TALIKASIH OCIT DAN ANGGA CHAPTER 3

CHAPTER 3:
OCIT MENANGIS


Angga menguap, diliriknya jam kamarnya. Jam tujuh lewat. Ia keluar. Eh, kok masih sepi sih? Sayup-sayup terdengar suara Metalica dari kamar Ocit. Baru saja Angga akan membuka kamar Ocit ketika telinganya menangkap isakan kecil. Eh! Kok Metalica menangis, sih? Versi baru, ya? Ia berpikir sejenak. Atau...
Angga menempelkan daun telinganya ke pintu. Benar! Si Ocit yang menangis.
Angga duduk di depan pintu kamar Ocit, sibuk berpikir apa yang membuat si Bontot itu menangis. Gara-gara Mama pergi tidak ngajak Si Ocit?
Angga menggeleng.
Ocit kan sudah gede, nggak suka ngekor lagi. Gara-gara dia suka ngeledekin Ocit? Angga kembali menggeleng. Perasaan selama ini ledekannya masih wajar-wajar saja. Atau....
Mata Angga membulat.
Pasti gara-gara cowok! Si Ocit mungkin lagi jatuh cinta tapi nggak kesampaian. Atau mungkin ada cowok yang nyakitin Ocit, ya?
Angga menggeram.
Ia lalu mengendap-endap mendekati telepon di ruang tamu yang persis berada di samping kamar Ocit. Dipencetnya beberapa nomor.
"Halo," ucapnya berbisik.
"Halo," terdengar nada heran di ujung.
"Dini, ya?" Angga masih berbisik.
"Iya. Ini siapa, sih?"
"Angga," bisik Angga lagi sambil melirik deg-degan ke pintu kamar Ocit.
"Siapa?"
"Angga," ulang Angga berbisik serak.
"Angga yang mana?"
"Angganya Ocit! Eh, Si Ocit kenapa, sih?"
"Kenapa bagaimana?" tanya Dini bingung.
"Kok dia nangis?" Angga kembali melirik kamar Ocit. Mudah-mudahan Ocit nangis terus dan nggak keluar! doanya dalam hati.
Dini terdiam di seberang.
"Aku tanya Si Ocit kenapa?" ulang Angga mulai tak sabar.
"Ng...."
Angga mendesis jengkel. "Mau ngomong nggak, sih?"
"Entar Si Ocit marah kalau...."
"Aku nggak bakal kasih tahu, deh!" sela Angga cepat.
"Bener?"
Angga mengangkat dua jarinya. "Eh! Bener! Bener!" ucapnya cepat, sadar kalau Dini tidak bisa melihatnya.
"Roy ngecewain Ocit."
"Apa?!" Angga berteriak marah. Ia mendekap mulutnya, kaget dengan suaranya sendiri. Matanya melirik curiga ke pintu kamar Ocit. Pintu itu tidak terbuka. Angga menghembuskan napas lega.
"Halo? Kamu masih ada?"
"Iya, iya! Si Roy tadi kenapa?" Angga kembali berbisik.
"Si Roy ngomong kalau dia tuh jatuh cinta sama Vera, padahal dia tahu kalau Ocit tuh suka kama di...."
"Kurang ajar!" desis Angga marah.
"Eh, tapi...?"
"Roy itu kelas berapa?" sela Angga.
"Kelas satu empat. Mau ngapain, Ga?" tanya Dini khawatir.
"Nggak kok!" Angga mengubah suaranya menjadi manis. "Cuma pengen tahu saja," bohongnya. "Sudah ya, dan makasih buat infonya," lanjutnya lagi mengakhiri.
"Eh, tapi bener lho, nggak bilang ke Ocit?"
"Bener! Bye-bye, Dini Manis!"
Angga mengepalkan tangannya. Senyumnya menghilang.
"Awas kamu!" geramnya dengan wajah sangar.
***



0

TALIKASIH OCIT DAN ANGGA ( CHAPTER 2 )

CHAPTER 2:
MASAK SENDIRI


"Ociiiit!" teriak Angga yang baru pulang. Ia meneguk segelas air es. Tapi Ocit tidak muncul.
Angga membuka pintu kamar Ocit. Cewek SMA kelas satu itu sedang asyik mendengarkan lagu lewat ipod.
"Hoooooi!" teriak Angga kencang membuat Ocit terloncat dengan wajah shock. Angga terkekeh. "Mama mana?" tanyanya tanpa merasa berdosa.
"Pergi!" jawab Ocit ketus.
"Lunch-nya kok nggak ada?"
"Mama nitip duit, beli sendiri katanya."
"Masak sendiri, ah!" kata Angga seambil berjalan keluar.
Ocit mengekorinya. "Mau masak apa, Ga?"
Angga membuka kulkas, menengok apa yang bisa dimakannya.
"Telur," jawabnya sambil mengeluarkan sebutir telur. Kemudian ia menyiapkan penggorengan dan menyalakan kompor. Dengan bersiul-siul kecil ia mulai memasak. Ia memang jago masak.
Telur yang telah dimasak ditaruhnya di piring lalu dipotong-potongnya menjadi kecil. Ia lalu mengambil tomat, bawang merah, cabe dan entah apa lagi lalu ia mulai memotong-motong semua itu.
"Katanya masak telur, kok pakai tomat?" tanya Ocit yang sedari tadi berada di sampingnya, heran.
"Telur kuah ala Angga," jawab Angga seenaknya.
Ia lalu mencampurkan semua itu dengan menambahkan bumbu-bumbu dapur Mama. Kemudian ia memasak lagi dengan memasukkan telur yang tadi, air dan entah apa lagi.
Ocit bingung.
Tercium bau harum yang membuat perut Ocit berteriak-teriak. Ocit menelan ludah. "Kayaknya enak ya, Ga?"
"Oh, so pasti itu. Angga!" balas Angga sombong.
"Masakin Ocit juga, dong!" pinta Ocit.
"Masak sendiri! Cewek nggak bisa masak, payah," omel Angga.
Ocit cemberut. "Ayo dong, Ga," bujuknya memelas.
Angga mencibir. "Nggak!"
Ocit berjalan pergi dengan wajah kesal bercampur sedih.
Angga melirik. Merasa kasihan juga. "Nih!" teriaknya keras. "Buat kamu. Awas kalau nggak dihabisin."
"Makasih ya, Ga," ucap Ocit sambil mengambil piring.
Angga memasang wajah galak, pura-pura tidak mendengar. Tapi sesekali diliriknya Ocit yang makan dengan lahap. Ada senyum di bibirnya.
***

0

TALIKASIH OCIT DAN ANGGA ( CHAPTER 1 )

CHAPTER 1:
OCIT DAN ANGGA


Buuum!
Angga yang tengah memandikan sepeda motor Tiger-nya tersentak kaget mendengar suara itu. Tanpa mencuci tangannya yang penuh busa shampo, ia berlari kencang ke kamarnya.
"Ociiiit!" Terdengar lengkingan Angga dari kamarnya.
Mama yang sedang membaca di ruang tamu menoleh heran.
Di dalam kamar, tepatya di samping buku-buku yang berserakan, Ocit tertunduk gemetar.
"Aku sudah bilang, jangan masuk ke sini!" omel Angga dengan suara menggelegar.
Ocit semakin gemetar. "So-sor-sori! Ocit nggak se-seng...."
"Nggak sengaja, nggak sengaja!" potong Angga ketus. "Ngapain kamu di sini?" tanyanya galak.
"Ocit cuma mau minjem...."
"Minjem, minjem!" sela Angga lagi, tidak memberi kesempatan pada Ocit. "Minjem apa nyolong?" Angga melotot.
"Minjem," jawab Ocit hampir menangis.
"Minjem tapi nggak bilang-bilang?! Mana berantakin kamar lagi!"
"Ocit beresin, deh...."
"Nggak usah!" sergah Angga tambah melotot. "Kamu keluar saja. Cepat!" usirnya seraya membuka pintu lebar-lebar.
Ocit melangkah pelan. "Tapi...." protesnya takut-takut.
"Apa tapi-tapi?!" Angga memasang tampang kejam.
Ocit berlari keluar dan duduk di samping Mama. Ia menyembunyikan wajahnya di belakang Mama.
Angga membanting pintu kamarnya dan berjalan keluar dengan mata yang masih terus melotot pada Ocit.
"Awas kalau berani masuk lagi!" ancamnya.
"Angga," lerai Mama sambil mengelus rambut Ocit.
"Dia yang salah, Ma. Masa kamar Angga diberantakin. Buku-buku pada jatuh semua," adu Angga.
"Kan Ocit cuma mau minjem buku," bela Ocit.
"Minjem apa nyolong?! Nggak minta izin dulu!" Angga mendekati Ocit yang segera bersembunyi kembali di belakang Mama.
Ocit seperti tikus yang hanya menongolkan sedikit kepalanya untuk menengok.
"Awas kamu kalau berani masuk lagi!" Angga mengacungkan telunjuknya yang tertutup busa pada Ocit yang cemberut.
"Angga!" tegur Mama.
Angga mencibir. "Dasar anak manja!"
***


0

BIANG DIHATI YANG MERINDU

"Cinta tak dapat dipaksakan.
Ia tumbuh alami di dasar hati dengan kinasih.
Memaksakan kehendak cinta pada seseorang
hanya akan mendatangkan kehancuran,
dan bukannya kebahagiaan!"
(Effendy Wongso)


