuah boneka beruang kecil di tangannya. Hadiah dari Kevin di hari jadi mereka pacaran.
"Aku bakal ngasih kamu boneka beruang ini di setiap tahun hari jadi kita. Sampe meja belajar kamu penuh! Sebab aku ingin kita selalu bersama," kata Kevin suatu saat.
Astri mengenang hal itu dengan pahit. Hari ini seharusnya hari jadi mereka yang kedua, kalo Kevin masih hidup tentunya. Betapa Astri kangen dengan senyum, tawa, perhatian, bahkan omelan cowok itu saat dirinya lupa sarapan pagi. Sudah setahun pula Astri terus menyalahkan dirinya atas kecelakaan yang menimpa Kevin. Andai saat itu dia nggak mengganggu konsentrasi Kevin menyetir dengan mengajaknya ngobrol. Andai dinner itu tak pernah ada. Ah, andai....
Sebuah ketukan di pintu membangunkan lamunannya.
"Astri, ada temanmu yang datang. Kalo nggak salah namanya Dhika."
"Eh... iya, Ma." Astri buru-buru menyusut airmatanya.
Ngapain lagi Dhika kemari? Bukannya dia sudah bilang nggak usah mampir?
Di ruang tamu, Astri melihat cowok itu sedang duduk terpekur menatap lantai. Wajahnya langsung sumringah begitu melihat dirinya.
"Hai!" sapa Dhika spontan. Astri Cuma bisa diam mematung di ujung meja. Dhika kelihatan begitu lembut malam ini, dan dia begitu tampan dengan kemeja putihnya itu.
"Malam minggu nggak keluar?" tanya cowok itu lagi.
Astri menggeleng. "Mana ada yang pengen ngajak cewek kuper lagi berantakan kayak aku kencan di malam Minggu."
"Kamu serius? Aku mau!"
Astri tersenyum simpul. Cowok di hadapannya ini, tak putus-putusnya menghibur dirinya sejak kepergian Kevin. Astri tidak buta. Dia sadar perhatian Dhika selama ini.
"Tapi kamu belum mengabulkan permintaanku. Kamu belum mempertemukan aku dengan Kevin," Astri mengingatkan.
"Astri... kamu tahu sendiri kan hal itu nggak mungkin," sahut Dhika.
"Terserah."
"Sampe kapan kamu mau terus mengurung diri, As? Aku yakin Kevin juga nggak suka ngeliat kamu kayak gini," suara Dhika terdengar lembut tapi tegas.
"Kalo nggak suka, kamu boleh kok nggak peduli," jawab Astri dingin.
"Aku peduli, karena aku sayang sama kamu!" jawab Dhika gemas.
"Maafin aku, Dhika. Tapi Kevin tetap hidup di hatiku," jawab Astri setengah terbata. Kevin, kamu di mana? Berilah aku suatu pertanda kalo kamu juga nggak pernah ngelupain aku, bisiknya.
"Jangan berburuk sangka dulu. Aku nggak pernah minta kamu ngelupain Kevin, As. Aku cuma pengen kamu membuka diri bagi orang-orang di sekitarmu. Kan kamu sendiri yang bilang, kita harus menghargai waktu yang ada bersama orang-orang yang kita sayangi. Dan aku menghargai waktu yang aku punya bersama kamu!"
Astri terpana mendengar ucapan Dhika. Ada rasa haru menyeruak di hatinya.
"Aku suka sama kamu sejak dulu, As. Sejak kita pertama kali kenalan. Aku pengen kamu kembali ceria kayak dulu lagi," pinta Dhika sambil tersenyum manis.
"Thanks, Dhika. Tapi aku...."
Dhika mengeluarkan sesuatu yang disembunyikannya sejak tadi. Astaga! Sebuah boneka beruang kecil. Antara percaya dan tidak percaya, Astri menatap takjub saat tangan Dhika terulur padanya.
"Tadi sebelum ke sini, aku melihat boneka ini. Lalu aku berpikir untuk membelikannya untukmu karena setahuku kamu suka pernak-pernik beruang. Sebuah awal yang bagus bukan? Jadi di kamarmu nggak melulu koleksi barang dari Kevin." Lagi-lagi senyum tulus mengembang di wajah cowok itu.
Astri menerimanya dengan hati berdebar.
