0

CINTA MARCEL

Mawar hanya mematung seperti arca. Duduk anteng dengan tatapan lurus ke depan. Tak menoleh barang sekejap pun ke arah cowok yang tengah nyetir di sebelahnya. Disumpah-sumpahinya Nindy karena melarikan diri dari tanggung-jawab. Biar jadi kodok pada kehidupan berikutnya!
Bayangkan. Masa dia bilang mau beli shampo di Bekasi, dan mendadak tidak dapat menemani mereka minum-minum di Frontrow Cafe. Dan kurang ajarnya lagi, dia langsung terbang seperti kuntilanak tanpa pamit terlebih dahulu. Padahal, acara ini kan atas inisiatifnya?!
Celakanya, dia menerima ajakannya karena cewek itu pakai acara memelas segala rupa. Hasilnya, dia tidak tega say no kepada sobatnya itu. Namun akibatnya, sekarang dia hanya dapat terlongong bingung seperti sedang kesetrum listrik. Hm, ini pasti akal bulusnya untuk mempertemukannya dengan sepupunya, Marcel!
Beli shampo di Bekasi?! Huh, kenapa tidak beli shamponya sekalian di Kamerun sana!
"Sore ini kamu cantik sekali."
Mawar nyaris kelengar. Bukan karena dia dijatuhi durian runtuh, tapi tidak seperti biasanya cowok pendiam seperti Hua Ce Lei dalam Meteor Garden ini dapat melafalkan kalimat barusan.
Mungkin dia baru saja menamatkan kursusnya di John Robert Power, sekolah kepribadian itu. Soalnya, kalau seorang Marcel George Simbolon tadi hanya asal gombal, tentu tingkahnya tidak sewajar tadi. Jadi, mana mungkin orang sedingin kulkas ini dapat tiba-tiba menjadi prenjak jantan.
"Eh, kamu kenapa?" Cowok itu mengibas-ibaskan telapak tangan kirinya di depan wajah Mawar.
"Uh, ti-tidak apa-apa...."
"Lagi mikirin pacar kamu, ya?"
Mawar mengernyitkan dahinya. Hei... dari mana datangnya keberanian itu? Setahunya, meski dia baru bertemu dengan cowok itu sebelas kali, dan itu pun hanya di rumah Nindy. But, today? Dia yakin Marcel yang dikenalnya bukan seperti Marcel yang sekarang. Atau, mungkinkah dia hanya mengenal Marcel tidak lebih dari seperseratus bagian dari seluruh sifat aslinya?
Tapi, tidak mungkin dia salah. Bukankah Nindy juga yang mengatakan kepadanya kalau kakak sepupunya itu memang sedingin salju di Kutub Utara. Dan salju itu akan menjelma menjadi ice-man alias manusia es bila berhadapan dengan cewek.
"Selain aku sepupu satu kalinya, dia tidak punya saudara cewek. Dia anak bungsu dari tujuh bersaudara. Dan semuanya pejantan. Makanya, yang namanya makhluk perempuan itu merupakan koloni yang berasal dari angkasa luar. Asing sekali baginya."
"Sebegitu parahnyakah?"
"Tidak parah-parah amat, sih. Tapi, dia pernah curhat sama aku. Katanya, dulu, selain kamu, dia pernah suka sama seorang gadis Singapura. Oh, aku lupa beri tahu kalau Si Marcel itu gedenya di Singapura."
"Jadian?"
"Tauklah. Aku tidak mau mengorek masa lalunya. Kelihatannya dia sedih banget saat curhat. Pasti ada yang something wrong dengan romantika masa lalunya itu. Buktinya, matanya sempat berkaca-kaca saat itu. Ya, meskipun dia menutup-nutupinya, tapi aku tahu dia sedang sedih. So, aku tidak berani bertanya macam-macam lagi, takut dia jadi gelap mata. Jangan-jangan kena tonjok karena keceriwisan."
"Masa sih dia selembek itu? Padahal, orangnya kelihatan cool banget."
"Aduh, Non. Kalau bicara soal cinta, permen batang coklat saja bisa jadi batangan emas."
"Tapi, Marcel...."
"Marcel juga manusia, kan? Buktinya, dia naksir kamu. Dan ngotot aku dapat nyomblangin dia ke kamu."
"Tanpa pengecualian untuk si Manusia es itu?"
"Tentu saja. Cinta itu anugerah. Kamu, aku, dan semua penghuni planet biru ini kan merupakan buah dari cinta dan kasih sayang. You, know? "
"Iya, Nek. Aku mengerti."
Ada bunyi klakson yang mengusir lamunannya. Sejenak dia kemekmek. Merasa dirinya hilang di tengah rimba kota.
"Kita sudah sampai, War."
***
Suasana cafe tidak terlampau ramai. Hanya tampak beberapa anak ingusan berpredikat ABG sedang mengoceh tentang selebritis idola pujaan masing-masing. Sementara itu musik melantun enerjik. Ada irama latin dari petikan gitar elektrik Santana yang terdengar mengentak. 'Corazon Espinado'-nya menyatu dengan oksigen di dalam ruangan cafe. Asyik sekali.
"Kamu sakit?"
"Uh, eh... tidak."
"Mungkin kamu kecapekan, sedari tadi menunggu kami. Sorry, ya?"
"Bu-bukan...."
Cowok itu tampak santai. Sudah lama dia tidak bertemu dengannya. Nyaris dua bulan dihindarinya cowok itu. Diam-diam diliriknya cowok itu tengah memesan menu makanan. Dia kelihatan semakin dewasa. Tingkahnya yang berwibawa itu malah menyudutkan dia dalam kekikukan. Dan dia hanya dapat mengangguk menjawabi setiap pertanyaan dari cowok itu.
"Minum apa?"
"Sama."
"Eh, War, sorry ya karena menyita waktu kamu. Kamu sedang tidak banyak pe-er, kan?"
"Tidak, sih. Ta-Tapi... Nindy...."
"Hahaha, anak itu lucu," cowok itu terbahak. "Dia ngerjain kamu."
"Pasti akan kubalas, nanti."
"Rupanya, kamu pendendam, ya?"
"Habis, dia jahat, sih!"
"Sorry. Sebenarnya, ini ide dari aku. Dia hanya broker . Jangan salahkan dia."
