0

GETAR CINTA ARGA

Arga baru saja tiba di rumah dan menggeliatkan badannya mengusir penat setelah seharian dia meliput acara perlombaan voli pantai di Parangtritis ketika Niar, adiknya, menegurnya dengan mulut belepotan silverqueen sembari selonjoran di teras membaca majalah GADIS.
"Ada undangan ultah untuk Mas Ar. Tuh, di atas meja makan."
"Dari siapa?"
"Dari siapa lagi?" Niar masih asyik dengan permen coklatnya. Matanya tidak terlepas dari gambar-gambar model di majalah GADIS.
Arga menghela napas panjang-panjang. Sri. Gadis itu lagi!
"Kayaknya dia ada hati sama Mas Ar!"
"Siapa?" Arga pura-pura tidak tahu. Dilepaskannya rompi dan kamera Nikon-nya. Diletakkannya sementara di atas meja makan. Matanya menyambar sepucuk surat mungil bersampul merah jambu. Ada pita pemanis dengan warna senada.
"Sweet seventen-an. Asyik. Mas Ar, Niar ikut ya?"
Arga tidak menjawab. Ditariknya sebuah kursi dan duduk anteng dengan rupa cemas.
Entah sudah berapa kali Sri menelepon mengingatkannya agar hadir pada hari jadinya yang ketujuh belas. Dan hari ini dia mengirimkan undangan. Alangkah sakitnya hati Sri bila besok dia sampai tidak menghadiri pesta ulang tahunnya itu.
Tapi....
"Mas Ar mau hadir, kan? Tadi pagi-pagi sekali dia nelepon lagi. Katanya...."
Arga bangkit. Dilangkahkannya sesegera mungkin kakinya menuju kamarnya. Dia tidak ingin mendengar celoteh adik semata wayangnya itu. Dia ingin tidur puas-puas. Melupakan saja gadis yang menaruh perhatian lebih kepadanya itu. Sungguh, dia menyesal mengapa bersikap manis saat mewawancarai gadis itu. Mengapa dia bersikap baik bila bertandang ke rumahnya. Mengapa....
Di kamarnya, di atas tempat tidurnya yang sederhana namun resik, dia terpulas karena kecapekan. Di dalam mimpinya, dia bertemu Sri lagi. Sri nampak cantik dan anggun seperti Cinderela dengan gaun pestanya yang gemerlap mempesona. Dan dia menjadi pangeran yang siap mempersunting Cinderela.
***
Plaakk!
Arga tergeragap. Dia meringis sembari mengelus bahu kanannya yang perih akibat tepukan seseorang di belakangnya. Secuil senyum nakal menyambutnya begitu dia berbalik untuk menengok.
"Ngelamunin dia lagi ya, Ga?" Pertanyaan itu terdengar saat mata Arga membentur sesosok tubuh lampai punya Liana, teman sekampusnya.
Arga tak menggubris. Pura-pura dialihkannya kembali tatapannya ke harian lokal yang memuat artikelnya. Merasa tidak dianggap, Liana berusaha merebut tabloid itu dari tangan Arga. Tidak berhasil. Karena Arga bergerak refleks, mengelakkan badannya ke samping. Lalu menyembunyikan tabloid tersebut di belakang punggungnya.
"Apa-apaan sih, Na?" semburnya sembari melotot.
Liana berkacak pinggang dengan rupa semasam mangga muda. "Kamu tidak tuli, kan?"
"Tentu saja tidak." Arga kembali menggelar tabloidnya.
Liana duduk kini di samping Arga. "Nah, kalau tidak, tolong jawab pertanyaanku tadi."
"Soal apa?" tanya Arga tanpa mengangkat muka.
"Soal gadis cantik-manis-ayu de-es-te (dan seterusnya) yang bernama Sri."
