0

BOYFRIEND FOR YOU

Tidak seperti biasanya Valny segelisah ini. Berkali-kali diliriknya jam tangan army-look yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Sudah hampir sejam. Namun gadis si Cucakrawa itu sama sekali belum menongolkan cuping hidungnya yang dicocoki sebutir giwang berlian. Digebahnya kepenatan dengan mengangin-anginkan badan, duduk di gigir trotoar jalan depan rumahnya. Menunggu dan menunggu. Tentu saja ini pekerjaan yang paling membosankan sedunia. Dan hal itulah yang membuatnya menggerutu sepanjang Sungai Nil.
Ini bukan date-nya yang pertama. Entah sudah berapa kali cewek centil itu mengenalkannya kepada cowok-cowok yang tidak jelas bibit-bobot-bebetnya. Bahkan banyak wajah cowok yang sudah tidak diingatnya persis lagi. Semuanya sukses ditolaknya setelah kencan pertama. Ditolak, karena sama sekali tidak ada yang masuk dalam kategori sreg. Tapi tentu saja tidak dengan sertamerta dia menampik mereka. Dia memiliki seperangkat rasa terima kasih. Toh Aretha berbuat begini untuk kebaikannya juga.
Dua bulan lalu, Aretha pernah mengenalkan seorang cowok dengan garansi seumur hidup. Artinya, dia bakal cocok dengan cowok itu. Dijamin bakal sampai ke pelaminan.
"Huh, memangnya barang elektronik apa, pakai garansi segala macam. Seumur hidup pula!"
Dia mengumpat begitu pada waktu itu. Namun Aretha mengatupkan kedua telapak tangannya ke dada tanda memohon please . Kalau kali ini dia sampai ngotot begitu, sudah barang tentu ada hal yang bukan tanpa alasan.
Dan kemarin, secara sepihak serta setengah memaksa dia membuat appointment untuk mempertemukan mereka kembali. Hari ini. Acaranya rada-rada formil meski tidak perlu memakai pakaian pesta yang BDH alias bikin dagangan hancur alias ribet. Hanya JJS nongkrong di cafe, begitu katanya.
Tidak ada penolakan atas alasan apapun. Gadis itu pergi begitu saja setelah mengultimatum dengan stempel kalimatnya yang sesahih materai tempel. Membuatnya kemekmek dengan beragam stori.
Satu hari sebelum cinta. Dia mendadak menggigil kedinginan di siang bolong.
***
"Aku kasihan sama kamu."
"Memangnya aku gembel yang minta dibelaskasihani."
"Tentu saja bukan."
"Jadi?"
"Jadi aku ingin kamu tuh juga punya gandengan."
"Hei, memangnya aku motor apa?"
"Kamu jangan pura-pura."
"Tentu maksud kamu bukan kura-kura dalam perahu pura-pura tidak mau, kan?"
"Kurang lebih sama."
"Margaretha Nadya Esterina Simatupang!"
"Yap."
"Untuk apa?"
"Kamu sahabatku."
"Kontribusi apa yang pernah kulakukan untukmu...."
"Eit, jangan bicara balas jasa di sini."
"Tapi...."
"Untuk hal ini, tidak ada tapi-tapian."
"Seumur-umur aku tidak bakal dapat membalas jasamu."
"Aku bukan biro jasa."
"Kamu kelewat baik."
"Sama semua orang juga aku baik, kok. Lagian, semua yang kulakukan untukmu memang tanpa pamrih."
"Tapi...."
"Kamu pikir, aku akan menagih...."
"Bukan begitu...."
"Kalau begitu...."
"Etha, kapan sih kamu mulai mikirin diri kamu sendiri. Setiap hari kamu selalu membantu orang lain sehingga kamu melupakan dirimu sendiri."
"Orang senang aku ikut bahagia."
"Tentu saja itu merupakan hal mulia. Tapi, kalau sampai kamu menelantarkan dirimu sendiri untuk kepentingan orang lain, itu kan tidak fair. "
"Tapi aku bahagia, Valny."