"Ta-tapi...."
"War, aku sengaja minta dia agar dapat mengatur pertemuan kita. Only you and i."
"Tapi, dia kan sudah janji kepadaku bahwa acara JJS ini bertiga."
"Kamu marah?"
"Tentu saja. Aku tidak suka orang yang sering ingkar janji."
"Sori. Ini inisiatifku. Kalau marah, ya sama aku."
"Ya, sudahlah. Bubur tidak mungkin jadi nasi kembali."
"Terlebih-lebih menjadi padi."
Mereka tertawa. Diliriknya kembali cowok itu. Ada sepasang lesung yang menyembul indah di sudut bibirnya.
"Cel...."
"Kamu pasti ingin tahu kenapa aku...."
"Aku sudah tidak marah lagi, kok."
"Syukurlah. Aku malah kuatir marahmu itu akan berbuntut benci."
"Aku tidak sejahat itu."
"Sebenarnya...."
"Nindy sudah menceritakannya. Kamu...."
"Ya, ya. Tidak ada yang kututup-tutupi kalau sudah curhat sama sepupuku itu. Kamu pasti sudah tahu kalau selama ini aku tuh naksir kamu. Cuma...."
"Cuma apa?"
"Kenapa kamu menghindari aku?"
"Ak-aku...."
"Kamu tidak suka sama aku, kan?"
Mawar diam seribu bahasa. Lidahnya kelu. Hatinya berkecamuk. Haruskah dia berterus terang tentang derajat dan martabat keluarga yang sangat jauh berbeda. Seperti langit dan bumi.
"Trim's kamu mencintai aku. Ta-tapi... ki-kita beda, Cel!"
"Beda bagaimana? Kamu makannya nasi, ya aku juga. Memangnya anak tajir itu makannya nasi butiran berlian apa?"
"Ta-tapi...."
"War, listen to me please. Kalau aku suka kamu, ya aku suka. Kamu jangan mencampuradukkan perasaan dengan obsesi dan kisah-kisah klasik pengantar bobo begitu, dong!"
"Tapi...."
"Aku tidak ingin kecewa lagi, War. Aku sudah banyak menderita akibat kesalahanku sendiri. Dulu, aku tidak pernah jujur terhadap diriku sendiri."
"Memangnya...."
"Mungkin Nindy sudah cerita sama kamu."
Mawar mengangguk.
"Tiga tahun lalu, ketika aku masih SMP di Singapura; aku jatuh hati pada salah satu teman sekelasku. Namanya May Shiang. Dia juga tampaknya suka. Tapi, aku tidak pernah jujur dengan hatiku sendiri. Aku bersikeras untuk tidak menghiraukan rasa cintaku kepadanya dengan hanya menganggap dia seperti gadis-gadis teman sekolahku yang lainnya. Padahal, dia sudah sering menampakkan rasa ketertarikannya kepadaku. Lewat perhatian-perhatian yang lebih dari sekadar pertemanan biasa."
"Tapi, kenapa kamu dan dia tidak dapat bersatu? Bukankah, Si May... siapa?"
"May Shiang."
"Ya, May Shiang. Dia kan suka juga sama kamu?"
"Ah, itulah sakitnya. Waktu itu, mungkin aku terlalu jumawa. Aku malu mengungkapkan cintaku kepadanya. Aku takut apabila ternyata cintaku hanya bertepuk sebelah tangan. Aku selalu ragu, tidak jujur dengan hatiku sendiri. Kupendam perasaan suka itu dalam-dalam selama dua tahun. Dan ketika aku merasa sudah punya keberanian dan kejujuran, segalanya sudah terlambat!"
"Terlambat?!"
"Yap. Gadis itu sudah tidak berada di Singapura lagi. Aku dengar dari Pengurus Administrasi Sekolah bahwa May Shiang pindah ke Beijing, mengikuti ayahnya yang bertugas sebagai duta besar untuk Singapura di sana."
"Kamu bisa berkirim surat atau e-mail. Tanya alamat kedubes Singapura di Beijing."
"Percuma."
"Kenapa?"
"Dua tahun, setiap hari berdekatan dengannya, sekelas lagi; tapi dasar aku yang bego, tidak dapat memanfaatkan kesempatan itu. Semua itu karena keegoisanku, tidak jujur terhadap diriku sendiri. Bukankah aku telah membuang-buang waktu dengan percuma?!"
"La-lalu...."
"Yah, mau apa lagi. Meski aku kirimi dia seribu surat dan seratus rangkaian bunga mawar setiap hari pun percuma saja. Dua tahun aku menampik cintanya secara tidak langsung. Dia pasti sakit hati. Kalau tidak, bagaimana mungkin dia mau ikut ayahnya ke Negeri Tirai Bambu itu."
"Tapi...."
"Yah, sudahlah. Seperti yang kamu bilang tadi. Bubur tidak mungkin jadi nasi kembali."
Mawar menguraikan bibirnya membentuk senyum. "Terlebih-lebih menjadi padi."
Mereka kembali terbahak.
"War, aku tidak ingin jatuh ke dalam lubang yang sama. Aku mengatur semua rencana ke cafe ini resmi untuk berterus terang kepadamu. Aku cinta kamu!"
"Hah?" Mawar terkejut, tapi dia cepat mewajarkan sikapnya dengan melontarkan pertanyaan gurau. "Jadi, kamu berniat 'melamar'ku sebagai pacar?"
"Yap." Cowok itu mengacungkan dua jarinya ke atas. "Mulai hari ini, aku Marcel George Simbolon bersedia menerima Mawarni Stephanus Handoyo sebagai pacar. Dan aku, Marcel George Simbolon bersumpah untuk tetap menyayangi Mawarni Stephanus Handoyo dalam keadaan senang maupun susah, suka maupun duka, dan menyertainya dalam keadaan sehat maupun sakit. Sampai ajal menjemput."
Mawar terharu. Tak terasa matanya berkaca-kaca. Entah dia harus bilang apa. Dia hanya dapat menggaruk-garuk rambut potongan pendeknya itu meskipun kepalanya sama sekali tidak gatal.
"Ta-tapi, kita ini dua kutub yang berbeda. Aku ini kere, tahu! Kamu mungkin dapat menerima aku, tapi bokap-nyokap kamu belum tentu."
"Papi-Mamiku tidak seperti dalam sinetron...."
"Maksudmu, tidak matre!"
Marcell mengangguk. Dan itu telah menjawabi segalanya. ©
0