Setidaknya kejadian pagi tadi akan menjadi ingatan yang tidak bakal pupus dari benak Rida. Semuanya terjadi secara tiba-tiba dan mendadak. Uh. Rida menarik napas panjang. Dadanya penuh. Tapi, lupakanlah. Toh semuanya telah terjadi. Dede tidak tersakiti bila ia misuh-misuh begini. Malah, ia sendiri yang rugi. Sakit.
Rida menghempaskan pinggulnya di atas busa lunak sofa kecil di samping ranjang. Begini sepertinya lebih baik. Sedari tadi juga ia mondar-mandir dan bolak-balik seperti robot mini bertenaga baterai punya Rido, adik bungsunya. Memang sangat tidak mengenakkan memikirkan peristiwa tadi. Apalagi kalau itu terjadi di muka umum. Di depan mata dan kepala teman-teman sekelas pula. Ufh. Malu-maluin saja!
Bukan karena apa. Cowok muka badak Dede itu rupanya perlu dikasih pelajaran tentang malu. Bayangkan, masa ia datang pagi-pagi sekali lantas langsung mengamuk-ngamuk kayak kuda mabuk. Dan, ini biangnya! Ia mengungkit-ungkit kenangan silam, yang semestinya telah dikubur dalam-dalam. Seharusnya. Tapi ia....
***
Pukul 10.00 Wita,
Jam Istirahat Pertama di Sekolah


Rida mengernyit. "Eh, De. Kok, di sini?" Lima detik ia tertegun sampai akhirnya bertanya kembali. "Ka-kapan datang?"
"Kemarin malam." Ketus kalimat balasan yang keluar dari bibir simetris seorang cowok berbadan tegap.
"O," Rida mengangguk samar, kemudian memaksa secuil senyum yang samar pula di bibirnya.
"Aku ingin bicara." Cowok itu mendesak. "Penting."
Sebersit rasa was-was perlahan melingkup hati Rida. Firasatnya mengatakan ada yang tak beres kali ini. Entah soal apa. Yang pasti Dede tidak akan senekat ini ke sekolah jika tidak ada sesuatu hal yang sangat penting. Mudah-mudahan bukan dari rumah sakit atau kantor polisi. Lha, ngapain ia membolos kuliah datang ke Bone?!
Dan nyatanya letak persoalan bukan dari kedua tempat yang sempat dikuatirkan Rida. Ia pun menghela napas lega. Namun, ada gamang lain yang justru bercokol di hatinya.
"Kemasi buku-bukumu. Tas sekolahmu. Kita bicara di rumah Nenek," desak cowok berkulit hitam manis yang bernama Dede itu.
"Se-sekarang?" Alis Rida bertaut. "Untuk apa?"
"Banyak hal yang ingin disampaikan oleh Nenek padamu," jawab Dede diplomatis.
"Soal apa sih, De?"
"Di rumah Nenek nanti kamu akan tahu. Nah, sekarang kita pulang!" Dede mendesak tidak sabaran.
"Baik. Kita ke rumah Nenek. Tapi setelah bubaran sekolah nanti. Oke?" Rida menolak.
"Tidak. Ini soal penting." Dede menarik pergelangan tangan Rida. Hanya tiga kedip. Karena Rida menghentak protes.
"Hei... apa-apaan kamu ini, De?!" Rida melotot. Tidak senang diperlakukan demikian. Dan ia melangkah karenanya. Cuma setindak ke depan. Sebab pada langkahnya yang kedua, pergelangan tangannya kembali ditarik.
"Pulang, Ri!"
"Gila kamu. Aku kan sekolah!"
"Aku sudah minta izin sama Guru Piket."
"Ta-tapi, aku ada ulangan pada jam terakhir."
"Ikut susulannya saja."
"Enak saja kamu ngomong begitu." Rida semakin kesal. "Pokoknya aku tidak mau pulang."
"Kenapa, kenapa, Ri?" Dede menuntut. "Kenapa kamu selalu menolakku?!"
Rida membelalak. Lintasan kenangan silam tiba-tiba terekam jelas dalam memori otaknya. Tentang sebuah hubungan yang disalahartikan. Tentang....
"Ak-aku...."
Ya, Rida masih ingat benar kisah dua tahun silam. Pada sebuah pertemuan dilatari lembayung senja yang indah, Dede, sepupu jauhnya mengungkapkan perasaan hatinya yang sarat dengan kerinduan. Kerapnya pertemuan antara ia dan Rida telah mengakarkan rasa lain di luar daripada persaudaraan. Tentu saja Rida menolak. Baginya, Dede tak lebih dan tak kurang dari seorang saudara. Kakak.
"Kenapa?!" Dede emosional. Kini ia mengguncang bahu Rida yang masih larut dalam ketersimaan. Yang masih belum habis pikir, dan sama sekali tidak menyangka kalau seorang Dede masih terus menuntut cintanya. "A-apa sih kekuranganku hingga menolakku terus?!"
"Ka-kamu...?" Mata Rida memerah. Kedua tangan kekar Dede masih menggenggam lengannya.
"Oke, oke. Kalau kamu tidak bisa menjawab sekarang, mungkin di rumah Nenek kamu dapat menjelaskan segalanya." Dede melepas tangannya yang terangkum erat di lengan Rida. Bermaksud untuk bersikap lunak. "Kita pulang sekarang. Oke?"
Tapi Rida bersikeras tidak mau pulang. Ia sudah kepalang dikasari. Cowok itu memang begitu. Pembawaannya kasar. Temperamental. Semua permasalahan diselesaikannya dengan cara emosi. Padahal Rida tidak suka begitu. Memang sangat jauh berbeda dengan Hari....
"Ayo, pulang!" Dede kembali mendesak. Kali ini dengan suara yang mengeras.
"Aku bilang tidak, tidak!" Rida menjerit. Tanpa ia sadari, ia telah menyita perhatian teman-teman kelasnya. Satu per satu siswa berkerumun. Suasana semakin keruh. Dede kalap. Rida tidak mau mengalah.
"Nenek menunggumu!"
"Bukan hal yang sangat penting bila itu mengganggu kelancaran studiku!"
Dede mendengus keras. "Kalau perlu aku akan minta izin sama Kepala Sekolah."
Rida galau. Entah harus ngomong apa. Cowok itu terlalu tegar untuk dibikin mengerti. Padahal sudah tiga kali ia menolak dan mengungkapkan keterusterangannya bahwa, ia hanya menganggap Dede sebagai seorang kakak. Namun Dede sendiri yang tidak mau mengerti. Dan kini ia membawa nama-nama Nenek. Memang Nenek pernah mengusulkan supaya Dede dijodohkan dengan Rida. Nenek beranggapan lebih baik memilih pasangan hidup dari pihak keluarga. Alasannya, asal-usulnya jelas.
Itu bagi Nenek. Tapi bagi Mami, tidak! Karena Mami mempercayakan kebebasan memilih ada di tangan anak-anaknya sendiri. Jodoh tidak bisa dipaksa-paksakan. Tidak etis lagi.
"Pulang, Ri!" Kali ini Dede menyentak lengan Rida separuh menyeret.
"Tidak!"
Mendadak bibir Dede mengikal. "O, aku tahu. Aku tahu. Pasti gara-gara si Jelek orang ketiga itu, kan?!"
"Ja-jangan bawa-bawa nama dia!" Rida membentak. Sekarang ia sudah tidak peduli lagi pada kerumunan siswa yang menonton pertengkaran.
"Siapa cowok biang pengacau itu?!" Dede berkacak pinggang dengan judesnya setelah ia melepaskan cekalan tangannya.
"Kamu tidak perlu tahu."
"Oh, why not?!"
"Karena bukan urusanmu!"
"Siapa yang bilang begitu? Urusanmu adalah urusanku. Kamu tidak bisa mengelak itu."
"De, harus aku katakan berapa kali hingga bisa bikin kamu sadar? Seratus kali, seribu kali, atau...."
"Cu-cukup, Ri!" Dede menyalib gusar. "Sudah cukup kamu mempermainkan aku!"
Rida tercengang bagai disengat listrik. Ia tahu Dede sudah kelewat jauh menafsirkan hubungan mereka dulu. Kalau ia berakrab-akrab dengan Dede, itu lantaran ia merasa tidak ada sekat yang mengantarai hubungan mereka. Toh mereka adalah saudara. Saudara misan. Lagipula, itu sudah merupakan sifat Rida yang selalu pingin bermanja-manja dan riang begitu.
"Kamu terlalu banyak memberiku harapan, lantas kamu...." Dede tercekat. Matanya memerah. Tangannya mengepal dengan rahang yang mengeras pula.
"A-aku telah menjelaskan semuanya, De. Kuharap kamu mau mengerti," desis Rida pelan.
"Mungkin aku akan mengerti seandainya tidak ada Hari-mu itu!" teriak Dede keras.
Tangan Rida seolah mengejang. Dari mana pula Dede tahu tentang Hari? Ah, persetan dengan semua itu. Rida tidak pingin tahu dari mana si Muka Tebal ini mendapat informasi tentang kekasihnya. Ia juga tidak peduli sampai sejauh mana Dede mengetahui hubungannya dengan Hari. Yang penting, ia mengharap Dede mau berlapang dada. Menerima kenyataan yang sebenarnya bahwa Rida hanya menganggapnya sebagai seorang kakak. Tidak lebih.
"Ka-kamu...." Bibir Rida bergetar menahan tangis.
Dan pertengkaran pun berakhir setelah beberapa guru datang menyurutkan keributan. Rida dan Dede dipersilakan masuk ke Ruang BP. Menyelesaikan semua masalah secara dingin. Bukannya mengganggu kelancaran belajar-mengajar di sekolah.
"I-ingat, Ri. Bagaimanapun juga, aku mesti menyelesaikan masalah ini dengan Hari-mu itu! Dia, dia telah merusak semuanya!" ancam Dede sesaat sebelum mereka meninggalkan Ruang BP.
"Dede...!"
Dede meninggalkan ruangan. Tak peduli teriakan Rida.
***
Malam ini Rida gelisah sekali. Selain kejadian pagi tadi yang tidak mengenakkan, ia juga selalu memikirkan ancaman Dede. Dede tidak main-main dengan ancamannya. Rida tahu betul sifat Dede itu. Bukan tidak mungkin ia akan bertindak bodoh. Nekat.
Ah. Mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa. Besok, ia akan menyelesaikan semua masalahnya dengan Dede secara kekeluargaan. Termasuk dengan Nenek. Biar orangtua dari pihak Mami itu dapat mengerti. Siang tadi ia sudah menceritakan semuanya pada Mami. Mami sendiri nampak terkejut. Juga tidak menyangka Dede masih bersikap sekeras dulu untuk terus mengejar Rida. Terus terang, Mami kurang setuju Rida jalan bareng Dede. Soalnya anak itu dinilai kurang sopan. Lagaknya sombong. Mungkin karena ia terlahir dalam keluarga berada. Hingga terbiasa hidup mewah dan manja.
Rida masih saja gelisah. Juntaian-juntaian bilah rambut lurusnya yang jatuh di bahunya jadi mengikal. Entah berapa lama ia asyik memilin-milin rambutnya sampai akhirnya terdengar suara bel di ruang tamu berbunyi.
"Ada apa sih, Ri? Kok, kusut amat?" Cowok bermata elang yang sebulan belakangan ini mengakrabi hidup Rida, bertanya dengan nada gurau.
"Tidak ada apa-apa, kok," elak Rida berdusta. Ia menyambut Hari di bawah bingkai pintu.
"Pasti ada apa-apa kalau muka kamu keruh begitu," selidik Hari seraya menyembulkan sepasang lekuk indah di sudut bibirnya.
Rida menundukkan kepalanya. Menyembunyikan buncah risau yang menyesaki dadanya sejak siang tadi.
"Ada apa sih, Ri?" Pertanyaan ulang Hari terlontar saat ia telah mengempaskan dirinya di kursi sofa ruang tamu.
"Aku...."
"Aku sudah tahu, Ri." Hari menggeser tubuhnya ke samping, nyaris menyentuh tubuh mungil Rida yang duduk di sudut kanan kursi.
"Ja-jadi...."
"Dede sore tadi ke rumahku. Aku tidak tahu dari mana dia mendapatkan alamatku. Tentu saja bukan dari kamu, kan?"
"Tentu saja bukan." Rida mencoba bersikap tenang. "Ngapain saja dia? Kamu tidak diapa-apakan, kan?"
"Tidak. Dia memperkenalkan dirinya sebagai tunangan kamu. Tapi selain itu, dia juga menceritakan se...."
"De-Dede bohong, Har!" Rida bangkit dari duduknya.
"Iya, iya. Aku tahu," Hari merengkuh pinggang Rida, mengajaknya duduk kembali sekaligus menenangkannya.
"Lalu dia bilang apa lagi?"
"Banyak. Tentang masa lalu kalian. Tentang hubungan kalian yang telah direstui oleh keluarga. Juga...."
"Ta-tapi Mami sendiri tidak setuju. Apalagi aku!"
"Iya, iya. Aku tahu. Kamu kan pernah menceritakan padaku tentang hal itu. Masih ingat?"
Rida mengangguk.
"Tapi terus terang, aku tidak mau dianggap biang perusak hubungan kalian. Dede bilang kalau kehadiranku menjadi penyebab retaknya hubungan kalian." Hari meneguk ludahnya dengan susah payah.
"Di-dia bohong! Aku tidak pernah mencintainya lebih dari sebatas saudara. Aku sudah menganggap dia sebagai seorang kakak. Tidak lebih, Har. Apalagi dia itu masih sepupu denganku." Rida terisak. Menjatuhkan kepalanya di bahu Hari.
"Dede mencintaimu, Ri. Dia bahkan memaksa aku mau mengerti dan mundur," bisik Hari getas.
"Dan... ka-kamu mau menerima permintaannya?!" Rida sesenggukan, masih merebahkan kepalanya di bahu Hari.
"Tidak!"
"Ke-kenapa?"
"Karena aku mencintaimu!" ©