"Oke, oke. Tapi, jangan bilang sampai nenek-nenek kamu baru dapat gacoan. Comblangin orang lain sampai-sampai jodoh sendiri saja dilupain!"
Valny menghirup udara dalam-dalam. Aretha memang gadis paling aneh yang pernah dikenalnya. Solidaritasnya sebagai sahabat melebihi saudara sekandung. Padahal, gadis itu terlahir dari keluarga yang sangat mapan. Dua hotel bintang lima serta sebuah hipermarket waralaba asal Perancis di Jakarta merupakan saham mayoritas ayahnya. Perfeksitas yang jarang dimiliki oleh gadis-gadis lainnya. Dia merasa sangat beruntung memiliki sahabat dengan jiwa sosialnya yang tinggi.
"Tentu saja aku tidak ingin semenderita begitu. Kamu pikir enak apa pacaran ala nenek-nenek. Apa-apa juga tidak bisa. Memangnya bisa pacaran avonturir seperti kala remaja? Sama-sama bungy jumping, misalnya?"
"Hihihi. Itu sih masih mending...."
"Lho...."
"Soalnya, kalau pacaran ala nenek-nenek, takutnya sih gigi palsu mereka akan nyangkut kalau sedang kiss, Etha."
"Hahaha...."
"Itu berarti puber kelima puluh lima, dong."
"Bukan, bukan. Itu sih sudah melewati pacaran emas, Val."
"Pacaran platinum dong, namanya.
"Hihihi...."
Aretha memang selalu begitu. Tidak pernah memedulikan dirinya sendiri. Setahunya, bukan tidak banyak cowok sekeren model mendekatinya. Hanya dia saja yang menggebahnya seperti mengusir tawon. Bukan itu saja celakanya. Dia malah menyodorkan cowok-cowok ciamik itu kepada teman-teman ceweknya. Satu per satu dicomblangin. Sebagian besar di antaranya sudah pada jadian. Bukankah itu hal yang paling bodoh di dunia?!
Namun Aretha selalu mengelak kalau digurui. Dia bilang kalau jodoh itu tidak akan lari ke mana.
"Tak akan lari gunung diuber."
"Tapi kamu bakal terbirit-birit dikejar uban."
"Don't worry be happy."
"Kamu selalu begitu. Kapan sih kamu dapat serius dengan masa depanmu sendiri?"
"Apa aku kelihatan tidak pernah serius?"
"Kamu adalah work a holic girl. Aku tidak kuatir untuk urusan lainnya semisal sekolahan ataupun masa depan profesi kamu nantinya. Tapi, untuk soal gacoan kamu tidak pernah dapat serius."
"Forget it, Val. Kamu jangan mengalihkan perkara. Kok ganti kamu yang comblangin aku?"
"Kamu masuk dalam warning. Kamu yang seharusnya merupakan obyek dalam perkara comblang-comblangan itu. Bukannya aku."
"Tentu saja kamu yang lebih penting. Kalau tidak, mana mau aku berkorban perasaan begitu terhadap saudara sepupuku itu."
"Tapi?"
"Jeffry itu baik!"
"Dia?"
"Kamu yang kelewat pesimistis dan rendah diri. Belum apa-apa kamu sudah mundur."
"Levelnya kelewat tinggi...."
"Dia rela merendahkan voltage-nya, berdiri sejajar dengan level rendahmu itu! Dia bilang begitu ke aku, kok. Tapi, kamunya saja yang sudah kadung menutup pintu hatimu rapat-rapat."
"Hei, aku bukan permen yang lupa pada bungkusnya, Non. Kalaupun dia merendahkan levelnya sampai jongkok menyusur tanah sekalipun, belum tentu bokap-nyokapnya interest sama aku."
"Huh, kamu ini! Belum berperang sudah kalah. Atas dasar dan alibi apa kamu mengklaim kalau bokap-nyokapnya tidak suka sama kamu, sementara pacaran saja belum."
"Aku tidak mau disebut pungguk yang merindukan bulan."
"Siapa bilang kamu pungguk yang merindukan bulan. Kamu itu landak yang merindukan matahari."