BILA DIA DATANG DENGAN CINTA

"Seringkali kita lebih memilih obsesi yang tak pasti
meskipun tahu bahwa itu hanyalah bagian dari mimpi,
dan menampik realitas yang riil serta hidup,
yang ditawarkan pada kita atas nama cinta wangi!"
(Effendy Wongso)

"Non Dilla, ada yang nyari tuh." Bik Umi membuyarkan lamunan saya yang sedang asyik menekuri huruf demi huruf pada novel karya JK. Rowling.
"Uh, Bik Umi mengganggu melulu kerjanya," gerutu saya sembari menelungkupkan novel tebal yang setengah tanggung terbaca itu ke meja belajar.
"Eh, maaf, Non," sahut Bik Umi dengan suara melas. "Tapi, tamunya udah lama nunggu."
"Ah, emangnya gue pikirin," ujar saya acuh tak acuh.
Bik Umi kikuk.
"Ya, udah. Suruh aja tamunya nunggu," kata saya lagi. "Eh, Bik Umi! Siapa sih, tamunya?" teriak saya setelah Bik Umi melangkah keluar dari bingkai pintu.
Bik Umi menghentikan langkahnya. Dia mangangkat kedua bahunya.
"Tauk, Non," jawabnya. "Orangnya kurus-tinggi. Putih dan ber...."
"Berkacamata, kan?" potong saya cepat.
"Lho, kok tahu, Non?"
"Ya, tahu dong!" sahut saya tengil. "Ah, udah-udah, keluar sana. Bilang sama Doraemon itu, sebentar lagi saya keluar!"
Saya dorong tubuh Bik Umi keluar.
"Lha, kok tamunya dibilangin Doraemon, Non?" protesnya.
"Allaaa, Bik Umi sok tahu deh," mangkel saya. "Udah, cepetan sana."
Bik Umi lari tergopoh-gopoh. Hampir jatuh tersandung saat menabrak si Manis, kucing keluarga kami yang sedang melintas di depannya. Saya geli dan tertawa. Ah, Bik Umi orangnya memang lucu.
Tapi wajah saya berubah cemberut setelah terlintas wajah tirus pucat punya Andre. Ufh, cowok itu seperti nggak ada jenuh-jenuhnya ngejar saya!
"Dilla Manis. Cepetan dong dandannya. Pacarnya udah lama menunggu. Kasihan, kan?" Mbak Lastri menggoda saya tiba-tiba di bawah bingkai pintu. Senyumnya mengembang, dan itu menguncupkan bibir saya menjadi manyun.
"Weeek, pacar siapa?" Saya kesal mendengarkan godaan Mbak Lastri. Saya julurkan lidah ke arahnya. "Siapa yang pacaran sama dia?"
Mbak Lastri masih tersenyum nakal. Matanya juga!
"Kalo kamu sama dia cocok banget lho, La. Sempurna gitu. Nilainya sepuluh. Dia angka satu. Kamu nol. Hehehe...." Mbak Lastri terkekeh sembari berusaha berlari menghindar lemparan sisir saya.
Bah, memangnya kami ini angka?! rutuk saya dalam hati. Tapi bener kok apa yang dikatakan Mbak Lastri. Si Andre kurus-tinggi. Seperti tiang. Jadi mirip angka satu. Saya pendek agak gempal. Mirip angka nol. Jadinya ya, kami memang kayak angka sepuluh bila jalan bersama. Tapi... hei, siapa yang pacaran? Kami nggak pacaran kok! Lagipula, Andre bukan apa-apa saya!
Ah, tiba-tiba pula saya kesel sama cowok yang bernama Andre itu. Entah dikasih apa mukanya sehingga tebal begitu. Padahal sudah berulang kali saya menghindarinya. Telah berkali-kali saya menunjukkan sikap nggak bersahabat. Jadi, mestinya dia tahu bahwa saya memang nggak menyukainya. Tapi sekarang? Uh, bukannya dia tahu diri, malahan pakai acara datang ke rumah segala!
Dengan langkah terpaksa saya keluar dari kamar. Menjumpai si Doraemon itu. Saya lihat di sudut sana Mbak Lastri masih terkekeh dengan menutup mulut dengan tangannya. Asem!
"Selamat sore, Dilla," sapa Andre ramah. Tapi tengil di mata saya. Bagaimana nggak, dia menundukkan badannya kayak pangeran yang tengah menyambut Sang Putri. Terlalu dibuat-buat.
"Ngapain datang-datang?!" tanya saya ketus, mirip dampratan ketimbang pertanyaan.
"Hm... anu, saya sumpek di rumah. Jadi ya, saya keluar jalan-jalan," Andre tergagap menjawab. Kikuk tampaknya. Sesekali dia menggaruk-garuk kepalanya. Sesekali pula dia memperbaiki letak kacamatanya yang setepal kaca pembesar.
"Kok nyasar ke sini?" tanya saya sinis, berartifisial.
"Ah, nggak kok. Tadi sewaktu ke sini saya nggak nyasar. Walaupun gang-gangnya sempit dan banyak."
Alamak ini anak! Lain yang diomongin, lain yang dijawabnya. Dasar budi, budek dikit. Makanya rajin-rajin dong bersihin itu kuping, tutur saya geli dalam hati. Andre terkadang lucu, tapi menyebalkan!
"Duduk, deh," sahut saya mempersilakan Andre duduk kembali.
"Terima kasih," balasnya. Lagi-lagi dia bersikap tengil di hadapan saya. Nada suaranya dibuat-buat seramah dan selembut mungkin. Jadinya malah seperti suara banci!
"Hm, ada apa?" tanya saya nggak sabaran. Menanyai maksud kedatangannya. Mestinya saya tahu bahwa dia datang pingin menemui saya. Nggak ada maksud lain.
"Eh, anu...," Andre kembali tergagap.
"Ada apa, sih?" potong saya.
"Kamu suka baca novel kan, Dilla?"
"Ya. Tapi bukan urusanmu, kan?"
Andre menundukkan kepalanya.
"Ini untukmu, Dilla."
Saya nyaris menjerit kegirangan melihat beberapa novel yang diangsurkan Andre pada saya. Wouw, novel teenlit pengarang kesayangan saya, Dyan Nuranindya! Apalagi setelah saya lirik judulnya. Aih, aih, 'Dealova' dan 'Rahasia Bintang'! Novel yang memang saya idam-idamkan sedari dulu. Sayang, uang jajan saya belum genap untuk membelinya. Tapi kini....
Tangan saya berhenti di udara mendadak. Suara saya yang hendak menjerit senang terhenti di tengah kerongkongan. Semua kegembiraan saya sirna setelah tersadar kembali, bahwa Andre-lah yang memberikan novel-novel tersebut. Dengan hati yang berat, saya tolak pemberian Andre itu.
"Lho, kenapa?" tanya Andre bingung. "Ini ikhlas dari saya, kok."
Saya diam. Hening sesaat.
"Atau... kamu nggak suka ya, novel-novel ini. Besok saya bawakan yang lain. Karya Esti Kinasih barangkali kamu suka?"
"Terima kasih, Andre. Nggak usah deh, kamu habisin duit hanya beli novel untuk saya," tolak saya halus. Heran! Biasanya saya selalu kasar menolak segala kebaikannya. Kini saya bisa sedikit lebih halus.
Andre nampak kecewa. Sekilas saya lirik dia sedang menggigit bibirnya.
Entah mengapa saya bersikap memusuhi Andre. Padahal cowok ini selalu baik pada saya. Nggak pernah macem-macem. Nggak pernah godain saya seperti teman-teman lainnya di sekolah. Dia yang sering ngerjain pe-er saya kalau pagi di kelas. Ngasih saya kertas contekan bila ada ulangan maupun ujian. Bela-belain traktir saya ngebakso di kantin Bang Hasan. Atau mau bersusah-payah nganter saya pulang. Menjemput ke sekoah kalau perlu. Tapi saya tolak semua hasrat baiknya. Mungkinkah karena Andre nggak setampan dan semacho Illyas, si Keren pujaan hati saya?
"Oke, saya mau pamit pulang dulu deh, Dilla. Novelnya untuk kamu aja. Mungkin suatu saat kamu bisa baca." Andre menggugah lamunan saya. Novel-novel tersebut ditaruhnya di atas meja tamu.
Saya nggak kuasa menolak pemberian Andre itu. Ada sebersit rasa iba yang mengajuk hati saya kala mendapati gurat kecewa pada sepasang bola matanya. Kali ini saya kalah dan luruh. Dia pamit tanpa berkata apa-apa lagi.
***
Pelajaran Bahasa Jerman sedari tadi telah dimulai. Pak Sujana yang tengah asyik menerangkan di atas sama sekali nggak masuk di otak saya. Kejadian kemarin sore masih membekas di hati saya. Saya merasa nggak enak sama Andre. Dia pasti kecewa berat sama saya.
Bel istirahat berbunyi.
Saya hela napas panjang-panjang. Kayaknya begini lebih baik. Percuma kalau di kelas terus, saya nggak konsentrasi sama pelajaran. Bisa-bisa kena damprat guru.
Saya beranjak keluar kelas. Nggak tahan dengan suasana gerah dalam kelas. Sepertinya sebotol teh sosro dan semangkuk bakso dapat mengurangi kesuntukan.
Baru juga dua-tiga langkah saya keluar di bingkai pintu kelas, sepatah suara bariton mengurungkan niat saya semula ke kantin. Saya berpaling ke arah asal suara yang sudah saya hapal di luar kepala. Suara Andre!
"Dilla, sori ya, saya mengganggu sebentar," katanya dengan lembut. Kali ini suaranya berkesan lain. Nggak dibuat-buat lagi. Berwibawa malah.
Saya menundukkan kepala. Nggak berani menatap matanya. Ada perasaan yang teramat bersalah menghunjam dada saya. Selama ini saya selalu bersikap kasar padanya tanpa alasan.
"Saya mau bicara denganmu sejenak. Boleh?" pinta Andre tanpa bersikap memaksa.
Saya hanya mengangguk mengiyakan.
"Boleh. Bicara aja, Andre," desisnya saya pelan. Nyaris nggak terdengar di telinga saya sendiri.
"Nggak di sini. Soalnya banyak kuping jahil yang nggak bertanggung jawab, sih," tutur Andre ringan. Ketawanya yang renyah melerai sejenak kekikukan yang mengambang di antara kami.
Saya ikut tertawa.
"Kita bicara di perpustakaan, ya?" pintanya lagi penuh harap.
Kembali saya hanya mengangguk.
"He-eh."

0

AKU MENCINTAIMU SUAMIKU

Cinta itu butuh kesabaran...

Sampai dimanakah kita harus bersabar menanti cinta kita???

Hari itu.. aku dengannya berkomitmen untuk menjaga cinta kita...

Aku menjadi perempuan yg paling bahagia...

Pernikahan kami sederhana namun meriah...

Ia menjadi pria yang sangat romantis pada waktu itu.

Aku bersyukur menikah dengan seorang pria yang shaleh, pintar, tampan & mapan pula.

Ketika kami berpacaran dia sudah sukses dalam karirnya.