0

PASTIKAN DIA JANGAN MENUNGGU ( THE END )

CHAPTER 7:
PASTIKAN DIA JANGAN MENUNGGU

"Seharusnya Mas Ray tidak perlu repot-repot begini. Sampai mengantarkan segala. Aku sudah minta tolong Warnie."
"Warnie datang kemarin. Tapi aku katakan, ingin aku antar sendiri."
"Ada yang penting?" Kishi duduk di hadapan Ray. Menatapnya.
"Kalau tidak penting, tidak boleh menemuimu?"
"Bukan begitu. Biasanya Mas Ray kan...."
"Tidak pernah mencarimu, apa lagi sampai ke rumah?" potong Ray tersenyum. "Selama ini aku terlalu sibuk dengan diriku sendiri, ya?"
"Tak apa. Melukis toh bukan hal yang jelek."
"Bukan itu. Maksudku...."
Kishi menunduk. "Aku mengerti."
"Seharusnya aku bisa lebih memahamimu."
"Tidak perlu. Pahami saja keinginan Mas Ray." Kishi menelan ludah pahit. "Sudah terima amplop coklat yang kutitipkan?"
"Ya."
"Tito bilang, itu panggilan kerja untuk Mas Ray."
Ray mengangguk. "Pertambangan minyak di Batam."
"Mas Ray terima?"
"Menurutmu bagaimana?"
"Aku tidak punya pendapat untuk itu." Kishi menggeleng. "Kenapa tidak bertanya pada Mbak Ika?"
"Ika?" Ray memajukan tubuhnya. "Karena kamu melihatku memeluknya?"
"Sebenarnya bukan cuma itu."
"Apa lagi?"
"Aku tidak ingin membicarakannya."
"Kamu belum tahu secara pasti bagaimana aku dengan Ika. Kenapa langsung memutuskan?"
"Itu masalah pribadi Mas Ray. Kenapa aku harus tahu?" elak Kishi. "Kenapa harus dibicarakan padaku?"
"Karena kamu tersangkut di dalamnya."
"Aku?" Kishi tertawa. Pahit. "Aku bukan apa-apa."
"Kalau kamu bukan apa-apa, dia tak akan cemburu. Ika bukan tipe orang yang bisa menyerah begitu saja sebelum bertanding."
"Tidak perlu ada pertandingan. Toh memang sudah ada pemenangnya."
"Kamu!" Ray mengultimatum. "Kamulah pemenangnya!"
"Pembicaraan apa ini? Mas Ray ngawur!" Kishi bangkit. Bagaimana dia bisa tahan duduk berhadapan begitu dan membiarkan Ray mempermainkan perasaannya, mengobrak-abriknya?
"Duduk, Kish. Aku belum selesai."
"Apa lagi?!"
"Aku diwisuda besok."
"Lalu?"
"Mau mendampingiku?"
"Kenapa tidak minta pada Mbak Ika?"
"Ika lagi, Ika lagi!" Ray menggeleng kesal. "Aku minta padamu! Bukan Ika!"
"Apa yang Mas Ray inginkan sebenarnya?"
"Waktu Ika meminta kembali, aku tidak tahu kenapa tidak ada lagi yang bisa kuberikan padanya. Di hatiku sudah tidak ada namanya lagi. Di hatiku hanya ada kamu...."
Kishi menggeleng.
"Aku bukan apa-apa bagi Mas Ray. Aku bukan apa-apa...."
"Karena aku tidak pernah membalas semua yang kamu berikan?"
"Memang tidak harus, kan?"
"Kishi, waktu kamu ke paviliun saat itu...."
"Aku tidak ingin mendengar penjelasan Mas Ray tentang alasan memeluk Mbak Ika seperti itu. Itu urusan Mas Ray."
"Urusanmu juga." Ray menatap tajam. "Aku perlu menanyakan ini, Kish. Sebelum kuputuskan ke Batam atau tidak."
"Mas Ray akan ke Batam?" Kishi menatap Ray tanpa menyadari matanya menyimpan kepanikan.
"Tergantung jawabanmu."
"Aku?"
"Ya, bukan Ika! Please, jangan bicarakan dia lagi. Kita sedang mendiskualifikasikan dia." Ray menarik napas sejenak. "Kamu ingin aku pergi ke Batam dan terikat kontrak yang memisahkan kita begitu lama?"
Kishi tak tahu harus menjawab apa. Kalau menuruti kata hatinya, maka dia ingin menjawab tidak.
"Mas Ray ingin pergi?"
"Bagiku, kerja di manapun sama saja kalau tidak ada kamu. Tapi kalau ada kamu, kupilih kerja di sini. Sudah ada perusahaan lagi yang menawariku. Kalau kamu ingin kita tidak berpisah, minta aku jangan pergi!"
Kishi mendongak. Menatap hitamnya mata Ray yang bagus.
"Aku tidak ingin Mas Ray pergi," ucapnya pelan. "Aku...."
Ray menarik gadis itu ke dalam pelukannya.
"Aku tak akan pergi," jawabnya pasti. "Aku tak akan pergi!" ©