"Hei... kamu ngeledek aku, ya?"
"Habis, rambut kamu pendek berdiri kaku begitu. Lagian, kamunya juga yang kelewat minderan, sih."
"Lebih baik memiliki hormon minder ketimbang hormon adrenalin seperti gadis-gadis centil geng Nunu cs. Daripada malu-maluin, mending mengangkat bendera putih. Kamu masih ingat kan , bagaimana mokal-nya Nunu saat ditolak mentah-mentah oleh Pramudia. Surat cintanya dibacakan di depan anak-anak sekelas. Satu sekolah juga tahu. Ih, kalau aku jadi Nunu, pasti aku sudah gantung diri."
"Nah, karenanya itu kamu harus masuk UGD RSCM."
"Apaan itu?"
"Unit Gawat Darurat�Rumah Sakit Cinta Muda-Mudi."
"Hei, kamu ini...."
"Kamu membutuhkan segera pertolongan pertama sebelum jodohmu tidak dapat diselamatkan, dijemput sang malaikatulmaut."
"Hei... asal kamu, ya!"
"Come on, Val. Jeffry itu anak rumahan. Dia bukan tipe cowok bunglon. Cowok lainnya yang suka gonta-ganti cewek kayak tukar baju. Lagian, aku duluan yang akan menggorok lehernya kalau dia macam-macam sama sohib kentalku. Trust me, please! "
"Hm, aku tahu dia baik...."
"So, apa lagi?"
Valny sadar apa yang selama ini diperjuangkan Aretha. Bukan dia menolak niat baik sahabatnya sejak di kelas satu SMP itu. Bukan. Hanya saja, dia merasa tidak sepadan dengan sepupu gadis kaya itu. Jadi, diputuskannya untuk bermain petak umpet. Menghindari cowok itu dengan berbagai alasan.
Tapi kali ini dia tidak dapat menghindar lagi. Gadis blaster Batak-Inggris itu sudah mengancam akan membekukan persahabatan, sampai ada keputusan yang jelas tentang persetujuannya untuk diajak kencan pertama. Tentu saja dia tahu kalau itu cuma gurauan yang dikemas dalam mimik serius setengah memohon. Tapi melihat mimiknya yang malah terasa lucu itu, dia jadi tidak tega untuk menolaknya lagi. Lagipula, Jeffry merupakan produk unggul jenis blaster yang tidak diragukan lagi kualitasnya. Ganteng, baik, dan tajir!
"Valny...!"
Gadis tomboi itu terkesiap. Lamunannya tergebah, melayang sampai ke angkasa raya. Aretha menepuk pundaknya, memasang wajah dan cengir tanpa dosa ke arahnya.
"Sori, kami terlambat. Biasa, kena macet," ujarnya enteng seringan kapas.
Valny tergeragap. Hatinya berdetak melihat sepupu cowok Valny itu. Semakin keren. Jauh lebih keren ketimbang beberapa bulan yang lalu saat dia terakhir kali melihatnya. Sekarang, mungkin dia harus menghimpun keberanian untuk menghadapi cowok yang diperkenalkan Aretha itu kepadanya. Sebelum perasaan kurang pedenya itu mengerdilkan segalanya.
Ya, sebelum segalanya menjadi kerdil. ©
0

KEPAK-KEPAK SAYAP MERPATI

Senja diselimuti kabut tipis. Dan biasanya bisa ditebak, bagaimana suhu di Osaka pada saat-saat ini. Apalagi pada aki same seperti sekarang. Sudah dingin setiap harinya, masih ditambah lagi dengan kedinginan yang datang akibat aki same turun tiada hentinya sejak tadi.
Di kejauhan Amanda berlari kecil menghindari terpaan angin yang tiba-tiba datang menghantam tubuhnya. Sesekali dia sibuk merapatkan sweater yang dikenakannya.
Brrrr... Amanda menggigil kedinginan.