Kami akan berbulan madu di tanah suci, itu janjinya ketika kami berpacaran dulu...

Dan setelah menikah, aku mengajaknya untuk umroh ke tanah suci...

Aku sangat bahagia dengannya, dan dianya juga sangat memanjakan aku... sangat terlihat dari rasa cinta dan rasa sayangnya pada ku.

Banyak orang yang bilang kami adalah pasangan yang serasi. Sangat terlihat sekali bagaimana suamiku memanjakanku. Dan aku bahagia menikah dengannya.

***

Lima tahun berlalu sudah kami menjadi suami istri, sangat tak terasa waktu begitu cepat berjalan walaupun kami hanya hidup berdua saja karena sampai saat ini aku belum bisa memberikannya seorang malaikat kecil (bayi) di tengah keharmonisan rumah tangga kami.

Karena dia anak lelaki satu-satunya dalam keluarganya, jadi aku harus berusaha untuk mendapatkan penerus generasi baginya.

Alhamdulillah saat itu suamiku mendukungku...

Ia mengaggap Allah belum mempercayai kami untuk menjaga titipan-NYA.

Tapi keluarganya mulai resah. Dari awal kami menikah, ibu & adiknya tidak menyukaiku. Aku sering mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dari mereka, namun aku selalu berusaha menutupi hal itu dari suamiku...

Didepan suami ku mereka berlaku sangat baik padaku, tapi dibelakang suami ku, aku dihina-hina oleh mereka...

Pernah suatu ketika satu tahun usia pernikahan kami, suamiku mengalami kecelakaan, mobilnya hancur. Alhamdulillah suami ku selamat dari maut yang hampir membuat ku menjadi seorang janda itu.

Ia dirawat dirumah sakit pada saat dia belum sadarkan diri setelah kecelakaan. Aku selalu menemaninya siang & malam sambil kubacakan ayat-ayat suci Al – Qur'an. Aku sibuk bolak-balik dari rumah sakit dan dari tempat aku melakukan aktivitas sosial ku, aku sibuk mengurus suamiku yang sakit karena kecelakaan.

Namun saat ketika aku kembali ke rumah sakit setelah dari rumah kami, aku melihat didalam kamarnya ada ibu, adik-adiknya dan teman-teman suamiku, dan disaat itu juga.. aku melihat ada seorang wanita yang sangat akrab mengobrol dengan ibu mertuaku. Mereka tertawa menghibur suamiku.

Alhamdulillah suamiku ternyata sudah sadar, aku menangis ketika melihat suami ku sudah sadar, tapi aku tak boleh sedih di hadapannya.

Kubuka pintu yang tertutup rapat itu sambil mengatakan, "Assalammu'alaikum" dan mereka menjawab salam ku. Aku berdiam sejenak di depan pintu dan mereka semua melihatku. Suamiku menatapku penuh manja, mungkin ia kangen padaku karena sudah 5 hari mata nya selalu tertutup.

Tangannya melambai, mengisyaratkan aku untuk memegang tangannya erat. Setelah aku menghampirinya, kucium tangannya sambil berkata "Assalammu'alaikum", ia pun menjawab salam ku dengan suaranya yg lirih namun penuh dengan cinta. Aku pun senyum melihat wajahnya.

Lalu.. Ibu nya berbicara denganku ...

"Fis, kenalkan ini Desi teman Fikri".

Aku teringat cerita dari suamiku bahwa teman baiknya pernah mencintainya, perempuan itu bernama Desi dan dia sangat akrab dengan keluarga suamiku. Hingga akhirnya aku bertemu dengan orangnya juga. Aku pun langsung berjabat tangan dengannya, tak banyak aku bicara di dalam ruangan tersebut,aku tak mengerti apa yg mereka bicarakan.

Aku sibuk membersihkan & mengobati luka-luka di kepala suamiku, baru sebentar aku membersihkan mukanya, tiba-tiba adik ipar ku yang bernama Dian mengajakku keluar, ia minta ditemani ke kantin. Dan suamiku pun mengijinkannya. Kemudian aku pun menemaninya.

Tapi ketika di luar adik ipar ku berkata, "lebih baik kau pulang saja, ada kami yg menjaga abang disini. Kau istirahat saja. "

Anehnya, aku tak diperbolehkan berpamitan dengan suamiku dengan alasan abang harus banyak beristirahat dan karena psikologisnya masih labil. Aku berdebat dengannya mempertanyakan mengapa aku tidak diizinkan berpamitan dengan suamiku. Tapi tiba-tiba ibu mertuaku datang menghampiriku dan ia juga mengatakan hal yang sama. Nantinya dia akan memberi alasan pada suamiku mengapa aku pulang tak berpamitan padanya, toh suamiku selalu menurut apa kata ibunya, baik ibunya salah ataupun tidak, suamiku tetap saja membenarkannya. Akhirnya aku pun pergi meninggalkan rumah sakit itu dengan linangan air mata.

Sejak saat itu aku tidak pernah diijinkan menjenguk suamiku sampai ia kembali dari rumah sakit. Dan aku hanya bisa menangis dalam kesendirianku. Menangis mengapa mereka sangat membenciku.

***

Hari itu.. aku menangis tanpa sebab, yang ada di benakku aku takut kehilangannya, aku takut cintanya dibagi dengan yang lain.

Pagiitu, pada saat aku membersihkan pekarangan rumah kami, suamiku memanggil ku ke taman belakang, ia baru aja selesai sarapan, ia mengajakku duduk di ayunan favorit kami sambil melihat ikan-ikan yang bertaburan di kolam air mancur itu.

Aku bertanya, "Ada apa kamu memanggilku?"

Ia berkata, "Besok aku akan menjenguk keluargaku di Sabang"

Aku menjawab, "Ia sayang.. aku tahu, aku sudah mengemasi barang-barang kamu di travel bag dan kamu sudah memeegang tiket bukan?"

"Ya tapi aku tak akan lama disana, cuma 3 minggu aku disana, aku juga sudah lama tidak bertemu dengan keluarga besarku sejak kita menikah dan aku akan pulang dengan mama ku", jawabnya tegas.

"Mengapa baru sekarang bicara, aku pikir hanya seminggu saja kamu disana?", tanya ku balik kepadanya penuh dengan rasa penasaran dan sedikit rasa kecewa karena ia baru memberitahukan rencana kepulanggannya itu, padahal aku telah bersusah payah mencarikan tiket pesawat untuknya.

"Mama minta aku yang menemaninya saat pulang nanti", jawabnya tegas.

"Sekarang aku ingin seharian dengan kamu karena nanti kita 3 minggu tidak bertemu, ya kan?", lanjut nya lagi sambil memelukku dan mencium keningku. Hatiku sedih dengan keputusannya, tapi tak boleh aku tunjukkan padanya.

Bahagianya aku dimanja dengan suami yang penuh dengan rasa sayang & cintanya walau terkadang ia bersikap kurang adil terhadapku.

Aku hanya bisa tersenyum saja, padahal aku ingin bersama suamiku, tapi karena keluarganya tidak menyukaiku hanya karena mereka cemburu padaku karena suamiku sangat sayang padaku.

Kemudian aku memutuskan agar ia saja yang pergi dan kami juga harus berhemat dalam pengeluaran anggaran rumah tangga kami.

Karena ini acara sakral bagi keluarganya, jadi seluruh keluarganya harus komplit. Walaupun begitu, aku pun tetap tak akan diperdulikan oleh keluarganya harus datang ataupun tidak. Tidak hadir justru membuat mereka sangat senang dan aku pun tak mau membuat riuh keluarga ini.

Malam sebelum kepergiannya, aku menangis sambil membereskan keperluan yang akan dibawanya ke Sabang, ia menatapku dan menghapus air mata yang jatuh dipipiku, lalu aku peluk erat dirinya. Hati ini bergumam tak merelakan dia pergi seakan terjadi sesuatu, tapi aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Aku hanya bisa menangis karena akan ditinggal pergi olehnya.