Air muka Arga berubah. Diangkatnya kepala dari lebar kertas tabloid di akhir jawaban Liana. Ini, ini dia yang mesti dihindarinya! Sebab, tabu hukumnya apabila dia menyinggung-nyinggung soal gadis manis yang punya talenta besar di bidang modeling itu. Bahaya. Nah, sedini mungkin hal-hil yang menyangkut tentang Roro Sri Dwinintaputri Trisnojoyo harus digebahnya. Terbang jauh-jauh dan semoga tak akan pernah kembali.
"Kenapa memangnya dengan putri tunggal puak terpandang itu?" tanya Arga cuek, meski tak urung juga bola matanya bergerak gelisah.
"Kenapa?" Liana tersenyum sinis. "Justru aku yang pingin nanya tentang dia."
"Dari aku?"
"Siapa lagi?"
"Hei, kok ke aku?"
Liana menghempaskan napasnya dengan keras. "Kok, kamu mendadak jadi bego begitu, sih?!"
"Maksudmu?"
"Cih, pura-pura lagi," Liana mencibir dengan gaya kekanak-kanakan. "Kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu, padahal hati kamu kebat-kebit," ledeknya, lalu tertawa terbahak.
Arga menahan dirinya sekuat mungkin untuk tidak tersenyum. Dirasakannya pipinya memanas. Hm, mudah-mudahan cewek tengil ini tidak melihat pipiku yang mungkin sudah merah-padam, harapnya dalam hati. Pufh! Anak ini memang kerjanya suka usilin urusan orang lain. Dia ratunya tukang gosip. Setiap hari ada saja korban dan bahan gosipnya. Mottonya, tiada hari tanpa gosip.
"Lho, hari ini kamu kan, ada kuis?" tanya Arga cepat.
"Tidak jadi. Pak Hans lagi tidak enak badan," jelas Liana dengan kalimat 'steno'nya, lantas menyergah, "Eit, jangan mengalihkan pembicaraan. Dosa, tahu?"
Mau tidak mau Arga akhirnya tersenyum juga. Nona yang satu ini memang pantang menyerah jika sudah mengejar sumber berita. Apalagi yang hangat dan aktuil. Dan memang harus diakui kalau dia punya prospek yang cerah untuk menjadi seorang wartawati handal. Tapi mudah-mudahan saja bukan untuk media cetak yang, khusus mengupas masalah gosip dan isu hasil bentukannya bersama nona-nona rumpi lainnya!
Akhirnya Arga menyerah. Liana terlalu pintar untuk dibohongi. Juga terlalu cerdik untuk dikibuli. Dia seperti punya seribu pasang mata dan telinga yang bertebaran di mana-mana.
"Cuma temenan." Hanya kalimat itu yang diuraikan Arga menanggapi desakan pertanyaan Liana yang seperti muntahan peluru senapan mesin, menanyai tentang kebenaran gosip yang belakangan ini menjadi buah bibir semua orang.
"Percaya, percaya...." Liana berdiri dengan sikap prajurit, lantas membungkukkan badannya dalam-dalam seperti hormat ala Jepang. "Terima kasih atas jawabanmu yang sudah klise."
"Eh, tidak percaya?" Arga turut berdiri setelah melipat tabloidnya.
"Hanya orang stewar yang akan percaya."
"Apa? Rod Steward?" Arga mengernyitkan dahinya, sama sekali tidak mengerti bahasa 'gaul' yang dilontarkan Liana barusan.
"Bukan Rod Steward yang penyanyi rock itu. Tapi stewar!"
"Apa itu stewar?"
"Itu singkatan dari setengah waras."
"O," Arga mengangguk lugu. "Tapi kamu akan menjadi orang stewar bila ikut-ikutan gosip itu."
"Oya?" Liana mendelik. "Lantas, apa dalih kamu lagi mengenai foto berdua kamu dengan Sri yang jelas-jelas terpampang besar-besar dan dimuat di sini minggu lalu?" Ditariknya tabloid dari tangan Arga, lalu diacung-acungkannya di muka hidung cowok itu.
"Itu hanya snap-shot dari paparazzi amatiran yang tidak punya kerjaan," Arga menanggapi dengan tenang. Diambilnya kembali tabloid dari tangan Liana.