Cuaca hari ini, benar-benar tak bisa diajak kompromi, gerutunya pelan. Mungkin kalau tadi pagi diturutinya kata-kata Sam, untuk tidak keluar dalam cuaca seperti ini, dia tidak akan tersiksa sendiri, dengan kedinginan di sekujur tubuhnya. Dan jeleknya lagi, semuanya ini akan terus seperti ini dari hari ke hari sampai saat haru tiba.
Oaaah, Amanda menguap lebar-lebar.
Kalau begini, ingin rasanya cepat-cepat sampai di rumah dan kemudian duduk diam di depan perapian, untuk sekadar menghangatkan badan sambil menghirup segelas susu hangat. Hm, pasti sangat nikmat sekali. Amanda tersenyum membayangkan.
Dan sekarang ini, gadis itu rasanya boleh tersenyum senang, atau tepatnya bernapas lega, karena rumah berukuran sedang itu, sudah terlihat dari pandangannya.
"Amandaaa...."
Amanda mendongak. Menatap ke arah suara. Dilihatnya di depan pintu seseorang melambaikan tangannya setengah berteriak menyuruhnya cepat sampai.
Amanda balas melambai. Dia mempercepat langkahnya, dan cepat-cepat mengulas senyum ramah pada sosok di depannya.
"Menunggu, Sam?" sapa gadis itu, sambil mengibaskan sisa titik-titik airmata yang melekat pada sweater-nya. Sedangkan bibirnya berusaha tetap tersenyum di sela-sela kedinginan.
Tarikan di bibir Amanda perlahan mengendur, ketika wajahnya mendongak menatap mata setengah sipit milik cowok itu.
"Sam?"
Sam terdiam. Dia berpaling dan cepat melangkah masuk ke dalam rumah. Melihat itu, Amanda menghela napas. Ingin rasanya dia bertanya, 'Ada apa Sam?'. Tapi cepat ditahannya mulutnya agar tidak berbicara apa pun, dan mengikuti langkah Sam.
"Mengapa dalam cuaca seperti ini memaksakan diri keluar? Badanmu bisa sakit lagi nanti," tegur cowok itu marah sesampainya mereka di dalam.
Amanda tersenyum gelisah melihat gurat kecemasan di mata Sam. Dan tanpa sempat dicegah, rasa bersalah menjalar cepat di hatinya.
"Maaf, Sam."
"Tadi pagi sudah kubilang, kan?"
"Aku tidak apa-apa, kok," ujar gadis itu. "Jangan cemas, yah?"
"Anak bandel! Tidak apa-apa bagaimana?! Lihat sini!" Sam menarik tangan Amanda menuju cermin besar di ruang tengah. "Ayo. Coba kau lihat! Apa wajah seperti ini, yang tak apa-apa?!"
Gadis itu tersenyum kecut menatap dua wajah dalam cermin. Seorang gadis terpantul di sana dengan wajah yang pucat dan bibir yang membeku kedinginan. Di sampingnya, berdiri seorang cowok tampan yang atletis, tersenyum masam pada gadis itu.
"Sam?"
"Sudahlah!" Sam mengibaskan tangannya. "Lain kali, jangan kau paksakan pergi dalam cuaca begini."
Cowok itu mengingatkan. "Ah. Aku sampai lupa. Tadi sudah kuhidupkan perapian. Hangatkan badanmu, Nda."
Amanda tersenyum mengiyakan.
"Doku desu ka?" tanya Sam dari arah dapur.
Amanda terdiam. Matanya menerawang jauh. Kalau tegami-nya cepat sampai, berarti akan tiba di tangan Johan setengah bulan kemudian. Bahkan mungkin lebih!
Sumimasen, Joe, desis Amanda giris. Kore wa watashi no machigai desu. Walau bagaimanapun, semua sudah tak mungkin lagi untuk kita. Keputusan apa pun, terasa sulit buatku. Dan kalau akhirnya aku pergi, mungkin itu pilihan terbaik untuk kita, batin gadis itu pilu. Meski tanpa mengabarimu, Joe!
Mengenangmu setiap saat, sama saja membuka kembali kejadian berpuluh-puluh hari yang lalu, Joe. Dan itu berarti, menghadirkan luka yang aku sendiri tak tahu kapan sembuhnya!