Aku tidak pernah ditinggal pergi selama ini, karena kami selalu bersama-sama kemana pun ia pergi.

Apa mungkin aku sedih karena aku sendirian dan tidak memiliki teman, karena biasanya hanya pembantu sajalah teman mengobrolku.

Hati ini sedih akan di tinggal pergi olehnya.

Sampai keesokan harinya, aku terus menangis.. menangisi kepergiannya. Aku tak tahu mengapa sesedih ini, perasaanku tak enak, tapi aku tak boleh berburuk sangka. Aku harus percaya pada suamiku. Dia pasti akan selalu menelponku.

***

Berjauhan dengan suamiku, aku merasa sangat tidak nyaman, aku merasa sendiri. Untunglah aku mempunyai kesibukan sebagai seorang aktivis, jadinya aku tak terlalu kesepian ditinggal pergi ke Sabang.

Saat kami berhubungan jarak jauh, komunikasi kami memburuk dan aku pun jatuh sakit. Rahimku terasa sakit sekali seperti di lilit oleh tali. Tak tahan aku menahan rasa sakit dirahimku ini, sampai-sampai aku mengalami pendarahan. Aku dilarikan ke rumah sakit oleh adik laki-lakiku yang kebetulan menemaniku disana. Dokter memvonis aku terkena kanker mulut rahim stadium 3.

Aku menangis.. apa yang bisa aku banggakan lagi..

Mertuaku akan semakin menghinaku, suamiku yang malang yang selalu berharap akan punya keturunan dari rahimku.. namun aku tak bisa memberikannya keturunan. Dan kemudian aku hanya bisa memeluk adikku.

Aku kangen pada suamiku, aku selalu menunggu ia pulang dan bertanya-tanya, "kapankah ia segera pulang?" aku tak tahu..

Sementara suamiku disana, aku tidak tahu mengapa ia selalu marah-marah jika menelponku. Bagaimana aku akan menceritakan kondisiku jika ia selalu marah-marah terhadapku..

Lebih baik aku tutupi dulu tetang hal ini dan aku juga tak mau membuatnya khawatir selama ia berada di Sabang.

Lebih baik nanti saja ketika ia sudah pulang dari Sabang, aku akan cerita padanya. Setiap hari aku menanti suamiku pulang, hari demi hari aku hitung...

Sudah 3 minggu suamiku di Sabang, malam itu ketika aku sedang melihat foto-foto kami, ponselku berbunyi menandakan ada sms yang masuk.

Kubuka di inbox ponselku, ternyata dari suamiku yang sms.

Ia menulis, "aku sudah beli tiket untuk pulang, aku pulangnya satu hari lagi, aku akan kabarin lagi".

Hanya itu saja yang diinfokannya. Aku ingin marah, tapi aku pendam saja ego yang tidak baik ini. Hari yg aku tunggu pun tiba, aku menantinya dirumah.

Sebagai seorang istri, aku pun berdandan yang cantik dan memakai parfum kesukaannya untuk menyambut suamiku pulang, dan nantinya aku juga akan menyelesaikan masalah komunikasi kami yang buruk akhir-akhir ini.

Bel pun berbunyi, kubukakan pintu untuknya dan ia pun mengucap salam. Sebelum masuk, aku pegang tangannya kedepan teras namun ia tetap berdiri, aku membungkuk untuk melepaskan sepatu, kaos kaki dan kucuci kedua kakinya, aku tak mau ada syaithan yang masuk ke dalam rumah kami.

Setelah itu akupun berdiri langsung mencium tangannya tapi apa reaksinya..

MasyaAllah.. ia tidak mencium keningku, ia hanya diam dan langsung naik keruangan atas, kemudian mandi dan tidur tanpa bertanya kabarku..

Aku hanya berpikir, mungkin dia capek. Aku pun segera merapikan bawaannya sampai aku pun tertidur. Malam menunjukkan 1/3 malam, mengingatkan aku pada tempat mengadu yaitu Allah, Sang Maha Pencipta.

Biasanya kami selalu berjama'ah, tapi karena melihat nya tidur sangat pulas, aku tak tega membangunkannya. Aku hanya mengeelus wajahnya dan aku cium keningnya, lalu aku sholat tahajud 8 rakaat plus witir 3 raka'at.

***

Aku mendengar suara mobilnya, aku terbangun lalu aku melihat dirinya dari balkon kamar kami yang bersiap-siap untuk pergi. Lalu aku memanggilnya tapi ia tak mendengar. Kemudian aku ambil jilbabku dan aku berlari dariatas ke bawah tanpa memperdulikan darah yg bercecer dari rahimku untuk mengejarnya tapi ia begitu cepat pergi.

Aku merasa ada yang aneh dengan suamiku. Ada apa dengan suamiku? Mengapa ia bersikap tidak biasa terhadapku?

Aku tidak bisa diam begitu saja, firasatku mengatakan ada sesuatu. Saat itu juga aku langsung menelpon kerumah mertuaku dan kebetulan Dian yang mengangkat telponnya, aku bercerita dan aku bertanya apa yang sedang terjadi dengan suamiku. Dengan enteng ia menjawab, "Loe pikir ajasendiri!!!". Telpon pun langsung terputus.

Ada apa ini? Tanya hatiku penuh dalam kecemasan. Mengapa suamiku berubah setelah ia kembali dari kota kelahirannya. Mengapa ia tak mau berbicara padaku, apalagi memanjakan aku.

Semakin hari ia menjadi orang yang pendiam, seakan ia telah melepas tanggung jawabnya sebagai seorang suami. Kami hanya berbicara seperlunya saja, aku selalu diintrogasinya. Selalu bertanya aku dari mana dan mengapa pulang terlambat dan ia bertanya dengan nada yg keras. Suamiku telah berubah.

Bahkan yang membuat ku kaget, aku pernah dituduhnya berzina dengan mantan pacarku. Ingin rasanya aku menampar suamiku yang telah menuduhku serendah itu, tapi aku selalu ingat.. sebagaimana pun salahnya seorang suami, status suami tetap di atas para istri, itu pedoman yang aku pegang.

Aku hanya berdo'a semoga suamiku sadar akan prilakunya.

***

Dua tahun berlalu, suamiku tak kunjung berubah juga. Aku menangis setiap malam, lelah menanti seperti ini, kami seperti orang asing yang baru saja berkenalan.

Kemesraan yang kami ciptakan dulu telah sirna. Walaupun kondisinya tetap seperti itu, aku tetap merawatnya & menyiapkan segala yang ia perlukan. Penyakitku pun masih aku simpan dengan baik dan sekalipun ia tak pernah bertanya perihal obat apa yang aku minum. Kebahagiaan ku telah sirna, harapan menjadi ibu pun telah aku pendam. Aku tak tahu kapan ini semua akan berakhir.

Bersyukurlah.. Aku punya penghasilan sendiri dari aktifitasku sebagai seorang guru ngaji, jadi aku tak perlu meminta uang padanya hanya untuk pengobatan kankerku. Aku pun hanya berobat semampuku.

Sungguh.. Suami yang dulu aku puja dan aku banggakan, sekarang telah menjadi orang asing bagiku, setiap aku bertanya ia selalu menyuruhku untuk berpikir sendiri. Tiba-tiba saja malam itu setelah makan malam usai, suamiku memanggilku.

"Ya, ada apa Yah!" sahutku dengan memanggil nama kesayangannya "Ayah".

"Lusa kita siap-siap ke Sabang ya." Jawabnya tegas.

"Ada apa? Mengapa?", sahutku penuh dengan keheranan.

Astaghfirullah.. Suami ku yang dulu lembut tiba-tiba saja menjadi kasar, dia membentakku. Sehingga tak ada lagi kelanjutan diskusi antara kami.

Dia mengatakan "Kau ikut saja jangan banyak tanya!!"

Lalu aku pun bersegera mengemasi barang-barang yang akan dibawa ke Sabang sambil menangis, sedih karena suamiku kini tak ku kenal lagi.