***
Angin malam menerpa ketika Astri membuka jendela kamarnya. Poninya tersibak. Antara suka dan lara bergayut di hatinya. Astri memandang boneka beruang kecil pemberian Dhika di tangannya, lalu menatap ke atas, menembus kelamnya langit di malam hari.
Astri tersenyum tipis. Dipejamkannya mata. Alangkah terasa kehadiran Kevin di sisinya. Entah kenapa kedamaian tiba-tiba menyelimutinya.
"Kevin," gumamnya lirih, "Aku nggak akan pernah melupakanmu meskipun kini sudah menerima uluran tangan Dhika untuk mengisi kekosongan hati ini, yang akan menemaniku melangkah di lembaran baru. Semoga kamu mendapatkan kebahagiaan di tempatmu yang sekarang."
Angin kembali berdesir. Astri membiarkan jendelanya tetap terbuka.
Sementara dari atas sana, betapa seseorang yang berpakaian seputih kapas itu tersenyum dan tampak melambai hangat kepadanya dari atas sana. Kevin.... ©
When tomorrow starts without me,
And I'm not there to see,
I wish so much you wouldn't cry,
The way you did today,
I know how much you love me,
As much as I love you

When tomorrow starts without me,
Please try to understand,
That my place was ready,
In heaven far above,
But don't think we're far apart,
For every time you think of me,
I'm right here, in your heart

(Poem inspired from When Tomorrow Starts Without Me by David M. Romano, December 1993)

0

DUA PEREMPUAN

Dua perempuan ibu dan anak, yang sama-sama sudah menjanda, pagi itu sedang memandangi indahnya alam semesta dari jendela ruang tamu rumahnya. Sambil menikmati udara pagi yang berembus lewat jendela itu, mereka juga sedang menunggu pujaan hatinya masing-masing.
"Siapa di antara pujaan hati kita yang akan datang lebih dulu?" tanya sang Ibu kepada anaknya yang semata wayang itu.
"Aku tidak tahu, Bu," sahut Ratih, sang anak. "Mungkin Oom Prapto, pacar Ibu dulu."
Sang Ibu mengelak, "Firasat ibu, yang muncul duluan pasti kekasihmu, Tandur. Karena dia selalu lebih cepat datangnya ketimbang Oom Prapto."
"Kalau begitu, kita tunggu saja sama-sama. Mudah-mudahan mereka datangnya bebarengan, biar di antara kita tidak ada yang kesepian," harap Ratih sedikit bijak. Sang Ibu tersenyum.
Di sepanjang waktu menunggu pujaan hatinya datang, langit menampakkan kecerahannya. Awan gemawan menjelma kapas putih menggumpal di langit luas. Untuk mengisi suasana yang kadang agak kaku itu, mereka saling membenahi gaunnya masing-masing. Sang Ibu membetulkan kerah baju yang dipakai anaknya, kadang sang anak membetulkan letak selendang yang sering turun dari pundak ibumya.
"Apa Ibu tahu musik kesukaan Oom Prapto?" tanya Ratih di tengah kebimbangan yang mulai merayap di hati mereka masing-masing.
"Ibu belum tahu persis musik kesukaan Oom Prapto. Tapi Ibu pernah dibawakan kaset musik biola Idris Sardi olehnya," jawab sang Ibu.
"Kalau mendengar musik berduaan dengan kekasih pasti romantis, ya Bu?"
"Soal romantis itu tergantung suasana, Rat," tukas ibunya sambil tersenyum. Ratih melempar tatapan matanya ke langit yang luas membentang. Sang Ibu mengikutinya ke arah mata anaknya menatap. Lalu berkata, "Kamu sendiri apa sudah tahu kegemaran Tandur, Rat?"
"Mas Tandur paling suka bersiul bila tak ada percakapan di antara kami," sahut Ratih. Sang Ibu tertawa. Selendang yang dipakai ibunya kembali turun dari pundaknya. Tapi kali ini sang Ibu sendiri yang membetulkannya.
"Itu salah satu kebiasaan kaum pria untuk menutupi perasaan hatinya," kata sang Ibu menanggapi.
"Maksud Ibu?" tanya Ratih ingin tahu.
"Pada saat dia bersiul, kita tidak tahu apa yang sedang dirasakannya. Karena bersiul adalah solusi lain untuk menghidupkan jalan pikiran."