Aku mencintaimu, Joe. Amat sangat mencintaimu! Dulu aku pernah berjanji. Hanya kau satu-satunya dalam hidupku. Tapi Joe, aku tak dapat lagi merengkuhmu. Tak bisa menyakiti hati Ilda dengan kebersamaan kita. Bagaimanapun, walau tak rela melepaskanmu, dia adik kembarku, Joe.
"Arigatoo, Sam."
"Ni ii kenko?"
Amanda mengangguk.
"Pantas tadi tak terdengar pertanyaanku. Rupanya kau melamun ya, Nda."
Amanda tersenyum kecut. "Maaf, Sam. Aku tadi ke yuubinkyoku. Kirim kabar ke rumah. Juga buat dia," sahutnya cepat, ketika ditangkapnya mata Sam mengerlingnya penuh arti.
"Setidaknya agar semua tak mencemaskanku, karena pergi tanpa pamit."
Amanda meletakkan gelasnya.
"Rasanya baru kemarin aku datang. Kini aku harus merepotkanmu lagi, Sam. Sekarang ini... ah, sudahlah!" Gadis itu mengibaskan tangannya. "Akiru, Sam?"
Sam menggeleng.
"Aku malah senang, kau masih ingat keluargamu di sini, Nda." Dia tertawa. Menepuk pundak Amanda. "Wajahmu menyeramkan lho, kalau sedang susah seperti itu."
Amanda menghela napas.
"Aku tidak tahu lagi harus bagaimana, Sam," ucap gadis itu sedih. Dia tersenyum giris. "Kalau saja bisa, aku tak pernah ingin kehilangan dia. Tak ingin memutuskan tali cinta kami begitu saja. Ah, Sam...," Amanda menggigit bibirnya. Berusaha menghalau kristal bening dari matanya. "Aku tak percaya, kami akan seperti ini. Membayangkannya pun tidak!"
"Kalau begitu kembalilah, Nda! Jangan kau lepaskan cinta yang sudah kalian bangun berdua."
Amanda menggeleng putus asa.
"Aku tidak bisa, Sam!"
"Apa dengan begini, kau tidak menyiksa dirimu sendiri?!" cetus cowok itu marah. "Pikirkanlah dirimu, Nda."
"Sam?"
"Apa sekarang kau menyesal?"
Menyesal?! Amanda tersenyum samar. Andai saja kau tahu, betapa menyesalnya aku. Tapi semua sudah tak mungkin lagi, kan? batin gadis itu nelangsa.
Kadang aku berpikir, apalagi nanti yang akan kuberikan pada Ilda, Sam! Padahal, semua yang terbaik dalam hidupku, dia juga yang merenggutnya!
Andai saja Ilda bukan adikku. Andai bukan Johan yang dia cintai. Mungkin aku tak perlu 'melarikan diri' sejauh ini untuk kebahagiaannya, Sam!
***
Johan terpaku menatap selembar surat dalam genggamannya. Awalnya dia gembira, ketika menemukan sepucuk surat dari gadis itu di meja belajarnya. Setelah lama tak ada berita, dan dia terus menantinya dengan harap cemas. Sudah sesak rasanya dia menahan kerinduannya untuk bertemu. Tapi apa yang ditulis gadis itu? Johan menggeleng tak mengerti.
Entah untuk memastikan apa. Tapi pagi ini, di atas pesawat Garuda, dia sudah membaca isinya berulang kali. Tetap saja tak ada yang berubah. Yang ditulis gadis itu tetap sama. Hanya tiga kalimat. 'Maafkan, aku Joe!'
Maaf untuk apa? Ah. Ingin rasanya saat ini dia 'terbang' menemui gadis itu. Mendekapnya dalam pelukannya. Mengurai rindu yang sudah lama tersimpan. Tapi sayangnya dia bukan pilotnya. Jadi yang dapat dilakukannya hanya diam menunggu. Padahal dia ingin secepatnya tiba di hadapan gadis itu.