"Tapi...."
"Liana, Liana," Arga menyalib, menggeleng-gelengkan kepalanya, "Kamu tuh, harus tahu siapa sebenarnya Si Sri itu. Dia itu publik figur. Dan sebagai publik figur dia tidak terlepas dari perhatian yang sekecil apa pun."
"Tapi...."
"Sstt.... jangan potong kalimatku," Arga mengibaskan tangannya. "Nah, entah di mana dan bagaimana, pas aku terlihat berdua dengan dia, 'klik-klik-klik', maka jadilah foto yang kamu lihat di sini minggu lalu." Giliran Arga yang mengacung-acungkan tabloid itu di muka hidung Liana. "Kebetulan saja aku yang ketiban sialnya karena saat itu aku tengah mewawancarai dia. Kukira, hal itu tidak menutup kemungkinan bagi cowok-cowok lain. Paham?"
Tapi Liana tidak mau paham. Sebab, nyaris seantero Yogyakarta tahu kalau Roro Sri Dwinintaputri punya gacoan baru bernama Arga Sofyan.
"Tidak ada yang bakal menjebloskan kamu ke dalam penjara kalau kamu berterus terang, kok." Liana belum menyerah.
"Tapi...."
Liana yang menyalib kini. "Cantik, beken, dari keluarga terpandang. Apalagi? Bangga dong, punya doi seperti Sri. Nah, kenapa mesti malu mengakuinya?"
Arga kali ini benar-benar menyerah. Dia tidak tahu harus ngomong apa lagi untuk meyakinkan Liana kalau dia sama sekali tidak ada affair dengan model belia adik dari Roro Sari Dewantiputri, teman sekampusnya di Universitas Atma Jaya Yogyakarta .
Cuma temenan!
Kalimat itu yang berkali-kali diulang Arga di bibirnya. Di bibir tok. Tapi tidak di hatinya. Karena hatinya menolak kalimat itu. Hatinya tidak pernah mau akur dengan kalimat yang berkali-kali diucapkannya itu.
Hatinya bicara lain.
***
Jika ada kesalahan terbesar sepanjang hidupnya, maka Arga tidak akan memungkiri ini:
Jatuh cinta pada Sri!
Kadang-kadang dia berpikir kalau dirinya sedang mengalami gejala psikopat. Mengharap apa yang mustahil diraih. Pungguk merindukan bulan!
Gadis itu demikian terpandang. Berprestasi. Model. Lahir dari keluarga yang menjadi panutan masyarakat. Sedangkan dia? Huh, sudah kurus, jelek, miskin lagi. Lagian masa depannya belum jelas. Nyari makan untuk diri sendiri saja susah, bagaimana mau ngasih makan anak orang lain? Apa mau dikasih makan batu? Arga, Arga, kamu mesti tahu diri. Ngaca, ngaca, dong! maki Arga berulang-ulang kepada dirinya sendiri.
Dunia akan menertawakannya.
Dan mereka semua sekarang sudah tertawa membaca beritanya yang dianggap paling lucu sedunia. Seorang mahasiswa kere berani-beranian berpacaran dengan seorang model dari keluarga berdarah biru, ningrat. Nyali apa yang dia pakai?!
Cibiran pun tertuju untuknya. Sarkartis dan menyakitkan memang. Sekarang dia digelari si Muka Badak. Tidak secara langsung. Cuma bisik-bisik seperti sepoi-sepoi angin. Tapi sepoi-sepoi angin itu bakal menjadi topan yang memporak-porandakan hatinya....
Agaknya dia harus belajar untuk menjadi seorang satria. Jujur pada dirinya sendiri, berterus terang mengatakan cintanya pada Sri dengan mengenyahkan perasaan-perasaan kerdilnya. Atau, tidak sama sekali dan berarti kalah untuk selama-lamanya! ©
0

ANGEL VS EVIL

"Aku tidak suka mendengar musik gubrak-gabruk begitu!"