Ratih termenung. Kalimat yang meluncur dari mulut ibunya teramat misteri. Sama seperti cuaca di minggu pagi yang cerah namun begitu misteri untuk ditafsirkan kelanjutannya. Ya, di minggu pagi yang cerah, kedua pujaan hati mereka berjanji akan datang bertandang untuk membicarakan kelangsungan hubungan mereka yang selama ini agak tersendat. Tapi sampai petang habis, sampai cerah jadi layu, kedua pujaan hatinya tak kunjung datang untuk menepati janjinya. Hati ibu menguap disebabkan bara kecewa, hati Ratih belah didera janji ingkar kekasihnya.
"Jika janji tak ditepati, apakah Ibu benci kepada yang memberi janji?" tanya Ratih ketika mereka menuju peraduan.
"Kenapa harus membenci. Semua bisa terjadi tanpa kita duga. Duabelas tahun Ibu menjanda, paham betul pada sifat laki-laki."
"Lalu Oom Prapto, bagaimana pendapat Ibu?" selidik Ratih.
"Ibu anggap, dia sudah jadi kepompong sewaktu dia lupa pada arah jalan menuju rumah kita!"
Tak sadar Ratih tertawa keras. Sang Ibu yang bicara spontan pun ikut hanyut dalam tawa anaknya.
"Kalau Tandur bagaimana, apakah kamu masih percaya padanya?" sodok sang Ibu ingin tahu juga pandangan anaknya terhadap kekasihnya.
"Kalau sekarang, aku lebih percaya tukang sulap daripada dia, Bu!"
Kali ini ibunyalah yang tertawa lepas. Dan mereka masih tersenyum sewaktu sama-sama menarik selimut tidurnya untuk pergi ke lautan mimpi.
***
Dua lelaki, Prapto dan Tandur, benar-benar lenyap. Mereka tak pernah datang lagi ke rumah dua janda ini. Dan anehnya, kedua janda ini memilih untuk tidak memikirkan mereka lagi. Juga tak ada niat untuk mengontak atau berkirim sms. Api yang mereka nyalakan telah mereka padamkan sendiri.
Di hari libur berikutnya, kedua janda ini, mengisi waktu luangnya dengan berlibur ke tepi pantai. Ditatapinya garis langit di ujung mata memandang. Debur ombak tak habis-habisnya menerpa batu karang yang ada di depannya. Anak-anak kecil dengan bertelanjang kaki menggali pasir dengan tangannya. Mereka membentuk gunung-gunungan dari pasir pantai Namun hanya sekejap gunung ciptaan mereka itu untuk kemudiah hancur oleh ombak laut yang datang datang menerpa silih berganti. Anak-anak yang masih polos itu itu tertawa lepas melihat gunung ciptaannya lumer digerus air laut.
"Rumah kita tak akan sepi jika ada anak kecil," ungkap Ratih yang tampak terenyuh melihat anak-anak yang berlarian didepannya begitu ceria. Menghibur dan tampak amat berarti kehadirannya.
"Anak memang segalanya bagi kita. Tapi sayang, dalam berumahtangga, Ibu hanya punya satu anak yaitu kamu seorang," timpal sang Ibu yang turut merasakan rasa hampa yang menerpa hati anaknya.
"Kalau aku tidak mandul, mungkin aku sekarang sudah punya anak, dan Mas Herman tidak mungkin kawin lagi dengan wanita lain. Dan aku tak mungkin kenal dengan lelaki yang bernama Tandur."
"Masalah anak adalah masalah Ibu juga, Ratih," sela ibunya.
"Apakah Ibu masih ingin melahirkan anak?" tanya Ratih spontan.
Sang Ibu terhenyak, "Oh, tidak Ratih. Anak tidak harus Ibu yang melahirkan. Ibu sudah tua. Kamulah yang seharusnya punya keturunan. Anak kamu adalah cucu Ibu. Itu sudah cukup."
"Tampaknya apa yang Ibu bilang itu tidak mungkin. Sebab dokter sudah mengatakan aku mandul."
Sang Ibu menuntun tangan Ratih untuk berjalan menyusur tepi pantai. Sedang anak-anak yang jadi inti pembicaraan mereka tetap asyik berlarian di tepi pantai bermain-main dengan ombak.