0

PASTIKAN DIA JANGAN MENUNGGU ( CHAPTER 6 )

CHAPTER 6:
HATIKU PATAH

"Mau tolong aku, Nie?"
"Apa?"
"Kalau pulang lewat rumah Mas Ray, kan?"
"Kadang-kadang. Memangnya kenapa?"
"Kalau lewat, tolong mampir sebentar. Ada beberapa barangku yang tertinggal di tempatnya."
Warnie menoleh. Menatap Kishi dengan dahi berkerut.
"Ada apa denganmu?"
"Tidak ada." Kishi tersenyum.
"Kenapa harus aku yang datang? Bukan kamu?"
"Aku sibuk. Mesti belajar untuk ujian semester."
"Biasanya minta Ray yang mengajarkan."
"Merepotkan dia saja."
"Hei, ada apa denganmu?" ulang Warnie heran.
Kishi menarik napas panjang, menunduk sedikit.
"Kamu benar. Aku memang bukan apa-apa untuk Mas Ray."
"Oo, Kish." Warnie memeluk Kishi. "Dia mengatakan itu padamu?"
"Aku melihatnya sendiri. Ika kembali."
"Dia bilang akan kembali pada Ika?"
"Mas Ray tidak menjelaskan apa-apa. Aku melihatnya memeluk Ika. Apa itu tidak menjelaskan segalanya?"
"Kish!"
Kishi menelan ludahnya dengan susah payah.
"Seharusnya aku mengerti sejak dulu," ungkapnya.
"Kalau saja kamu mau mendengarkan aku."
"Ya. Tapi tidak ada gunanya memang. Sudah selesai. Semua." Kishi tersenyum pahit. "Jangan lupa, ya? Tolong ambilkan barangku."
"Mau titip sesuatu untuk Ray?"
Kishi menggeleng.
"Tak akan ada gunanya."
***
"Nah, itu dia pulang!"
Kishi tertegun di ambang pintu. Mama berdiri dari duduknya. Menyambutnya. Tapi yang membuat Kishi bingung adalah kehadiran Ray di ruang tamu sekarang.
"Ke mana saja, Kish? Sudah ditunggu lama, tuh."
"Jalan-jalan."
"Tante tinggal ke dalam ya, Ray."
Ray mengangguk. "Terima kasih, Tante."
Pandangannya dialihkan ke Kishi setelah Mama gadis itu menghilang. Sementara Kishi masih saja berdiri di tempatnya.
"Kenapa melihatku seperti melihat UFO?"
Kishi tertawa kecil. "Tumben Mas Ray kemari? Ada apa?"
"Mengantarkan barang-barangmu."
***

0

PASTIKAN DIA JANGAN MENUNGGU ( CHAPTER 5 )

HAPTER 5:
AIRMATAKU MENITIK


"Ada telepon untuk Kishi, Mam?"
"Tidak." Mama mendongak, menatap Kishi sambil berkerut. "Kamu nunggu telepon dari siap sih, Kish? Penting ya sampai nanyain tiap hari?"
Kishi tersenyum pahit. Menggeleng perlahan. Jadi Warnie benar. Dia memang tidak berarti apa pun untuk Ray.
Sudah lebih dari sebulan Kishi tidak lagi menemui Ray. Terakhir adalah saat Kishi mengantarkan amplop titipan Tito. Itu pun Ray tidak ada di rumah. Dia hanya ditemani Mama Ray. Setelah itu Kishi menjauh. Mencoba menahan diri. Dia harus tahu, apa memang ada yang bisa diharapkan.
Tapi ternyata tidak! Sama sekali tidak!
Ray tidak mencarinya. Tidak menelepon. Tidak datang ke rumah.
Mungkin dia memang harus melupakan. Tidak usah mengharapkannya. Tapi bisakah? Sebulan ini saja Kishi sudah merasa kehilangan.
"Oya, Kish. Tadi Warnie datang. Katanya, mau pinjam diktat organik buat kuis besok. Mama suruh cari sendiri di kamarmu. Tapi katanya tidak ada."
Tertinggal di tempat Ray saat Kishi memaksa cowok itu mengajarkannya sebelum ujian kemarin. Dan dia lupa mengambilnya kembali untuk dipinjam Warnie besok.
"Kishi pergi dulu, Mam."
"Lho, baru pulang kok mau pergi lagi?"
"Ambil diktat di rumah teman. Kasihan Warnie, besok dia perlu sekali."
Sekalian mengambil semua barangnya yang tertinggal di paviliun Ray.
***
"Mas Ray ada, Mbok?" Rumah besar itu sepi saat Kishi tiba di sana. Cuma Mbok Tinah yang menyambutnya.
"Ada di paviliun, Non. Biasa, sedang melukis. Masuk saja ke dalam."
Kishi melangkah masuk. Menyusuri taman belakang yang luas sebelum sampai ke paviliun.
"Mas Ray!"
Kishi tertegun di ambang pintu. Batal melangkahkan kaki untuk masuk. Merasakan seluruh dunia berputar balik. Dan dia terjebak dalam pusaran tanpa henti.
Ray menoleh. Mendapatkan Kishi tertegun di ambang pintu. Dia bisa membaca seluruhnya. Keterkejutan. Kesakitan. Semua di mata itu. Perlahan dilepaskannya pelukannya pada Ika.
"Kishi."
"Maaf, aku tidak tahu kalau Mas Ray ada tamu." Kishi mencoba tersenyum.
"Tak apa." Ray menghampiri. Tenang seperti biasa. "Oya, kenalkan. Ini Ika. Ka, ini Kishi."
Kishi melebarkan senyumnya. "Maaf mengganggu. Aku cuma mau mengambil barang-barangku yang tertinggal."
"Berserakan di mana-mana."
"Tidak penting, kok. Cuma diktat itu yang mendesak. Bisa tolong ambilkan, Mas Ray?"
Ray meraih diktat organik Kishi di atas lemari.
"Terima kasih. Aku pulang."
Kishi berbalik cepat. Melangkah cepat melintasi taman belakang rumah Ray.
"Kish!" kejar Ray. "Katanya mau mengambil barang-barang yang lain?"
"Tidak begitu penting. Bisa tolong dikumpulkan dulu, Mas Ray? Nanti kuminta Warnie mampir mengambilkannya. Dia suka lewat sini kalau pulang."
"Kenapa tidak diambil sendiri?"
"Aku sibuk. Sudah hampir ujian semester. Harus belajar keras."
"Tidak ingin kuajari seperti biasa?"
"Nanti mengganggu Mas Ray. Lagipula, aku harus mandiri kan?" Kishi tersenyum lagi. Menyamarkan semua rasa yang sempat terlihat Ray tadi. "Aku pulang, Mas."
"Kuantar, Kish."
Hampir setahun berada di dekat Ray, menghampirinya selalu, Ray tidak pernah menawarinya mengantar pulang. Pun setelah seharian Kishi menemaninya di paviliun. Atau membereskan paviliun yang seperti kapal pecah. Ray bahkan tidak pernah mengantar sampai ke depan rumah, tempat Kishi memarkirkan mobilnya.
Lalu kenapa baru sekarang, setelah segalanya terlambat?
"Aku bawa mobil."
"Kuantar sampai depan."
"Tidak usah. Mas Ray kan ada tamu. Tuh sudah ditunggu."
"Hati-hati, Kish."
Kishi mengangguk. Ray bahkan tidak pernah berpesan seperti itu.
Di dalam mobil, airmata Kishi mengalir deras.
***

0

PASTIKAN DIA JANGAN MENUNGGU ( CHAPTER 4 )