"Musik beginian sedang nge trend, tahu?"
"Huh, ngetrend apanya?! Musik seperti begitu kok dibilang bagus. Apa sih bedanya musik begituan sama 'klentang-klentong' tukang kaleng yang biasa mangkal di Pasar Loak?!"
"Belum coba, ya? Bisa bikin jantung berdebar-debar senang. Bisa bikin hepi pula meski lagi sedih banget. Jenis iramanya techno, namanya lagu house music. Berisik tapi asyik. Trus, kalau lagi jingkrak-jingkrak harus di tempat yang temaram. Tidak boleh terang, tidak boleh...."
"Eh, memangnya...."
"Memang begitu caranya, Non. Namanya, disko."
"Diskotik! Clubbing!"
"Lho, kok kamu tahu?"
"Kamu pikir aku ini gadis pingitan apa?"
"Tentu saja tidak. Tapi...."
"Makanya...."
"Hei, aku tidak tahu kamu ternyata...."
"Aku tidak suka diskotik!"
"Tapi...."
"Tidak suka ya tidak suka!"
Bulan menutup perbincangan via telepon dengan ultimatum. Ada gabrukan keras terdengar di akhir kalimatnya. Tari menahan napas. Separuh jiwanya seperti melayang. Tentu bukan perkara biasa kalau Bulan Purnama Sidhi sampai marah besar begitu. Padahal, tidak ada dalam niatannya untuk membuat gadis itu mangkel. Maksud baiknya ditampik. Dia sedih.
Selama ini Bulan memang jarang bicara. Di sekolah, selain menekuri buku-buku pelajaran, tidak ada hal lain lagi yang dilakukannya. Padahal, teman-teman lainnya tengah asyik-asyiknya ngobrol seputar gaya hidup dan partyzone metropolis.
Ada deringan terdengar. Dalam satu gerak gegas tangannya yang jenjang itu mengangkat gagang pada deringan ketiga. Sudah menjadi kebiasaan tidak mengangkat gagang telepon pada deringan awal. Entah kenapa.
***
"Maafkan aku, Tari."
Sudah seperti yang diduganya. Bulan pasti menelepon kembali, seperti ada sesuatu yang terputus dalam perbincangan tadi. Belum rampung sama sekali. Dan dia sengaja tidak beranjak meninggalkan tempat.
"Aku marah tanpa alasan."
"Tidak apa-apa. Aku tidak...."
"Aku tahu kamu pasti tidak bakal marah. Makanya, aku meneleponmu kembali."
"Aku yang salah. Mengajakmu ke tempat yang tidak kamu sukai."
"Sebenarnya maksudmu baik...."
Tari terdengar menghela napas lega. Gadis berkacamata minus sahabatnya sejak dari bangku Sekolah Dasar dulu memang berjiwa besar. Dia akan mengakui kesalahan atas kesadarannya sendiri. Dan suatu saat dia berharap dapat memiliki jiwa sebesar Bulan.
"Kamu masih sering...."
"Ke diskotik?"
"Hei, memangnya ke bonbin? Apa lagi kalau bukan tempat itu yang aku maksud?"
"Hm, akhir-akhir ini iya."
"Sendiri?"
"Mana berani aku pergi sendiri?"
"Sama siapa?"
"Tidak tentu. Tapi yang pasti beramai-ramai."
"Papi-Mami kamu...."
"Tentu saja tanpa sepengetahuan mereka."
"Astaga, Tari!"
Ada suara keluh di seberang sana . Seperti mengumpat namun tidak jadi. Hanya jeda sebentar.
"Tari, kamu sekarang mulai belajar berbohong, ya?"
"Ak-aku terpaksa, Lan. Kalau tidak begitu...."
"Kalau tidak begitu kamu pasti tidak diizinkan, kan ?"
"He-eh."
"Tari, Tari. Orangtua mana sih, yang rela anak gadisnya keluyuran di malam hari?"
"Tapi...."