"Kita mengadopsi anak saja," cetus Ratih tiba-tiba.
Sang Ibu terkejut. "Ada-ada saja kamu, Rat," tukas sang Ibu.
"Kenapa? Apa Ibu tidak setuju?"
Sang Ibu menggeleng. "Hati kita tidak akan semurni ketika kita mengasihi anak kita sendiri."
"Kalau kita mencintainya, kita akan tulus memberi kasih sayang pada anak yang kita asuh."
Sang Ibu menatap jauh ke ujung lautan. "Kita akan kebingungan bila anak itu di suatu saat menanyakan asal-usulnya jika dia besar nanti."
"Tapi Ratih menginginkannya, Bu. Soal asal-usulnya, bisa kita bicarakan nanti."
Sang Ibu menoleh. "Serius kamu, Rat?"
Ratih mengangguk. Perlahan memeluk ibunya. Sang Ibu tiba-tiba tertawa
"Lho, kok Ibu tertawa?! Apa keinginanku ini lucu?" Ratih tersinggung.
"Ibu tertawa karena ingat keadaan kita apakah kita masih bisa mengurus bayi, membedong, memakaikan popok? Apakah kita tidak kaku nantinya? Dan bukankah kamu tahu, Ibu sudah duapuluh delapan tahun sampai kamu sebesar ini, Ibu belum pernah lagi mengurus bayi."
"Tapi kita kan wanita, Bu. Sudah kodratnya bahwa wanita lebih bisa mengurus bayi ketimbang kaum pria," tukas Ratih antusias.
"Jadi kamu tidak berniat mencari calon suami lagi?" tanya sang Ibu.
"Soal jodoh, kita serahkan saja pada Tuhan. Yang terpenting sekarang, hidup kita jangan sampai tersia-siakan. Kita harus mengabdikan diri kita pada sesuatu yang lebih berguna."
"Ternyata kamu lebih pintar daripada Ibu, Rat," tukas sang Ibu sambil membalas pelukan putrinya.
Dari ujung lautan tampak terlihat gelombang berkejaran menuju pantai. Angin bertiup menerpa wajah mereka.
"Akan kamu beri nama siapa untuk anak yang akan kita adopsi nanti?" tanya sang Ibu mulai merespon keinginan anaknya.
"Kalau laki-laki, akan kita gabungkan dengan nama-nama mantan suami kita," usul sang Anak enteng.
"Jadi kalau perempuan, apa nama kita yang kamu gabungkan?"
"Betul, Bu. Dengan maksud agar kita tidak merasa kehilangan dengan nama-nama yang pernah hidup bersama kita."
"Kalau begitu kita kita adopsi saja dua anak sekaligus, lelaki dan perempuan," usul sang Ibu sambil mencubit pipi anaknya.
"Usul yang baik, biar kita jadi sama-sama repot!" tukas Ratih sambil tertawa.
Lalu mereka turun ke laut, membiarkan ombak menerpa kaki mereka sampai ke atas lutut. Tawa mereka terbawa angin menyatu dengan debur-debur gelombang di pantai. ©

0

KALAU BULAN JATUH CINTA

Langkah Maya kian cepat menapaki tangga menuju kelasnya begitu mendengar bel tanda istirahat usai. Ia tak ingin Bu Nurky masuk kelas sebelum dirinya. Selain itu, ia harus menyempatkan diri menginterogasi Wulan.
"Heh, kemana aja kamu selama istirahat?" Maya langsung sewot karena Wulan ternyata sudah duduk di bangkunya.
Wulan cuma tersenyum.
"Di kantin anak-anak pada nanyain. Dodo nagih novel silat yang kamu pinjem, Idang nagih sebotol Fanta lantaran kamu kalah taruhan atas pertandingan bola semalam di teve, terus... aduh siapa lagi ya? Heh, malah cengengesan!"
"Lagian elo kok mau-maunya ngapalin pesen orang. Biar aja mereka nagih langsung," timpal Wulan.
"Begitu ya? Terus kemana aja kamu selama dua hari ini setiap bunya bel istirahat kamu langsung ngilang?"
"Ke perpustakaan."
Maya terbelalak. "Apa nggak salah tuh? Di sana kan seumur-umur nggak akan kamu temuin novel silat, Wul! Kapan kamu terakhir minum obat sih?"