CHAPTER 4:
RAY DAN IKA

"Ray!"
"Kapan kembali?"
"Kemarin. Aku meneleponmu tapi kamu keluar. Jadi hari ini aku kemari."
Ika masih saja cantik, seperti dulu. Lebih cantik malah. Tapi membuat Ray merasa sangat asing.
"Masih suka melukis, Ray?"
"Seperti yang kamu lihat."
"Kudengar kamu sudah lulus. Selamat, ya? Kapan wisudanya?"
"Bulan depan."
Genggaman tangannya pun sudah terasa lain. Ika yang kembali sekarang sudah terasa lain. Ika yang kembali sekarang bukan seperti Ika yang dilepasnya pergi dulu.
"Tempat ini tidak pernah dibereskan, ya?" Ika mengalihkan pembicaraan. Mencoba mencairkan kedinginan Ray.
"Kadang-kadang." Kalau Kishi datang dan Ray tidak sedang melukis. Ray akan berselonjor di sofa panjang, mendengarkan kicauan petasan injak itu dan membiarkan gadis itu menata paviliunnya sesuka hati.
"Bagaimana kalau kita keluar, Ray?"
"Maaf, aku capek."
"Kutemani di sini?"
"Tempat ini kotor."
"Tak apa. Aku ingin melihatmu melukis lagi seperti dulu."
Bagaimana bisa, sementara suasana di antara mereka tidak lagi sama seperti dulu?
"Kenapa cita-citamu berubah?" tanya Ray dua tahun yang lalu saat Ika memutuskan berangkat ke Amsterdam.
"Kesempatan ini jarang sekali datang, Ray. Aku tidak bisa mengabaikannya begitu disodorkan padaku."
"Juga kalau itu berarti kita berpisah?"
"Cuma sementara!"
"Tapi kamu bahkan tidak bisa memastikan kapan akan kembali. Bagiamana kalau kamu tidak kembali?"
"Aku pasti kembali."
"Sampai kapan?"
"Tidak lama!"
"Setahun, dua tahun, sepuluh tahun? Atau kamu ingin aku menunggu seumur hidup?"
"Ray!"
"Kuliahmu sudah setengah jalan, Ika."
"Bisa kulanjutkan kalau aku kembali."
"Asal kamu kembali belum jadi nenek-nenek."
"Kamu tidak suka aku pergi?"
"Ya! Aku tidak suka kamu membuang semua yang sudah kamu miliki hanya untuk mengejar sesuatu yang baru. Yang tidak pasti!"
"Aku tidak membuangnya, Ray. Aku cuma menunda. Aku tak akan tahu kalau tidak pernah mencoba."
"Bagaimana kalau kamu gagal?"
"Aku bisa kembali, dan meneruskan kuliahku yang di sini."
"Asal kamu tidak terlambat. Asal pintu belum tertutup rapat saat kamu kembali."
Ray tidak bisa mengerti. Tidak bisa memahami. Ika sudah punya segalanya. Keluarga. Cita-cita yang bakal diraihnya dalam dua tahun mendatang. Ray yang mencintainya, yang didapatnya setelah menyingkirkan tidak sedikit saingan.
Dan sekarang Ika bermaksud meninggalkan semua demi sebuah kesempatan ke Amsterdam. Hanya karena gadis itu menerima tawaran untuk hidup dan belajar musik di Negeri Kincir Angin itu. Tawaran dari salah seorang pamannya!
Musik?! Astaga! Ray tahu betul, Ika tidak pernah berminat pada dunia yang satu itu.
"Aku tidak bisa menghalangimu. Aku cuma berharap, kamu sudah kembali sebelum semuanya terlambat."
Termasuk dalam hal memperoleh kembali hati Ray.
"Siapa Kishi, Ray?" Ika meraih diktat Kishi yang tergeletak di atas lemari.
"Adik angkatan." Ray mengambil diktat itu dan meletakkannya di atas lemari.
"Dia sering kemari? Kok bukunya ada di sini?"
"Bukan urusanmu."
"Tentu saja urusanku kalau semua belum terlambat." Ika menatap Ray sambil tersenyum. "Belum terlambat kan, Ray?"
***

0

PASTIKAN DIA JANGAN MENUNGGU ( CHAPTER 3 )

CHAPTER 3:
SEGALANYA TENTANG RAY

Ray melangkah ke dalam. Melewati ruang makan dan terhenti di dapur.
"Mam!"
"Hai, Ray. Dari mana?"
"Jalan-jalan sebentar."
"Tadi Kishi kemari. Lebih dari sejam menunggumu."
"Ada pesan?"
"Dia tinggalkan memo dan amplop. Mama taruh di atas kulkas."
Ray menjangkau atas kulkas dan menemukan secarik memo kecil tertindih amplop coklat.

Titipan Tito. Katanya bulan depan Mas Ray diwisuda. Bawa foto dan urus administrasinya di sekretariat. Kishi.

Kemajuan!
Ray tersenyum tipis. Biasanya gadis itu tidak pernah cukup menulis memo dengan selembar kertas kecil begini.
"Sudah makan, Ray?"
"Tadi sudah makan di jalan. Ray ke paviliun dulu."
"Oo, hampir lupa." Mama meninggalkan blendernya. Menghampiri Ray, menatap putranya lembut. "Ada tamu untukmu. Dia sudah hampir setengah jam menunggu. Katanya mau menunggu di paviliun saja. Jadi Mama biarkan dia di sana."
"Kishi?"
"Ika."
Ray tertegun.
"Temuilah, Ray. Ada yang harus diselesaikan antara kalian."
"Semua sudah selesai," gumam Ray tak bergeming. "Dia sudah memilih jalan hidupnya. Untuk apa kembali?"
"Dia berhak memberi penjelasan." Mama mendorong Ray lembut. "Temuilah. Kalau kamu masih mencintainya, kenapa harus menolak?"
"Saya sudah tidak mencintainya lagi."
"Karena Kishi?" Mama tersenyum. "Atau karena menuruti kemarahanmu saja?"
"Kishi cuma anak kecil."
"Tapi kamu bahkan tidak bisa menolak kehadirannya."
"Mam!" Pusing di kepala Ray bertambah.
Ray tidak ingin menemui Ika sebenarnya. Biar saja gadis itu menunggu di paviliun sampai bosan. Ray bisa berbaring di kamarnya di atas. Tapi itu tak akan menyelesaikan segalanya. Biar pun Ray menghindar, tetap saja masih ada yang tersisa antara kami, batinnya.
***

2

PASTIKAN DIA JANGAN MENUNGGU ( CHAPTER 2 )

CHAPTER 2:
CINTAKAH DIA?

"Nanti ke rumah Ray?"
"Mungkin. Kenapa?"
Tito mengeluarkan amplop coklat dari dalam ranselnya. "Titip ini buatnya. Dan ingatkan dia, Kish. Wisudanya bulan depan. Dia harus datang mengurus administrasi. Jangan lupa bawa foto."
"Oke."
"Trims." Tito melambai sambil menjauh.
"Kenapa harus kamu yang merawat bayi besar itu?" tanya Warnie setelah Tito berlalu. "Mengingatkannya makan. Bahkan sekarang mengingatkan untuk acara wisudanya. Sementara dia sendiri tidak ingat apa-apa selain melukis."
"Bayi besar yang mana?"
"Tentu saja Ray! Siapa lagi?"
"Oo." Kishi tersenyum manis. Kalau bukan aku, siapa lagi? Lagipula, Mas Ray banyak membantuku."
"Kimia?" Warnie mencibir. "Sebenarnya tanpa dia pun kamu bisa."
"Biar saja. Mas Ray toh tidak keberatan."
"Apa yang kamu cari darinya, Kish?"
"Tidak ada."
"Kamu tidak sedang jatuh cinta padanya, kan?"
"Tidak!"
"Kamu terlalu cepat menjawab."
Jatuh cinta? Kishi bahkan tidak pernah memikirkan itu. Dia cuma merasa senang berada di dekat Ray.
"Apa dia tidak terlalu tua untukmu, Kish?"
"Kamu ini bicara apa, sih?!" Kishi mendelik. Mulai sebal dengan Warnie yang nyinyir.
"Aku cuma kasihan melihatmu. Selama ini selalu kamu yang menghampirinya. Memperhatikannya. Apa dia pernah bertindak sebaliknya?"
Kishi terdiam. Memang tidak pernah, jawabnya dalam hati.
"Aku tidak menuntut apa pun," sanggah Kishi. Tapi dia tahu hatinya tidak yakin.
"Kamu tidak jujur."
"Jangan bicara lagi, Nie!"
"Kalau kamu menghindar terus, semua bisa terlambat. Dia terlalu tua untukmu. Kamu bahkan baru duduk di semester pertama sementara Ray sudah lulus."
"Kami cuma berbeda lima tahun!"
"Lebih baik mencari yang seumur denganmu. Yang mendekatimu banyak, Kish. Buat apa mengejarnya terus kalau dia tidak mencintaimu?"
"Aku tidak bilang aku jatuh cinta padanya."
"Suatu saat pun kamu pasti sampai pada kesimpulan itu."
Benarkah?
"Kish, aku bisa bicara begini karena aku kenal Ray dengan baik. Aku sudah berteman dengannya sejak dulu. Bahkan saat dia masih bersama Ika. Dia sangat mencintai gadis itu."
"Aku tahu."
"Bahkan mungkin sampai sekarang," lanjut Warnie hati-hati. "Kukatakan ini karena aku tidak mau kamu terperangkap. Kamu teman baikku, Kish. Aku tidak mau melihatmu terluka tanpa ada yang bisa kulakukan."
Lalu dia harus apa?!
Kishi bahkan tidak tahu harus bagaimana. Dia bahkan tidak tahu apa benar dia jatuh cinta pada Ray, seperti yang dikatakan Warnie? Namun hati kecilnya membenarkan sebagian besar yang dikatakan Warnie.
Apa dia harus mencoba menjauh dari Ray, sekadar mencari tahu apa Ray peduli padanya? Lalu bagaimana kalau ternyata Ray memang tidak mencarinya, kalau ternyata bagi cowok itu seorang Kishi memang bukan apa-apa?
Kishi tidak berani membayangkan.
Dia bahkan tidak berani memikirkannya.