Tadinya dia sempat ragu untuk menemui gadis tercintanya. Berpikir puluhan kali malah semakin menyiksa perasaannya. Tapi, setelah menerima telepon interlokal dari seorang cowok, yang mengaku bernama Sam, keraguannya pupus sudah.
Kemarin petang, dia pergi juga. Walau Mama dan Papanya menatapnya cemas. Bahkan juga Ilda, kembaran gadis itu. Ah, Tuhan, mengapa baru disadarinya kalau gadis itu juga mencintainya.
Kalau akhirnya dia nekat pergi, itu bukan karena Ilda. Tapi... itu semua karena kerinduannya sudah tak bisa dibendung lagi. Dia juga tahu, dia mungkin sangat nekat untuk datang. Bagaimana tidak, kalau dia sama sekali buta negara Matahari Terbit itu. Apalagi Osaka!
Johan menggeleng berulang kali. Dia ingin sekali pesawat Garuda ini, mendarat mendarat cepat di Narita. Rasanya dia sudah tidak sabar, untuk segera mengatakan pada gadis itu, bahwa dia sangat mencintainya.
"Excuse me."
Johan tersentak. Seorang gadis cantik bermata sipit, di sebelahnya, membuyarkan lamunannya.
"What can I do for you?"
Gadis itu tersenum ramah. Tangannya menunjuk tempat yang diduduki Johan.
"May I change my seat?"
Johan mengangguk dan tersenyum.
"With pleasure," ujarnya sambil berdiri, membiarkan gadis itu menempati tempatnya. Dan kemudian baru dia duduk kembali di tempat gadis itu duduk sebelumnya.
Johan menatap gadis itu sekilas, dan kemudian merebahkan diri ke sandaran kursi berwarna biru. Belum sempat dia memasang headphone di telinganya, suara gadis itu terdengar lagi.
"Where are you come from?" Gadis itu melirik Johan lewat sudut matanya. "Indonesia?" tanyanya lagi.
Johan mengangguk pelan. Dia meletakkan headphone di tempatnya. Dan berpaling melirik gadis itu, sambil tersenyum.
"Aku punya kenalan orang Indonesia," ucap gadis itu lagi, dengan bahasa Inggris yang fasih. "Dulu kami bertemu, ketika dia pertama kali ke rumahku sebagai anak AFS. Dia baik sekali. Sampai-sampai saat dia akan pergi, semua tak rela melepaskannya." Gadis itu tersenyum mengenang. Kemudian seperti teringat sesuatu, dia tertawa. Sambil menyodorkan tangannya, gadis itu menyebutkan namanya. "Akana."
"Nama yang bagus," puji Johan.
"Seperti nama orang Jepang kebanyakan. Oh ya, namaku Johan."
Gadis itu tersenyum.
"Where are you going?"
"Osaka."
Gadis itu tertawa senang. "Kita rupanya sejalan. Tapi Osaka itu luas, lho," sahutnya cepat. "Siapa yang kau cari?"
Johan hanya menjawab dengan tersenyum.
"Ah." Akana tersenyum penuh arti.
"Your girlfriend?"
Johan tersenyum jengah. Tak ada pilihan lain selain mengangguk. Toh kenyataannya itu benar. Amanda satu-satunya gadis yang dicintainya. Jadi untuk apa ditutupi. Lagian belum tentu kan, dia bertemu gadis ini lagi, gumamnya dalam hati.
Johan melirik gadis itu lagi. Kali ini dia tersenyum lega, mendapati Akana sudah tertidur pulas di kursinya.
***
"Jadi pergi, Sam?"
Cowok itu mengangguk. Tangannya cekatan memakai sarung tangan dan syal. Sementara tangan satunya lagi menyambar kunci mobil dengan tergesa.
"Aku boleh ikut, kan?"
Sam menggeleng cepat.
"Kalau kau ikut, ini bukan lagi sebuah kejutan dong." Cowok itu tersenyum menggoda. "Aku segera kembali, Nda." Sam beranjak pergi. Tapi kemudian di berbalik. "Yakinlah kalau ini kulakukan untuk kebahagiaanmu, Nda."