Dua tahun pacaran, lima tahun kami menikah dan sudah 2 tahun pula ia menjadi orang asing buatku. Ku lihat kamar kami yg dulu hangat penuh cinta yang dihiasi foto pernikahan kami, sekarang menjadi dingin.. Sangat dingin dari batu es. Aku menangis dengan kebingungan ini. Ingin rasanya aku berontak berteriak, tapi aku tak bisa.

Suamiku tak suka dengan wanita yang kasar, ngomong dengan nada tinggi, suka membanting barang-barang. Dia bilang perbuatan itu menunjukkan sikap ketidakhormatan kepadanya. Aku hanya bisa bersabar menantinya bicara dan sabar mengobati penyakitku ini, dalam kesendirianku..

***

Kami telah sampai di Sabang, aku masih merasa lelah karena semalaman aku tidak tidur karena terus berpikir. Keluarga besarnya juga telah berkumpul disana, termasuk ibu & adik-adiknya. Aku tidak tahu ada acara apa ini..

Aku dan suamiku pun masuk ke kamar kami. Suamiku tak betah didalam kamar tua itu, ia pun langsung keluar bergabung dengan keluarga besarnya.

Baru saja aku membongkar koper kami dan ingin memasukkannya ke dalam lemari tua yang berada di dekat pintu kamar, lemari tua yang telah ada sebelum suamiku lahir. Tiba-tiba Tante Lia, tante yang sangat baik padaku memanggil ku untuk bersegera berkumpul diruang tengah, aku pun menuju ke ruang keluarga yang berada ditengah rumah besar itu, yang tampak seperti rumah zaman peninggalan belanda.

Kemudian aku duduk disamping suamiku, dan suamiku menunduk penuh dengan kebisuan, aku tak berani bertanya padanya.

Tiba-tiba saja neneknya, orang yang dianggap paling tua dan paling berhak atas semuanya, membuka pembicaraan.

"Baiklah, karena kalian telah berkumpul, nenek ingin bicara dengan kau Fisha". Neneknya berbicara sangat tegas, dengan sorot mata yang tajam.

"Ada apa ya Nek?" sahutku dengan penuh tanya..

Nenek pun menjawab, "Kau telah bergabung dengan keluarga kami hampir 8 tahun, sampai saat ini kami tak melihat tanda-tanda kehamilan yang sempurna sebab selama ini kau selalu keguguran!!".

Aku menangis.. Untuk inikah aku diundang kemari? Untuk dihina ataukah dipisahkan dengan suamiku?

"Sebenarnya kami sudah punya calon untuk Fikri, dari dulu.. Sebelum kau menikah dengannya. Tapi Fikri anak yang keras kepala, tak mau di atur,dan akhirnya menikahlah ia dengan kau." Neneknya berbicara sangat lantang, mungkin logat orang Sabang seperti itu semua.

Aku hanya bisa tersenyum dan melihat wajah suamiku yang kosong matanya.

"Dan aku dengar dari ibu mertuamu kau pun sudah berkenalan dengannya", neneknya masih melanjutkan pembicaraan itu.

Sedangkan suamiku hanya terdiam saja, tapi aku lihat air matanya. Ingin aku peluk suamiku agar ia kuat dengan semua ini, tapi aku tak punya keberanian untuk itu.

Neneknya masih saja berbicara panjang lebar dan yang terakhir dari ucapannya dengan mimik wajah yang sangat menantang kemudian berkata, "kau maunya gimana? kau dimadu atau diceraikan?"

MasyaAllah.. Kuatkan hati ini.. Aku ingin jatuh pingsan. Hati ini seakan remuk mendengarnya, hancur hatiku. Mengapa keluarganya bersikap seperti ini terhadapku..

Aku selalu munutupi masalah ini dari kedua orang tuaku yang tinggal di pulau kayu, mereka mengira aku sangat bahagia 2 tahun belakangan ini.

"Fish, jawab!." Dengan tegas Ibunya langsung memintaku untuk menjawab.

Aku langsung memegang tangan suamiku. Dengan tangan yang dingin dan gemetar aku menjawab dengan tegas.

"Walaupun aku tidak bisa berdiskusi dulu dengan imamku, tapi aku dapat berdiskusi dengannya melalui bathiniah, untuk kebaikan dan masa depan keluarga ini, aku akan menyambut baik seorang wanita baru dirumah kami."

Itu yang aku jawab, dengan kata lain aku rela cintaku dibagi. Dan pada saat itu juga suamiku memandangku dengan tetesan air mata, tapi air mataku tak sedikit pun menetes di hadapan mereka.

Aku lalu bertanya kepada suamiku, "Ayah siapakah yang akan menjadi sahabatku dirumah kita nanti, yah?"

Suamiku menjawab, "Dia Desi!"

Akupun langsung menarik napas dan langsung berbicara, "Kapan pernikahannya berlangsung? Apa yang harus saya siapkan dalam pernikahan ini Nek?."

Ayah mertuaku menjawab, "Pernikahannya 2 minggu lagi."

"Baiklah kalo begitu saya akan menelpon pembantu di rumah, untuk menyuruhnya mengurus KK kami ke kelurahan besok", setelah berbicara seperti itu aku permisi untuk pamit ke kamar.

Tak tahan lagi.. Air mata ini akan turun, aku berjalan sangat cepat, aku buka pintu kamar dan aku langsung duduk di tempat tidur. Ingin berteriak, tapi aku sendiri disini. Tak kuat rasanya menerima hal ini, cintaku telah dibagi. Sakit.. Diiringi akutnya penyakitku..

Apakah karena ini suamiku menjadi orang yang asing selama 2 tahun belakangan ini?

Aku berjalan menuju ke meja rias, kubuka jilbabku, aku bercermin sambil bertanya-tanya, "sudah tidak cantikkah aku ini?"

Kuambil sisirku, aku menyisiri rambutku yang setiap hari rontok. Kulihat wajahku, ternyata aku memang sudah tidak cantik lagi, rambutku sudah hampir habis.. kepalaku sudah botak dibagian tengahnya.

Tiba-tiba pintu kamar ini terbuka, ternyata suamiku yang datang, ia berdiri dibelakangku. Tak kuhapus air mata ini, aku bersegera memandangnya dari cermin meja rias itu.

Kami diam sejenak, lalu aku mulai pembicaraan, "terima kasih ayah, kamu memberi sahabat kepada ku. Jadi aku tak perlu sedih lagi saat ditinggal pergi kamu nanti! Iya kan?."

Suamiku mengangguk sambil melihat kepalaku tapi tak sedikitpun ia tersenyum dan bertanya kenapa rambutku rontok, dia hanya mengatakan jangan salah memakai shampo.

Dalam hatiku bertanya, "mengapa ia sangat cuek?" dan ia sudah tak memanjakanku lagi. Lalu dia berkata, "sudah malam, kita istirahat yuk!"

"Aku sholat isya dulu baru aku tidur", jawabku tenang.

Dalam sholat dan dalam tidur aku menangis. Ku hitung mundur waktu, kapan aku akan berbagi suami dengannya. Aku pun ikut sibuk mengurusi pernikahan suamiku.

Aku tak tahu kalau Desi orang Sabang juga. Sudahlah, ini mungkin takdirku. Aku ingin suamiku kembali seperti dulu,yang sangat memanjakan aku atas rasa sayang dan cintanya itu.

***

Malam sebelum hari pernikahan suamiku, aku menulis curahan hatiku di laptopku.

Dilaptop aku menulis saat-saat terakhirku melihat suamiku, aku marah pada suamiku yang telah menelantarkanku. Aku menangis melihat suamiku yang sedang tidur pulas, apa salahku? sampai ia berlaku sekejam itu kepadaku. Aku save di My Document yang bertitle"Aku Mencintaimu Suamiku."