"Eit, jangan bilang kalau diskotik itu tidak buka pada siang hari."
"Justru karena itu aku selalu bilang nginap di rumah kamu."
"Masya Allah, Tari! Kamu bawa-bawa namaku segala!"
"Sori, Lan...."
"Eh, jangan bilang lagi kalau kamu terpaksa. Tahu tidak, bagaimana kalau Papi-Mami kamu telepon ke rumahku?!"
"Makanya itu, Lan, kamu-lah satu-satunya sohibku yang paling bisa dipercaya. Dan mereka...."
"Eit, jangan bilang mereka percaya kepadaku seratus prosen sehingga tidak bakal menelepon kemari. Satu dua kali mungkin tidak. Tapi kalau terus-menerus...."
"Tapi...."
"Jangan motong! Perbuatanmu itu sangat berbahaya, Tari. Tahu tidak, seandainya belangmu ketahuan, pasti aku juga terseret. Melakukan konspirasi tidak terpuji dengan Tarida Putri Lesmana."
"Mereka belum tahu, Lan."
"Sampai kapan kamu dapat mengibuli mereka?"
"Tapi mereka tidak bakal tahu kalau kamu tidak buka mulut...."
"Hei, kamu pikir aku ini mata-mata pengkhianat...."
"Tentu saja tidak begitu. Kamu temanku yang paling baik."
"Dan karena kebaikanku, maka kamu seenaknya bawa-bawa namaku di depan orangtua kamu!"
"Aku tidak bermaksud begitu. Tapi...."
"Tari, dengarin aku. Bukannya aku tidak mau nolongin kamu, tapi apa yang kamu lakukan itu sudah salah."
"Aku bete di rumah, Lan. Makanya aku main ke tempat begituan."
"Jangan jadikan kejenuhan sebagai alasan, Tari. Tentu saja kamu boleh main ke diskotik. Tapi, kalau setiap hari kan kebangetan namanya."
"Tapi...."
"Tari, aku tidak berhak melarang. Kamu tahu kan, bagaimana rawannya tempat hiburan malam begitu. Lagipula, kamu masih di bawah umur. Sadar dong, Tari. Kita ini masih kelas satu SMA!"
"Hu-uh. Kamu sok toku, Lan. Kapan lagi dong, kita dapat menikmati masa muda kalau bukan sekarang?! Apa harus kalau sudah jadi nenek-nenek?!"
"Tentu saja bukan begitu. Cari hiburan ya cari hiburan. Bukan seperti kamu yang cari penyakit. Setiap malam ke diskotik!"
"Tapi aku bisa jaga diri, Lan."
"Itu kalau kamu mawas. Lha, kalau tidak bagaimana?!"
"Maksudmu?"
"Maksudku begini. Seandainya ada orang yang mau jahilin kamu, mana mungkin dapat kamu awasi terus-menerus. Pas kamu goyang di hall, orang itu naruh inex ke dalam gelas minuman kamu, jadinya kan bisa berabe."
"Makanya, Lan. Aku pergi sama teman-teman yang sudah akrab. Jadi, kamu jangan tanya kenapa aku ngotot pingin kamu ikut. Tidak tahunya malah aku kena damprat kamu tadi."
"Teman bisa berubah, Tari. Kamu jangan kelewat percaya sama teman. Hati orang siapa yang tahu, sih?"
"Iya, deh. Aku dengar nasehat kamu. Tapi, mau tidak kamu ikut?"
"No way!"
"Please, Lan. Hanya sekali ini saja. Anton pasti senang kalau kamu bisa ikut. Come on, please. Ultah Anton hanya sekali dalam setahun. Masa sih kamu tega!"
"Ultahnya mau lima kali setahun juga kek, sekali tidak tetap tidak!"
"Buuulaannn, please dong, ah!"
"Bye."
Bulan meletakkan gagang telepon.
Dia menghela napas panjang. Bimbang mengambangkannya.
Malaikat dan iblis bertempur di dalam hatinya. ©
Back to Top