***
Narita Airport, Japan

Sam duduk diam dalam mobil hijau lumutnya. Tangannya mengetuk-ngetuk setir mobil dengan gelisah. Sesekali dia mengedarkan pandangannya. Menyapu seluruh sudut ruangan.
Sam menatap foto cowok dalam tangannya. Ah. Semoga saja Amanda tidak menyadari, salah satu foto koleksinya telah raib dari albumnya. Kalau tidak begini, dia tidak bisa mengenali sosok yang dicarinya.
Belum lama tangannya membuka pintu, matanya dengan cepat mengenali seseorang, yang berdiri celingukan mencari taksi. Dia berdiri memperhatikan sambil tersenyum senang. Sampai akhirnya dia tak tega dengan kebingungan gadis itu, dan memanggil setengah berteriak.
"Kana...."
Sam tertawa melihat tangan gadis itu meninjunya dari jauh, sambil berlari lincah mendatanginya. Dia tersenyum menyambut. Tangannya terangkat, mengacak-acak rambut gadis itu dengan sayang.
"Tumben?"
Gadis itu meninju lengan Sam, main-main.
"Jangan ge-er dulu, Sam. Aku datang karena mendengar Amanda ke rumah. Jadi bukan kangen sama kamu," cetusnya manja, sambil meleletkan lidahnya menggoda. "Ayo kita pergi. Aku sudah kangen, nih." Tangannya membuka pintu dan langsung duduk di kursi belakang dengan kaki diselonjorkan.
"Aku ke sini, bukan sengaja menjemputmu, Nona." Sam tersenyum menggoda.
"Ah, jadi ada cewek lain lagi?" Akana melongokkan kepalanya. Menatap kakaknya dengan curiga. "Siapa?"
Sam hanya menjawab dengan senyum.
"Sam?"
"Nanti juga kau tahu. Ah!" serunya riang. "Itu dia." Sam melangkahkan kakinya, menghampiri seorang cowok, yang baru saja keluar sambil mendorong troli barangnya.
"Johan?" tanyanya ragu. Dan Sam hanya bisa tersenyum lega, saat menyadari dia tidak salah orang. "Aku Sam. Ingat?"
Johan mengangguk pelan.
"Makasih ya, sudah mengabariku." Dia mengedarkan pandangannya. Seperti tahu yang dicari cowok itu, Sam menggeleng pelan.
"Dia tak datang."
Johan tersenyum. Menyembunyikan kecewanya.
"Aku mengerti. Tidak apa-apa, kok."
Di dalam mobil Akana terperanjat. Orang yang dimaksud kakaknya ternyata adalah Johan, seseorang yang baru saja dikenalnya. Heh, segalanya tak terduga!
***
Di dalam mobil yang melaju kencang, tidak ada yang inisiatif membuka pembicaraan. Semua sibuk dengan pikirannya masing-masing. Dan Sam juga tidak ingin bersuara. Membiarkan kebisuan menyelimuti.
Sam melirik cowok itu dengan ekor matanya. Dia menelan ludah pahit.
Tuhan... apa yang telah kulakukan ini, batinnya pilu.
Seharusnya tak perlu menyuruh cowok itu datang. Seharusnya dia tahu yang dilakukannya ini, malah semakin menyiksanya. Membuatnya merasakan luka lagi. Cowok setampan ini, gumamnya dalam hati. Ah, ya. Tentu saja. Gadis mana yang tidak jatuh cinta padanya? Bahkan juga Amanda!
Dua bulan lalu, saat Amanda datang untuk kedua kalinya, dengan senyum yang sama, dia tahu... di balik senyum itu ada luka yang disembunyikan. Dia juga tahu, di balik sikap tegar gadis itu, tersembunyi hati yang rapuh.
Saat itu, sebenarnya dia sudah ingin mengulurkan tangan. Membantu gadis itu dari kenangannya. Meyakinkannya, bahwa masih ada hari esok untuknya. Bahkan juga cinta!