0

PASTIKAN DIA JANGAN MENUNGGU ( CHAPTER 1 )

CHAPTER 1:
SI PETASAN INJAK

"Mas Ray!"
Petasan injak itu lagi!
"Lho, kok Mas Ray cuek begitu sih?" Kishi menarik kursi ke dekat Ray. "Aku kan nggak pernah dapat B. Selalu C, itu pun setelah belajar sampai jungkir balik."
"Kalau tidak bisa kimia, kenapa nekat masuk Perminyakan?"
"Kalau tidak masuk Perminyakan, tidak akan ketemu Mas Ray kan?" Kishi tersenyum manis.
Gadis ini! gerutu Ray dalam hati. Selalu saja bisa menangkis semua kata-katanya. Ray menoleh. Menatap ke arah Kishi sekilas. Gadis itu bahkan tidak menyadari kalau kehadirannya benar-benar mengganggu konsentrasi Ray.
"Kemari cuma mau lapor hasil ujianmu?"
"Mas Ray keberatan aku datang kemari, ya?" Kishi menatap profil samping Ray. Cowok itu masih saja menatap lurus ke arah kanvasnya.
"Bisa kan menjawab pertanyaan dulu sebelum bertanya balik?" tegur Ray.
Kishi terkekeh. "Habis, Mas Ray nanyanya seperti mau ngusir."
Aku memang mau mengusirmu! geram Ray dalam hati. Setiap Kishi muncul, lukisannya pasti terbengkalai. Tidak pernah selesai. Ada-ada saja permintaan gadis itu. Minta diajari kimia. Mencari buku. Kaset. Nonton bioskop. Segalanya, bahkan sampai makan!
Dan dengan caranya sendiri, Kishi selalu berhasil membuat Ray menuruti keinginannya.
"Mas Ray sudah makan?"
"Sudah."
"Aku belum. Temani aku makan keluar, yuk."
"Aku sedang melukis," tolak Ray.
"Nanti kan bisa diteruskan lagi. Ayo dong, Mas Ray! Tidak kasihan melihatku kelaparan?"
"Kamu kan bisa makan sendiri."
"Ah, mana enak makan tanpa teman."
"Kenapa tidak makan dulu sebelum kemari?" gerutu Ray tanpa menyembunyikan rasa kesalnya.
"Aku mau traktir Mas Ray. Kan ujianku dapat B karena diajari Mas Ray."
"Aku tidak minta bayaran. Simpan saja uangmu."
"Mas Ray kok menolak niat baik orang?"
"Lukisanku belum selesai."
"Nanti bisa dilanjutkan. Kutemani, deh."
"Tidak usah," tolak Ray cepat. "Nanti malah lebih tidak selesai."

0

DIMENSI LAIN SANG WAKTU

Tidak ada mesin waktu yang dapat membawanya ke alam lain, ke suatu tempat asing yang sangat jauh sehingga ia dapat terbebas dari neraka ini. Tidak ada lorong waktu yang dapat mengirim tubuhnya ke dimensi lain, menyeretnya ke serangkaian kisah dari masa lampau maupun mutakhir sehingga ia dapat terbebas dari rutinitas kemoterapi yang menyakitkan ini.
"Nadya Hans Sasongko!"
Lamunannya tergebah ke langit-langit rumah sakit. Mesin waktu fiktif bentukan imajinasi dalam benaknya melebur oleh satu panggilan nama. Ia menggigit bibir.
Tidak ada hamparan padang rumput yang menghijau indah. Tidak ada kembang beraneka warna dengan semerbaknya yang wangi. Tidak ada pelangi yang dititi oleh tujuh bidadari yang hendak mandi di bumi. Tidak ada hujan meteor yang indah bak kembang api. Dan tidak ada seribu kisah indah penawar lara!
Ia masih duduk tepekur di salah satu bangku panjang ruangan dengan bau formalin yang menyengat. Lalu-lalang para perawat berseragam putih-putih bagaikan birama yang mengalun dalam hidupnya. Dua tahun diakrabinya semua itu dalam gundah batin yang menyiksa. Sangat menyiksa!
Belum gilirannya. Dan ia mengembuskan napas resah setiap kali mendengar nama lain dipanggil masuk ke dalam ruangan sempit yang di benaknya seperti krematorium, dimana kepalanya akan dibakar dengan sinar-sinar laser panas sampai menjadi debu. Ditunggunya perawat jaga memanggil namanya. Tatiana Primeswara!
Saat ini ia hanya dapat terpaku. Detak-detak detik yang mengirama di sepasang gendang telinganya bagaikan litani yang akan mengantarnya sampai ke sebuah gerbang. Dimensi lain dari Sang Waktu.
Ia menghela napas panjang.
Ketidakrelaan tercetus di dalam tangisnya yang sudah tak berairmata. Setiap hari. Setiap waktu. Sampai datang seorang bocah perempuan, menyadarkannya bahwa dimensi lain Sang Waktu bukan hal yang perlu ia takuti lagi. Dunia itu penuh warna. Dunia lain dari dimensi lain Sang Waktu yang selayaknya disambut senyum bak semerbak wangi bunga. Bukannya tangis dan airmata yang senantiasa mengundang bau kematian!
Waktu itu, ada rengekan manja di sampingnya. Dilihatnya seorang ibu tengah bermain dengan putrinya yang baru jalan enam.
"Ma, Om Dokternya nyuntik lagi, ya?"
"Iya, Sayang."
"Nggak mau, Ma!"
"Harus mau. Biar Hani cepat sembuh."
"Tapi...."
"Kalau sembuh, Hani bisa main di Dufan lagi."
"Betul ya, Ma?"
"Betul, Sayang. Sejak kapan sih Mama pernah bo'ongin Hani?"
"Trus kalau habis disuntik, apa rambut Hani bisa tumbuh lagi?"
"Tentu, Sayang. Rambut Hani bisa tumbuh panjang seperti punya Barbie."
"Hooree� berarti Hani nggak usah makai topi ini lagi! Berarti Hani bisa sisiran seperti Barbie!"
Bocah perempuan itu membuka topi kupluk bergambar Miki Tikus dari kepalanya yang plontos. Dipeluknya wanita muda itu, menggelayut manja di kakinya yang lampai.
Ia menggigit bibir. Setiap Senin adalah neraka baginya. Papa tengah mengisap rokok di luar ruangan rumah sakit. Seperti kebiasaannya dari waktu ke waktu. Sudah dua tahun ia menjalani proses yang seperti ritual mingguan ini. Sudah dua tahun lelaki itu menyertai dan mengawalnya ke tempat serba putih ini. Sudah dua tahun ia menjalani terapi kemoterapi atas repertum kanker otak dari dokter yang kala itu dianggapnya kiamat. Sampai pada suatu ketika ia merasa tidak kuat lagi menanggung derita yang menderanya seperti tanpa henti.
Bocah itu tersenyum padanya. Naturalisasi yang entah datangnya dari mana. Ia muncul tiba-tiba dalam kepolosan setiap anak. Dibalasnya senyum anak itu dengan tingkah bocah. Mimik senyum yang sebenarnya dipaksakan sebagai balasan. Ia merasa berdosa. Ketulusan dari bocah perempuan itu telah ditunaikannya dengan sandiwara!
Ini ruang tunggu kamar 5B. Di mana semua pasien tampak lunglai seperti bunga yang layu. Embusan napas yang terdengar konstan dan satu-satu, seolah berlomba dengan detak detik dari arah atas tengah bingkai pintu. Jam dinding menggentarkan hati pasien. Mendegupkan jantung mereka. Sampai kapan buliran-buliran waktu itu akan berhenti?!
Tidak ada yang tahu!
Tatiana menghela napas panjang. Alam seperti telah menghukum mereka, generasi dari para pendosa yang terbuang dari Taman Eden setelah memakan Buah Terlarang atas hasutan seekor ular batil!
"Kakak...."