"Lho, memangnya perpustakaan cuma buat baca-baca. Nggak...."
"Terus ngobrol dengan cowok? Hayo siapa dia?"
Wulan merasa dirinya terancam. Diliriknya pintu kelas. Aduh, moga-moga Bu Nurky cepat datang. Nah, benar kan. "Ssst, Bu Nurky dateng tuh!" bisik Wulan buru-buru.
Maya kesal. Mulutnya komat-kamit tanpa suara. Ia belum puas kalau pertanyaannya tak dijawab. Apalagi agaknya dugaannya kali ini benar. Ya, soal cowok. Ia bisa menangkapnya dari sorot mata Wulan. Oh, ini benar-benar berita. Si Iwul alias Wulan alias Rembulan Giargina sedang jatuh cinta. Tapi... berita itu belum cukup informasinya tanpa diketahui siapa cowok yang ditaksir Wulan. Akan kuselidiki, biar tahu rasa Wulan. Hehehe....
"Maya, kenapa kamu cengar-cengir? Kamu ngetawain baju baru Ibu, ya?" Bu Nurky di depat sewot begitu melihat mimik muka Maya. Ia memang selalu mengawasi dua gadis badung di kelas ini.
"Nggak kok, Bu. Baju Ibu bagus. Ngomong-ngomong beli di Tanah Abang ya, Bu? Abis mirip dengan punya tetangga saya."
"Sembarangan kamu!" Bu Nurky menghardik. Mukanya pucat. Ia bingung karena sudah lima orang menebak dengan jitu di mana ia membeli baju itu. Karena kesal, ia langsung menyuruh murid-muridnya ulangan mendadak. Biar tau rasa!
Tapi Wulan nggak protes seperti biasanya. Malah tumben-tumbennya ia mengumpulkan lebih dulu kertas ulangannya tanpa lebih dulu menyebarkan ke teman-teman cowok di sekitarnya. Maya gemas karena ia baru mengisi separuh soal di depannya.
Sampai bel bubar pelajaran sosiologi, Maya cuma menjawab empat soal essay dari sepuluh yang diberikan. Pelajaran berikutnya, ia sama sekali nggak menegur Wulan.
Begitu bel pulang berbunyi Maya langsung keluar lebih dulu. Ia mengambil tempat untuk menguntit Wulan. Diperhatikannya sobatnya yang berambut ala vokalis Roxette itu berjalan ke depan laboratorium kimia. Heh, mau apa anak sosial ke sana? Lima menit kemudian dari dalam laboratorium ke luar para penghuninya. Wulan dihampiri seorang cowok cakep. Maya tak begitu kenal dengannya karena ia yakin cowok itu jarang nongkrong di kantin, jarang menyentuh lapangan basket, dan... bukankah dia Ibnu. Cowok yang suka disebut-sebut teman-teman cewek di kelasnya karena wajahnya yang menggemaskan kayak bayi.
Jadi Wulan naksir Ibnu?
Maya buru-buru berbalik menuju ke kantin. Beberapa sobat kentalnya seperti biasa masih nongkrong di sana mengganggu anak-anak kelas satu. "Heh, dengar nih aku punya berita penting. Aku tahu sekarang kenapa si Iwul jadi lain. Dia ternyata lagi kasmaran dengan Ibnu, anak fisika itu," Maya langsung bertetetoet.
"Yang benar, nggak mungkin Iwul naksir Ibnu. Maksud gue Ibnu kan cowok...."
"Don, jangan gitu sama teman. Tomboi-tomboi juga Wulan masih normal, kok!" bela Maya.
"Dengan penampilannya yang macam gitu? Gue rasa semua orang sependapat dengan gue," timpal Dodong. Yang lain langsung manggut.
"Gue pikir malah dia pacaran sama elo," timpal Ijul.
"Kalian benar-benar keterlaluan!"
"Bukan gitu. Kalau tahu Iwul masih selera dengan cowok, dari dulu udah gue pacarin," tambah Ijul.
Maya memonyongkan mulutnya. Ia berbalik karena respon yang diharapkan dari teman-tamannya berbeda. Dalam kendaraan Maya jadi memikirkan Wulan. Kalimat yang dilontarkan teman-temannya soal Wulan jadi pikirannya.