Hari pernikahan telah tiba, aku telah siap, tapi aku tak sanggup untuk keluar. Aku berdiri didekat jendela, aku melihat matahari, karena mungkin saja aku takkan bisa melihat sinarnya lagi. Aku berdiri sangat lama.. lalu suamiku yang telah siap dengan pakaian pengantinnya masuk dan berbicara padaku.

"Apakah kamu sudah siap?"

Kuhapus airmata yang menetes diwajahku sambil berkata :

"Nanti jika ia telah sah jadi istrimu, ketika kamu membawa ia masuk kedalam rumah ini, cucilah kakinya sebagaimana kamu mencuci kakiku dulu, lalu ketika kalian masuk ke dalam kamar pengantin bacakan do'a diubun-ubunnya sebagaimana yang kamu lakukan padaku dulu. Lalu setelah itu..", perkataanku terhenti karena tak sanggup aku meneruskan pembicaraan itu, aku ingin menagis meledak.

Tiba-tiba suamiku menjawab "Lalu apa Bunda?"

Aku kaget mendengar kata itu, yang tadinya aku menunduk seketika aku langsung menatapnya dengan mata yang berbinar-binar...

"Bisa kamu ulangi apa yang kamu ucapkan barusan?", pintaku tuk menyakini bahwa kuping ini tidak salah mendengar.

Dia mengangguk dan berkata, "Baik bunda akan ayah ulangi, lalu apa bunda?", sambil ia mengelus wajah dan menghapus air mataku, dia agak sedikit membungkuk karena dia sangat tinggi, aku hanya sedadanya saja.

Dia tersenyum sambil berkata, "Kita liat saja nanti ya!". Dia memelukku dan berkata,"Bunda adalah wanita yang paling kuat yang ayah temui selain mama".

Kemudian ia mencium keningku, aku langsung memeluknya erat dan berkata, "Ayah, apakah ini akan segera berakhir? Ayah kemana saja? Mengapa Ayah berubah? Aku kangen sama Ayah? Aku kangen belaian kasih sayang Ayah? Aku kangen dengan manjanya Ayah? Aku kesepian Ayah? Dan satu hal lagi yang harus Ayah tau, bahwa aku tidak pernah berzinah! Dulu.. Waktu awal kita pacaran, aku memang belum bisa melupakannya, setelah 4 bulan bersama Ayah baru bisa aku terima, jika yang dihadapanku itu adalah lelaki yang aku cari. Bukan berarti aku pernah berzina Ayah." Aku langsung bersujud di kakinya dan muncium kaki imamku sambil berkata, "Aku minta maaf Ayah, telah membuatmu susah".

Saat itu juga, diangkatnya badanku.. Ia hanya menangis.

Ia memelukku sangat lama, 2 tahun aku menanti dirinya kembali. Tiba-tiba perutku sakit, ia menyadari bahwa ada yang tidak beres denganku dan ia bertanya, "bunda baik-baik saja kan?" tanyanya dengan penuh khawatir.

Aku pun menjawab, "bisa memeluk dan melihat kamu kembali seperti dulu itu sudah mebuatku baik, Yah. Aku hanya tak bisa bicara sekarang". Karena dia akan menikah. Aku tak mau membuat dia khawatir. Dia harus khusyu menjalani acara prosesi akad nikah tersebut.

***

Setelah tiba di masjid, ijab-qabul pun dimulai. Aku duduk diseberang suamiku.

Aku melihat suamiku duduk berdampingan dengan perempuan itu, membuat hatiini cemburu, ingin berteriak mengatakan, "Ayah jangan!!", tapi aku ingat akan kondisiku.

Jantung ini berdebar kencang saat mendengar ijab-qabul tersebut. Begitu ijab-qabul selesai, aku menarik napas panjang. Tante Lia, tante yang baik itu, memelukku. Dalam hati aku berusaha untuk menguatkan hati ini. Ya... Aku kuat.

Tak sanggup aku melihat mereka duduk bersanding di pelaminan. Orang-orang yang hadir di acara resepsi itu iba melihatku, mereka melihatku dengan tatapan sangat aneh, mungkin melihat wajahku yang selalu tersenyum, tapi dibalik itu.. Hatiku menangis.

Sampai dirumah, suamiku langsung masuk ke dalam rumah begitu saja. Tak mencuci kakinya. Aku sangat heran dengan perilakunya. Apa iya, dia tidak suka dengan pernikahan ini?

Sementara itu Desi disambut hangat di dalam keluarga suamiku, tak seperti aku dahulu, yang di musuhi.

Malam ini aku tak bisa tidur, bagaimana bisa? Suamiku akan tidur dengan perempuan yang sangat aku cemburui. Aku tak tahu apa yang sedang mereka lakukan didalam sana.

Sepertiga malam pada saat aku ingin sholat lail aku keluar untuk berwudhu, lalu aku melihat ada lelaki yang mirip suamiku tidur disofa ruang tengah. Kudekati lalu kulihat. MasyaAllah.. Suamiku tak tidur dengan wanita itu, ia ternyata tidur disofa, aku duduk disofa itu sambil menghelus wajahnya yang lelah, tiba-tiba ia memegang tangan kiriku, tentu saja aku kaget.

"Kamu datang ke sini, aku pun tahu", ia berkata seperti itu. Aku tersenyum dan megajaknya sholat lail. Setelah sholat lail ia berkata, "Maafkan aku, aku tak boleh menyakitimu, kamu menderita karena ego nya aku. Besok kita pulang ke Jakarta, biar Desi pulang dengan mama, papa dan juga adik-adikku"

Aku menatapnya dengan penuh keheranan. Tapi ia langsung mengajakku untuk istirahat. Saat tidur ia memelukku sangat erat. Aku tersenyum saja, sudah lama ini tidak terjadi. Ya Allah.. Apakah Engkau akan menyuruh malaikat maut untuk mengambil nyawaku sekarang ini, karena aku telah merasakan kehadirannya saat ini. Tapi.. Masih bisakah engkau ijinkan aku untuk merasakan kehangatan dari suamiku yang telah hilang selama 2 tahun ini..

Suamiku berbisik, "Bunda kok kurus?"

Aku menangis dalam kebisuan. Pelukannya masih bisa aku rasakan.

Aku pun berkata, "Ayah kenapa tidak tidur dengan Desi?"

"Aku kangen sama kamu Bunda, aku tak mau menyakitimu lagi. Kamu sudah sering terluka oleh sikapku yang egois." Dengan lembut suamiku menjawab seperti itu.

Lalu suamiku berkata, "Bun, ayah minta maaftelah menelantarkan bunda.. Selama ayah di Sabang, ayah dengar kalau bunda tidak tulus mencintai ayah, bunda seperti mengejar sesuatu, seperti mengejar harta ayah dan satu lagi.. Ayah pernah melihat SMS bunda dengan mantan pacar bunda dimana isinya kalau bunda gak mau berbuat "Seperti itu" dan tulisan seperti itu diberi tanda kutip ("seperti itu"). Ayah ingin ngomong tapi takut bunda tersinggung dan ayah berpikir kalau bunda pernah tidur dengannya sebelum bunda bertemu ayah, terus ayah dimarahi oleh keluarga ayah karena ayah terlalu memanjakan bunda"

Hati ini sakit ketika difitnah oleh suamiku, ketika tidak ada kepercayaan di dirinya, hanya karena omongan keluarganya yang tidak pernah melihat Betapa tulusnya aku mencintai pasangan seumur hidupku ini.

Aku hanya menjawab, "Aku sudah ceritakan itu kan Yah. Aku tidak pernah berzinah dan aku mencintaimu setulus hatiku, jika aku hanya mengejar hartamu, mengapa aku memilih kamu? Padahal banyak lelaki yang lebih mapan darimu waktu itu Yah.Jika aku hanya mengejar hartamu, aku tak mungkin setiap hari menangis karena menderita mencintaimu."

Entah aku harus bahagia atau aku harus sedih karena sahabatku sendirian dikamar pengantin itu. Malam itu, aku menyelesaikan masalahku dengan suamiku dan berusaha memaafkannya beserta sikap keluarganya juga.