Tapi itu semua tidak dilakukannya. Dia memilih bicara, jika gadis itu membutuhkan. Setidaknya dengan cara itu, dia mencoba mengerti, dengan membiarkan hatinya membuang harap yang berlebih.
Sam tersenyum giris.
Walau tanpa penolakan, toh hatinya tahu, tak akan pernah ada cinta di hati gadis itu untuknya. Cintanya sudah diberikan bulat-bulat pada cowok di sampingnya ini. Bahkan kemudian rela melepaskannya dan menanggung luka sendiri, demi orang lain yang juga sama berartinya dengan cowok itu.
Sam menggigit bibirnya. Perih! Mungkin itu yang dirasakannya kini. Apalagi saat mobil yang dikemudikannya membelok, memasuki sebuah pekarangan.
"Ah, sudah sampai!" Akana berteriak senang. Membuka pintu dengan tergesa, kemudian menghambur ke dalam. Memanggil Amanda dengan suara rindu.
Sam tersenyum melihat tingkah adiknya. Dia berpaling, menatap Johan. Cowok itu dilihatnya sedang mengusap lembut cincin di jari manisnya. Dia meraba hatinya. Ada desir halus di sana.
Sudahlah! kata hati berbicara. Mungkin gadis itu memang bukan untuknya, gumamnya pahit dalam hati. Dia hanya bisa berharap, bahwa suatu hari nanti, dia akan menemukan seseorang, yang tulusnya seperti gadis itu.
Sam tersenyum. Tangannya menyentuh lengan Johan, pelan.
"Masuklah! Dia ada di dalam."
***
Pukul 17.20 Waktu Osaka

Birunya laut menyambut kedatangan sepasang hati. Amanda melepas sepatunya. Membiarkan dinginnya air membasahi kakinya. Dia menghela napas. Membiarkan cowok di sampingnya ini, membuat perasaannya semakin tak menentu. Bahkan mungkin pertahanannya.
"Aku rindu padamu."
Amanda menelan ludahnya pahit. Kalau ingin jujur... dia juga rindu pada cowok itu. Amat sangat!
"Setelah menerima suratmu, ingin rasanya segera tiba di hadapanmu. Mengatakan padamu, bahwa cintaku tak pernah berubah."
Aku tahu, Joe. Walau tanpa kau ucapkan pun, dari dulu aku tahu. Cintamu putih untukku.
"An, kau tak rindu padaku?"
"Joe!"
Johan mengibaskan tangannya. "Aku mengerti. Dia sudah menjelaskannya padaku." Cowok itu tersenyum. "Dia mencintaimu, kan?"
"Joe!"
"Andai saja kita bisa bersama lagi," keluh cowok itu. Menatap Amanda penuh kasih. "Kau tak adil padaku, An!"
Lalu bagaimana caranya, Joe? Baik kau atau pun Sam, sama saja buatku. Tak ada pilihan lain!
Memilihmu, akan menyakiti hati Ilda. Juga mungkin Sam. Jika aku memilih Sam, aku malah menyakiti cowok itu dengan cintaku yang palsu, Joe! Lalu, harus bagaimana lagi agar bersikap adil pada kalian?
"Aku berharap, suatu hari nanti, kita akan seperti dulu lagi, An. Kau mau?"
Amanda tersenyum.
Bagiku... cintamu adalah bagian hidupku, Joe. Tapi untuk hari ini...
Gadis itu menggeleng, aku tak bisa!
Mungkin suatu hari nanti, Joe. Aku percaya, jika ada 'benang merah' di antara kita, hari itu pasti tiba! ©

Keterangan

Aki Same: Musim gugur, yang biasanya disertai hujan.
Ame: Hujan.
Haru: Musim semi.
Doko desu ka: Tadi pergi ke mana?
Tegami: Surat
Sumimasen: Maafkan aku
Akiru: Bosan
Kore wa watashi mo machigai desu: Ini semua salahku.
Arigatoo: Terima kasih
Yuubinkyoku: Kantor Pos
Ni ii kenko: Sudah rada baikan?
Back to Top