Wulan memang tomboi. Bukan cuma dari dandannya, tapi juga perilakunya. Cewek itu cuma punya teman cewek Maya, selebihnya lelaki. Wulan lebih suka nongkrong di kantin sekolah atau ke lapangan basket daripada ngerumpi dengan teman-teman sejenisnya. Wulan nggak suka majalah cewek. Suaranya berat dengan tawa yang terbahak. Terkadang malah Maya lupa kalau teman jahilnya itu bukan cewek.
Tapi Maya tahu benar Wulan masih normal, nggak seperti yang dituding teman-temannya.
***
Esok harinya, cerita Wulan dan Ibnu jadi berita utama di SMA VIT. Entah siapa yang menyebarluaskan, dan lebih parah lagi menambah-nambahkan. Semuanya menyudutkan Wulan. Maya mengerti kalau kalimat nyinyir itu keluar dari para rival Wulan.
"Gimana bisa si Wulan pacaran dengan Ibnu? Dia kan nggak beres."
"Alaa, paling buat nutupin kenggakberesannnya."
"Tapi kok Ibnu mau, yah?"
"Semodern-modernnya dunia, dukun masih banyak, Non!"
Maya cuma menelan ludah mendengar mulut-mulut usil itu di tangga sekolah. Wulan juga pasti mendengar omongan usil itu. Mudah-mudahan ia nggak ngamuk.
Di dalam kelas raut muka Wulan nggak terlihat kisruh.
"Kamu udah dengar omongan orang di luar, Wul?"
Wulan mengangguk. "Biar aja, kafilah akan tetap berlalu meski anjing menggonggong."
"Kamu nggak bisa cuek gitu, Wul. Kalau kamu memang serius dengannya kamu harus perhatikan itu."
"Maksud elo, gue harus ngehajar mereka?"
"Bukan mereka, tapi kamu. Kamu harus mulai sedikit memperhatikan dirimu sendiri. Sori yah, Wul, terutama perilaku dan penampilanmu. Setelah aku pikir-pikir, ada salahnya juga mengabaikan omongan orang, terutama yang bernada kritis," papar Maya.
Wulan mendelik. "Kok elo jadi serius gini, May?"
"Aku cuma membayangkan kalau hal ini aku yang mengalaminya. Betapa sakitnya pasti. Apalagi kalau tudingan itu datang dari mulut teman-teman kita."
"Tudingan apa?"
"Bahwa kamu... mustahil menyukai cowok...."
Wulan terbelalak. "Gue belum denger yang itu. Siapa yang ngomong gitu? Biar gue hajar!"
"Tuh kan, kalau kamu begitu orang makin curiga. Seperti yang aku bilang, ada baiknya kalau kamu yang melakukan perubahan."
Wulan mendengus. "Elo yakin ini akan berhasil?"
"Tentu aja. Dan aku yakin Ibnu akan makin menyukaimu. Kamu serius kan dengannya?"
Wulan tersenyum. Maya sudah tiga kali gonta-ganti cowok, ia pasti tahu jawabannya.
***
Wulan akhirnya menyadari juga kalimat Maya. Ia memang nggak bisa terlampau mengacuhkan kata-kata orang. Bahwa orang menilai orang lain dari kulitnya memang selalu terjadi di mana-mana. Dan nggak ingin hal itu sampai berlarut-larut. Bagaimana kalau sampai terdengar ke telinga Mamanya tudingan-tudingan itu.
Wulan melakukan perubahan, kendati perlahan tapi amat terasa. Hari pertama ia mulai menjauhi berlama-lama di kantin, kemudian mengurangi tawanya, berikutnya ia membuat tatanan rambutnya lebih modis dan seterusnya. Sejauh ini, Ibnu memberi respon positif.
"Kamu tambah cantik, Wul!" puji Ibnu pada hari ketujuh mereka pacaran. Mereka merayakannya di KFC sepulang sekolah.
Wulan tersipu.
"Nanti malam aku mau ngajak kamu ke rumahku. Aku ingin mengenalkanmu pada orang rumah."
"Sungguh? Secepat ini?"
Ibnu mengangguk. Bulu halus di atas bibirnya membuat pesona sendiri buat Wulan. Tapi sedetik kemudian ada perubahan di mukanya. Wulan menangkap sebuah kegelisahan pada Ibnu. Sebelum Wulan sempat menanyakan sebuah suara berat terdengar dari belakangnya.