Ia menoleh ke arah asal suara itu. Bocah yang menyemuminya tadi kini melangkah setindak ke sampingnya. Sebuah bangku satu setengah meter tidak terlalu jauh untuk mengajak sepasang kaki kecil itu melangkah.
"Halo," sambutnya, mendelik-delikkan matanya seperti boneka mainan.
"Kakak, siapa ya nama tokoh kartun di dalam gambar baju Kakak ini?"
Ibu dari bocah perempuan itu tersenyum, mengangguk padanya. Mengawasi anaknya dengan mawas. Tatiana membalasnya juga dengan satu anggukan pada kepala.
"Oh. Namanya, Winnie The Pooh."
"Winnie The Pooh?"
"He-eh. Tokoh beruang yang lucu. Eh, nama kamu siapa?"
"Hani."
"Udah sekolah Hani?"
"Udah. Nol Besar."
"Wah, pinter."
"Iya. Tapi, Hani nggak suka sama temen-temen cowok!"
"Kenapa?"
"Nakal-nakal. Usil. Suka gangguin Hani."
"Nakal bagaimana?"
"Masa mereka suka ledekin Hani Botak, Kak! Hani kan malu! Hani sedih! Padahal, Hani kepingin banget punya rambut panjang seperti Barbie!"
Tatiana terkesiap. Apakah semua ini, nasibnya dan nasib yang dialami oleh bocah perempuan bernama Hani itu merupakan predestinasi dari langit untuk mereka?!
Ia menggeleng. Ia sendiri tidak tahu!
***
"Kakak kok diam, sih?"
"Ah, nggak kok!"
"Kakak juga pakai topi?"
Tatiana mengangguk. "Iya, tapi bukan topi seperti punya Hani. Topi Kak Tatiana ini lain. Seperti rambut. Namanya wig."
"Wig?"
"He-eh," angguk Tatiana, lalu menggeraikan sebagian rambutnya ke depan. "Ini. Jadi wig ini adalah rambut palsu."
"Hah?" Bocah perempuan itu ternganga. "Kalau begitu, Kakak nggak pernah diledekin botak, dong?"
"Nggak pernah. Karena wig ini menutupi kepala Kakak yang gundul."
"Kalau begitu, Hani boleh juga dong pakai wig!"
"Boleh. Tapi, nanti ya kalau Hani sudah besar dan dewasa."
"Ta-tapi...." Bocah perempuan itu memberengut. "Hani mau pakai sekarang! Hani nggak mau tunggu sampai dewasa. Kalau dewasa, kepala Hani yang botak sudah ditumbuhi rambut. Jadinya percuma!"
Tatiana mengusap wajah. Ia tercenung mendengar kalimat lugu bocah perempuan itu. Ada pengharapan dan semangat hidup yang terpancar dari sana, meski sebenarnya Sang Waktu hanya menyisakan hembusan-hembusan napas yang kian hari memendek bagi mereka.
Dibukanya lembaran silam masa lalu dalam ingatannya. Ia seperti tidak pernah lepas dari prahara. Setelah Mama meninggal dalam sebuah insiden tabrak lari tiga tahun lalu, satu tahun kemudian setelah kejadian tragis itu, ia kembali dihadapkan pada kenyataan getir. Kanker in situ pada otaknya yang divonis dokter setelah beberapa kali terkulai pingsan di kelas, baginya tidak lebih dari kiamat. Dunianya sudah hancur!
Dari hari ke hari kankernya menjalar dan mengganas. Lalu serangkaian kemoterapi pun dijalaninya. Mengorbankan mahkota di kepalanya. Dari menipis, rontok, hingga plontos sama sekali. Ia pasrah. Tidak ada gairah untuk melanjutkan hidupnya lagi. Kadang-kadang setelah menguras seluruh airmatanya, ia berpikir untuk bertindak irasional. Menghabisi nyawanya sendiri!
Namun, ajal yang diinginkan rupanya belum menjemput. Takdir belum menghendaki ia berbuat begitu. Berkali-kali ia gagal melakukan niatnya yang babur jika mengingat betapa hancurnya hati Papa bila putri tunggalnya pun pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya!
Karenanya, diurungkannya niatnya itu. Dan lebih memilih menjalani sisa hari-harinya dengan lelaki baik hati yang telah diakrabinya bahkan sejak bayi. Tumbuh bersamanya, menjalani rangkaian hidup yang terasa sangat menyiksa dan melelahkan.
Ia berusaha bersikap tabah. Namun tak urung rasa gentar menggerogoti hatinya. Dimensi lain dari Sang Waktu demikian menakutkannya. Dinantinya ajal menjemput dengan sejumput ragu. Ia ingin memberontak. Ia ingin terbebas dari kekangan derita yang sudah hadir dalam kehidupannya sejak kehilangan Mama tiga tahun yang lalu.
Ia ingin menghentikan semua itu. Karena ia gamang. Takut terhadap dimensi lain dari Sang Waktu yang sudah mendekat. Yang akan memendekkan perjalanan usianya.
Entah kapan.
***
Bocah perempuan itu terus merengek. Dan ia menangis meraung-raung sampai menyita perhatian beberapa pasien kanker yang sedang menunggu giliran untuk menjalani kemoterapi. Serangkaian pengobatan yang kadang-kadang lebih mengerikan dan menyakitkan ketimbang penyakit kanker itu sendiri.
"Hani, nggak boleh rewel! Nanti Om Dokternya marah!"
"Tapi, Hani mau wig seperti punya Kakak, Ma!"
"Iya, iya. Nanti Mama belikan di mal. Sekarang, Hani diam. Jangan menangis lagi."
Bocah perempuan itu terdiam. Ia kembali mendekati gadis ringkih di sampingnya. Naik ke atas bangku kayu rumah sakit, lalu membelai rambut palsu Tatiana.
"Hani!" Ibu gadis cilik itu menyergah, berusaha menggebah kelakuan putrinya yang sporadis. "Jangan ganggu Kakak!"
"Nggak kok, Ma!" teriaknya, tidak merasa bersalah. "Hani cuma ingin tahu bagusan mana, rambut palsu atau asli!"
Wanita itu menggeleng-gelengkan kepalanya, tersenyum dengan rupa subtil, seolah hendak mengatakan maaf pada Tatiana. Ia tidak tega mencegah perbuatan riang Hani. Maka dibiarkannya anaknya itu mengucek-ucek rambut palsu Tatiana seperti sedang mencari kutu rambut.
Tatiana tersenyum geli.
"Rambut palsu nggak sebaik rambut asli ya, Kak?"
"Lho, kenapa?"
"Soalnya, rambut palsu nggak bisa ketombean. Kalau ketombean kan bisa dikeramas dan dishampo setiap hari."
Tatiana terbahak. Wanita muda ibu dari anak itu juga tertawa. Beberapa pasien kemoterapi yang pas duduk di belakang mereka turut tertawa.
"Makanya, Hani nggak takut disuntik sama Om Dokter. Biar cepat sembuh. Kalau sembuh, rambut Hani kan bisa tumbuh dan panjang seperti punya Barbie!"
"Tapi, katanya tadi pingin pakai wig kayak Kakak?"
"Nggak jadi. Mendingan rambut asli aja. Kalau rambut asli, itu berarti Hani udah sehat. Pokoknya, Hani mau sehat!"
Tatiana menggigit bibirnya. Kerongkongannya memerih. Sama sekali tidak menyangka kalau bocah perempuan jalan enam itu dapat setegar itu menjalani hari-harinya yang tersisa. Ketika Sang Waktu sudah nyaris menghentikan detak-detaknya yang melambat.
Airmatanya menitik.
Dimensi lain Sang Waktu sudah di ambang pintu. Mungkin besok atau lusa, entah, ia sudah tidak berada di planet biru yang hangat ini lagi. Menjelang hari-hari baru dari dimensi lain Sang Waktu.
Sependek apa pun waktunya kini, mesti dijalaninya dengan sebaik-baiknya.©

0

PUTRI LANGIT

Ada bulan di atas atap rumah ketika Putri Langit datang menemui Supria yang sedang tertidur di samping istrinya.
"Untung kamu datang, Putri," sambut Supria di dalam mimpinya. "Sudah lama aku menunggumu. Ke mana saja kamu, Putri? Aku gelisah sejak sore tadi," lanjut Supria dengan hati girang.
"Aku menemui orang-orang yang dirundung galau sepertimu. Mereka semua meminta aku berkunjung," sahut Putri Langit sesaat setelah turun dari langit dengan mengendarai selendang kabut.
"Bukankah kamu pernah berikrar untuk lebih memperhatikan aku ketimbang yang lain?" tuntut Supria lembut. "Bukankah begitu, Putri?"
"Benar. Perhatianku pada kamu melebihi yang lainnya. Tapi, bukankah seharusnya kamu mencurahkan perhatianmu pada kepentingan keluargamu - anak dan istri, juga orang-orang yang dekat denganmu?"
"Justru karena itulah, Putri, aku jadi tersiksa serasa neraka. Aku merasa dipasung oleh mereka. Aku seperti kuda, dipecut untuk terus berjalan. Bahkan berlari mengejar sesuatu yang tak pasti."
Putri Langit terdiam. Supria merasa tak enak hati pertemuan mereka direcoki kisah miris yang diungkapkannya sebagai bagian dari curahan hati.
"Maafkan aku, Putri. Aku sangat serakah ingin menguasai kebaikan hatimu."
"Jangan berkata seperti itu," ujar Putri Langit. "Semua makhluk sepertimu itu serakah. Tap,i tidak seharusnya kamu pun ikut-ikutan seperti mereka."
"Benar, Putri. Tapi, batinku tak akan pernah dapat tenang. Persoalan demi persoalan bemunculan, menumpuk segebung tanpa terakhiri," beber Supria.
"Sudahlah," suara Putri Langit melunak. "Aku kasihan padamu. Kemarilah, Lelakiku. Pegang tanganku. Ayo, ikut pergi bersamaku."
Lalu, Putri Langit membawa Supria terbang ke atas langit menerobos gemawan.
Di atas langit, tepatnya di Kerajaan Serba Ada, Supria diturunkan.
"Kita sudah sampai, Lelakiku," ujar Putri Langit. "Jangan sungkan untuk meminta."
Supria yang telah berada di ruang berdinding cahaya terlihat gugup. Tak disangkalinya kalau gemerlap langit membuatnya terkesima. Sungguh, kehidupannya di dunia fana merupakan aparadais. Tak ada keajaiban sesontak di sini, pikirnya. Sebuah dimensi yang bertolak belakang. Di Kerajaan Serba Ada ini semua serba mudah. Ketika Supria kehausan, tiba-tiba saja bermacam jenis minuman segar tersedia di hadapannya.
"Bagaimana?" tanya Putri Langit.
"Sungguh menakjubkan!" cetus Supria terkagum-kagum.
"Di dunia, kamu telah kehilangan suasana surga?"
Supria tersipu malu. Disingkirkannya gelas minuman dari hadapannya, lalu menatap Putri Langit dalam-dalam. "Aku ingin bercinta," desisnya.
Kali ini Putri Langit yang tersipu malu.
"Kenapa? Apa kamu menolak bercinta denganku?" kejar Supria.
"Tidak," sahut Putri Langit. "Justru aku membawamu ke sini untuk melupakan semua yang membebani pikiranmu."
Alangkah bahagianya Supria saat mendengar Putri Langit berkata seperti itu. Lalu, Supria menerima uluran tangan Putri Langit. Mereka lantas berpelukan. Di angkasa mereka seperti kapas yang bergelung dan berguling-guling. Tempo-tempo mereka menjelma bintang, berkelap-kelip di angkasa raya. Pada saat yang lain, mereka seperti dua cahaya meteor yang bertubrukan. Tubuh mereka memercikkan beribu cahaya. Begitu indah.
"Aku bahagia sekali, Putri."
"Aku senang kamu bisa bahagia."
"Aku ingin memilikimu selamanya."
Putri Langit mengendurkan pelukannya. "Serakah kemanusiaanmu muncul lagi. Mestinya kamu tak perlu mempunyai sifat seperti itu lagi."
"Di bumi aku tersiksa sekali. Aku seperti kuda, dipecut untuk selalu terus berjalan. Aku tak mau turun lagi, Putri. Aku ingin selalu bersamamu," alasan Supria.
"Jangan begitu, Lelakiku," sanggah Putri Langit. "Aku akan datang dan membawamu ke mana kamu suka, asal kamu tidak mementingkan dirimu sendiri."
"Apa benar begitu?" tanya Supria penasaran.
Putri Langit tak menyahut. Sebaliknya, ia membawa Supria turun ke bumi untuk melihat apa yang dikerjakan oleh orang-orang dekatnya. Siang atau malam, orang-orang yang berada di bumi tak melihat keberadaan Putri Langit atau Supria yang telah menjelma menjadi angin.
"Kamu kenal dengan orang itu, Lelakiku?" tanya Putri Langit sambil menunjuk ke salah seorang perempuan di belakang gerobak rokok. Supria menyimak takzim. "Hah, itu Winarti? Istriku! Sedang apa dia?" tanyanya heran.
"Lihat saja dulu, ke mana dia setelah ini," kata Putri Langit, menyoal keberadaan istri Supria di pinggir jalan. Dan, perempuan yang dikenal sebagai istrinya itu kini berjalan menuju halte bus. Sebuah bus kota muncul. Perempuan itu naik ke dalam bus kota bersama beberapa calon penumpang. Di dalam bus perempuan itu mengeluarkan alat musik serupa ketimpring dari dalam tasnya. Lalu perempuan itu menyanyi.
"Astaga, istriku mengamen?!"
"Nah, ternyata orang yang kamu anggap telah menyiksa dirimu, justru sebaliknya. Dia lebih tabah ketimbang dirimu," tukas Putri Langit.
Mata Supria tak berkedip. "Winarti! Winarti!" teriak Supria dari atas angkasa.
"Istrimu tidak akan mendengar atau melihatmu. Sebab kita sedang dalam wujud angin. Mau lihat yang lainnya?" tawar Putri Langit kemudian.
Supria mengangguk. Bahkan ia penasaran dengan benak baur ingin melihat semua kejadian pada saat dirinya berada di tempat lain.
"Ayo, Putri! Bawa aku ke tempat orang-orang yang aku kenal, dimana aku tak berada di dekat mereka saat ini."
"Dengan senang hati, Lelakiku," sambut Putri Langit seraya menuntun tangan Supria. Selanjutnya, mereka berkesiur ke pohon-pohon berdaun gimbal di tepi jalan - dimana biasanya orang-orang berteduh menyejukkan diri.
"Kamu lihat anak itu? Coba perhatikan siapa dia?" tanya Putri Langit sambil menunjuk ke salah seorang anak laki-laki yang sedang menyedot minyak tanah dari mobil tangki dengan menggunakan selang yang dimasukkan ke jirigen. Bocah kecil itu melakukannya di saat mobil tangki minyak itu terjebak lampu merah.
"Ya, Tuhan! Itu anakku! Itu anakku! Oh, sekecil itu dia sudah berada di jalan raya! Bagaimana ini, Putri?" keluh Supria semaput.
"Itulah. Ternyata anakmu pun tak mau tinggal diam terhadap kerasnya kehidupan ini. Meski di mata kita perbuatannya itu salah, tapi seperti yang aku bilang tadi, mereka juga sedang dirundung kesulitan. Mereka juga merupakan orang-orang susah. Bukan hanya kamu yang merasakan hal tersebut. Lihatlah, mereka - istri dan anakmu - ikut berandil dalam menata ke kehidupan yang lebih baik dan layak. Sikapilah dengan benar, Lelakiku. Bersyukurlah, anak dan istrimu sedang membangun prinsip-prinsip di dalam hidup ini."
Supria tercenung. Sebagai angin dia memilih bersemayam di dahan pohon. Bersembunyi dari hiruk-pikuk persoalan. Dia ingin berteriak tapi entah seperti apa desaunya. Tentu anak dan istrinya tak akan tahu kalau yang berkesiur di sekeliling mereka itu adalah sang suami, sang ayah yang telah berburuk sangka terhadap diri mereka.
"Mau lihat yang lainnya lagi?" tantang Putri Langit sambil menarik tangan Supria dari rerimbun pohon yang tumbuh di tepi jalan raya itu.
Supria menurut. Dia tak bisa menolak. Putri sudah berbuat baik, pikirnya. Maka dengan senang hati Supria mengikuti terus ke mana Putri Langit pergi walau harus meninggalkan raganya di tempat lain.
"Apakah kamu ingin melihat orang-orang yang kamu anggap telah berjasa di tempat tinggalmu, Supria?" tanya Putri Langit kemudian.
Supria manut mengakuri.
"Kamu tahu siapa dia?" tanya Putri Langit, menelusup sebagai angin melalui ventilasi sebuah hotel yang mereka datangi.
"Ya, aku kenal. Dia adalah seorang lurah di desaku. Tapi kenapa dia bersama perempuan yang bukan istrinya?" Supria berkata.
"Jangan bingung, Lelakiku," kata Putri Langit.
Lalu Putri Langit membawa Supria yang tengah bingung ke sebuah hotel lainnya. "Kamu kenal dengan perempuan yang ada di dalam kamar hotel itu?" tanya Putri Langit untuk yang kesekian kali.
"Oh, itu! Bukankah itu istri temanku? Mengapa dia berdua dengan lelaki yang bukan suaminya di dalam hotel? Ah, dunia apa ini, Putri?"
Tanpa menyahuti, Putri Langit menyeret separo paksa kekasih batinnya itu pergi melihat sesuatu yang belum dimafhuminya sama sekali. Tiap sebentar, mereka melewati daerah-daerah asing yang belum pernah dikunjungi Supria. Kedua makhluk yang menjelma angin itu berkesiur ke tenda-tenda cafe, melayang ke gedung-gedung tinggi, lantas berhenti sebentar di sudut-sudut ruang. Hampir semua pemandangan yang dilihat Supria sangat bertentangan dengan hati nurani.
"Dan yang ini," kata Putri Langit sambil menunjuk ke sebuah rumah yang terpisah dari perkampungan penduduk. "Kamu mungkin tak kenal dengan perempuan tua itu, tapi tentu mengenal baik perempuan muda yang sedang terbaring tersebut," lanjut Putri Langit setelah mereka masuk ke rumah separo gubuk tersebut melalui lubang angin di atas jendela.
Supria terkejut bukan main. Dia serasa tak percaya. "Astaga! Bukankah itu Punasokawati, anak tetanggaku? Oh, mengapa dia dalam keadaan setengah telanjang dengan kedua kaki direntangkan?"
"Dia mau aborsi!" sela Putri Langit.
"Apa itu aborsi?"
"Mengeluarkan jabang bayi dari rahimnya."
"Lho, bukankah Punasokawati itu belum bersuami?"
"Itulah! Karena salah pergaulan, dia hamil di luar nikah. Sekarang, dia bingung dan malu. Memutuskan menggugurkan bayi yang dikandungnya setelah tidak ada yang bertanggung jawab. Mungkin saat ini dia sendiri bahkan tidak tahu siapa ayah si Janin. Pacarnya bejibun. Cinta hanya dijadikannya sebagai bentuk permainan. Mengenaskan!"
Supria mundur. Dia mau muntah. Kepalanya berdenyut. Perutnya mual.
"Kenapa, Lelakiku?! Kamu kenapa?!"
Supria galau.
"Apa mau lihat yang lebih gila lagi?" tawar Putri Langit kemudian.
"Ti-tidak, tidak! Sudah Putri, jangan kamu teruskan lagi membawaku ke dalam kehidupan gila ini. Jangan lagi, Putri! Aku mohon, jangan lagi, Putri!"
Mendengar ocehan Supria yang gaduh tanpa sadar, Winarti, istri Supria yang galak dan cerewet itu terjaga dari tidurnya.
Siapa Putri?! pikirnya. Kurang ajar! kutuknya kemudian.
Hati sang Istri tiba-tiba terbakar api cemburu di pagi buta. Tanpa basa-basi lagi, sang Istri mengambil air dari dalam gentong lalu menyiramkan ke wajah suaminya.
"Dasar bajingan! Siapa Putri, heh! Siaaapaaa?!" teriak Winarti sambil menjambak rambut Supria dengan kasar sehingga suaminya itu terlempar dari atas tempat tidurnya.
Supria yang masih gugup dan bingung itu hanya melongong di lantai kamarnya, tak dapat menjelaskan duduk persoalannya. ©
Back to Top