"Eh, di sini rupanya," cowok yang umur sekitar tiga tahun di atasnya itu menyapa Ibnu.
"Iya. Ngg... kenalin. Ini kakak sepupuku, Raka. Ini Wulan...."
"Pacar baru Ibnu," tambah Wulan.
"Sori nih keburu-buru. Ibnu, tolong bilang sama nyokap, aku di rumah sepanjang hari ini." Raka langsung pergi tanpa menunggu kalimat lagi dari Ibnu dan Wulan.
Wulan tak peduli. Mungkin ia terburu-buru. Wulan melirik Ibnu. Cowok itu agaknya masih gelisah. Kenapa?
"Aku harus buru-buru pulang, Wul. Nggak apa-apa, kan?"
Wulan mengangguk. Mereka meninggalkan KFC. Setelah Ibnu mengantarnya sampai depan rumah. Wulan buru-buru masuk ke kamar. Pikirannya langsung tertuju pada persiapan untuk acara nanti malam.
Gue nggak mau mengecewakan Ibnu, Wulan membatin.
***
Ibnu mengangkat mukanya. Wajah Raka di depannya masih datar belum ada satu kalimat pun yang keluar dari mulutnya. Ibnu berharap hal ini akan segera beres.
"Jadi elo ngedeketin Wulan cuma buat pura-pura. Untuk nutupin keadaan elo di mata Mama sama Papamu. Emangnya nggak kepikiran ujungnya nanti. Gimana kalau Wulan ternyata benar-benar mencintaimu?"
"Tadinya Ibnu nggak berpikir sampai ke situ. Kirain, Wulan... sama seperti kita. Penampilan dan perilaku dia selama ini sudah Ibnu amatin, makanya Ibnu berani deketin dia. Tapi setelah dideketin, baru ketahuan dia ternyata normal. Rencana untuk berkompromi dengannya gagal, tapi Ibnu masih ngebutuhin dia untuk menutupi kecurigaan orang rumah." Ibnu mengingat bagaimana kata-kata nyinyir Mama ketika menemukan foto Raka di dompetnya. Untung saat itu Ibnu bisa berdusta.
"Terserah. Gue sebenarnya seneng-seneng aja kalo elo memang bisa sungguh-sungguh bisa mencintainya. Bercinta dengan normal. Nggak seperti hubungan kita saat ini. Tapi bukan dengan kepura-puraan yang melibatkan perasaan orang lain," Raka berusaha berbicara sedewasa mungkin. Ia sendiri sebenarnya sudah menguntit Ibnu beberapa hari ini. Dan betapa kagetnya ia ketika tahu Ibnu—yang bukan saudara sepupunya itu—tengah berusaha menggaet seorang cewek di sekolahnya. Ada perasaan cemburu bergelora.
Ibnu tersedak. Ia nggak mau ditinggal Raka, seseorang yang memberikan kasih yang diimpikannya. Nggak mau kendati ia tahu hal itu nggak wajar. Dan Wulan, belum benar-benar mampu singgah di hatinya.
"Lakukanlah yang menurutmu terbaik saat ini juga," kata Raka sambil menunjuk HP di dekat Ibnu.
Tanpa ragu Ibnu menelepon Wulan.
"Halo, Ibnu! Udah siap, nih. Kapan gue dijemput?"
"Wulan... aku harus bilang... aku nggak jadi mengajakmu ke rumah. Dan mengenai hubungan kita... sebaiknya berakhir sampai di sini aja." Ibnu sadar kalimatnya akan menyakiti hati Wulan. Tapi biar gimana juga ia harus mengatakannya. Lebih cepat lebih baik bagi Wulan dan dirinya.
"Ibnu, elo nggak bercanda, kan? Ini... ini terlalu singkat. Kenapa, Ibnu? Ada yang salah dengan gue?"
"Bukan... bukan kamu yang salah. Aku yang salah. Tapi aku belum bisa ngomong sekarang. Aku belum siap...."
Wulan mematikan HP-nya. Berjam-jam ia nggak sabar nunggui datangnya malam, dan ketika saatnya datang justru kabar buruk yang ia terima. Wulan menengadahkan kepalanya memandang langit dari jendela kamar. Rembulan termangu di atas sana. Wulan benar-benar belum siap untuk patah hati. ©

Back to Top