Karena aku tak mau mati dalam hati yang penuh dengan rasa benci.

***

Keesokan harinya...

Ketika aku ingin terbangun untuk mengambil wudhu, kepalaku pusing, rahimku sakit sekali.. aku mengalami pendarahan dan suamiku kaget bukan main, ia langsung menggendongku.

Aku pun dilarikan ke rumah sakit..

Dari kejauhan aku mendengar suara zikir suamiku..

Aku merasakan tanganku basah..

Ketika kubuka mata ini, kulihat wajah suamiku penuh dengan rasa kekhawatiran.

Ia menggenggam tanganku dengan erat.. Dan mengatakan,"Bunda, Ayah minta maaf..."

Berkali-kali ia mengucapkan hal itu. Dalam hatiku, apa ia tahu apa yang terjadi padaku?

Aku berkata dengan suara yang lirih, "Yah, bunda ingin pulang.. bunda ingin bertemu kedua orang tua bunda, anterin bunda kesana ya, Yah.."

"Ayah jangan berubah lagi ya! Janji ya, Yah... !!! Bunda sayang banget sama Ayah."

Tiba-tiba saja kakiku sakit sangat sakit, sakitnya semakin keatas, kakiku sudah tak bisa bergerak lagi.. aku tak kuat lagi memegang tangan suamiku. Kulihat wajahnya yang tampan, berlinang air mata.

Sebelum mata ini tertutup, kulafazkan kalimat syahadat dan ditutup dengan kalimat tahlil.

Aku bahagia melihat suamiku punya pengganti diriku..

Aku bahagia selalu melayaninya dalam suka dan duka..

Menemaninya dalam ketika ia mengalami kesulitan dari kami pacaran sampai kami menikah.

Aku bahagia bersuamikan dia. Dia adalah nafasku.

Untuk Ibu mertuaku :"Maafkan aku telah hadir didalam kehidupan anakmu sampai aku hidup didalam hati anakmu, ketahuilah Ma.. Dari dulu aku selalu berdo'a agar Mama merestui hubungan kami. Mengapa engkau fitnah diriku didepan suamiku, apa engkau punya buktinya Ma? Mengapa engkau sangat cemburu padaku Ma? Fikri tetap milikmu Ma, aku tak pernah menyuruhnya untuk durhaka kepadamu, dari dulu aku selalu mengerti apa yang kamu inginkan dari anakmu, tapi mengapa kau benci diriku. Dengan Desi kau sangat baik tetapi denganku menantumu kau bersikap sebaliknya."

***

Setelah ku buka laptop, kubaca curhatan istriku.

=====================================================

Ayah, mengapa keluargamu sangat membenciku?

Aku dihina oleh mereka ayah.

Mengapa mereka bisa baik terhadapku pada saat ada dirimu?

Pernah suatu ketika aku bertemu Dian di jalan, aku menegurnya karena dia adik iparku tapi aku disambut dengan wajah ketidaksukaannya. Sangat terlihat Ayah..

Tapi ketika engkau bersamaku, Dian sangat baik, sangat manis dan ia memanggilku dengan panggilan yang sangat menghormatiku. Mengapa seperti itu ayah?

Aku tak bisa berbicara tentang ini padamu, karena aku tahu kamu pasti membela adikmu, tak ada gunanya Yah..

Aku diusir dari rumah sakit.

Aku tak boleh merawat suamiku.

Aku cemburu pada Desi yang sangat akrab dengan mertuaku.

Tiap hari ia datang ke rumah sakit bersama mertuaku.

Aku sangat marah..

Jika aku membicarakan hal ini pada suamiku, ia akan pasti membela Desi dan ibunya..

Aku tak mau sakit hati lagi.

Ya Allah kuatkan aku, maafkan aku..

Engkau Maha Adil..

Berilah keadilan ini padaku, Ya Allah..

Ayah sudah berubah, ayah sudah tak sayang lagi pada ku..

Aku berusaha untuk mandiri ayah, aku tak akan bermanja-manja lagi padamu..

Aku kuat ayah dalam kesakitan ini..

Lihatlah ayah, aku kuat walaupun penyakit kanker ini terus menyerangku..

Aku bisa melakukan ini semua sendiri ayah..

Besok suamiku akan menikah dengan perempuan itu.

Perempuan yang aku benci, yang aku cemburui.

Tapi aku tak boleh egois, ini untuk kebahagian keluarga suamiku.

Aku harus sadar diri.

Ayah, sebenarnya aku tak mau diduakan olehmu.

Mengapa harus Desi yang menjadi sahabatku?

Ayah.. aku masih tak rela.

Tapi aku harus ikhlas menerimanya.

Pagi nanti suamiku melangsungkan pernikahan keduanya.

Semoga saja aku masih punya waktu untuk melihatnya tersenyum untukku.

Aku ingin sekali merasakan kasih sayangnya yang terakhir.

Sebelum ajal ini menjemputku.

Ayah.. aku kangen ayah..

=====================================================

Dan kini aku telah membawamu ke orang tuamu, Bunda..

Aku akan mengunjungimu sebulan sekali bersama Desi di Pulau Kayu ini.

Aku akan selalu membawakanmu bunga mawar yang berwana pink yang mencerminkan keceriaan hatimu yang sakit tertusuk duri.

Bunda tetap cantik, selalu tersenyum disaat tidur.

Bunda akan selalu hidup dihati ayah.

Bunda.. Desi tak sepertimu, yang tidak pernah marah..

Desi sangat berbeda denganmu, ia tak pernah membersihkan telingaku, rambutku tak pernah di creambathnya, kakiku pun tak pernah dicucinya.

Ayah menyesal telah menelantarkanmu selama 2 tahun, kamu sakit pun aku tak perduli, hidup dalam kesendirianmu..

Seandainya Ayah tak menelantarkan Bunda, mungkin ayah masih bisa tidur dengan belaian tangan Bunda yang halus.

Sekarang Ayah sadar, bahwa ayah sangat membutuhkan bunda..

Bunda, kamu wanita yang paling tegar yang pernah kutemui.

Aku menyesal telah asik dalam ke-egoanku..

Bunda.. Maafkan aku.. Bunda tidur tetap manis. Senyum manjamu terlihat di tidurmu yang panjang.

Maafkan aku, tak bisa bersikap adil dan membahagiakanmu, aku selalu meng-iyakanapa kata ibuku, karena aku takut menjadi anak durhaka. Maafkan aku ketika kau di fitnah oleh keluargaku, aku percaya begitu saja.

Apakah Bunda akan mendapat pengganti ayah di surga sana?

Apakah Bunda tetap menanti ayah disana? Tetap setia dialam sana?

Tunggulah Ayah disana Bunda..

Bisakan? Seperti Bunda menunggu ayah di sini.. Aku mohon..

Ayah Sayang Bunda..

***



Doaku slalu bersamamu . . .

0

PANGERAN UNTUKKU

Bel tanda bubar siswa-siswa SMA TOP sudah berbunyi beberapa menit lalu. Satu kelas masih berkutat dengan pelajaran tambahan, sebagian besar siswa sudah pulang, sebagian lagi masih berbetah-betah di sekolah.
"Ema, kamu akan datang ke pesta Ester, kan?" tanya Marlin saat keluar dari pintu perpustakaan, usai mengembalikan beberapa buku yang dipinjamnya.
"Entahlah," jawabku singkat. Sejak menerima kartu undangan dari Ester aku memang sudah ragu akan memenuhi undangan itu. Ada persyaratan dalam undangan itu yang nggak bisa kupenuhi. Undangan harus datang bersama pasangannya.
"Kamu nggak yakin karena nggak punya pasangan, kan? Kita ke lapangan basket dulu, yuk. Barangkali Doni bisa membantu," ajak Marlin.
Aku tak menolak. Di sisi lapangan basket Marlin memanggil Doni. Cowok itu datang dengan cepat sambil tersenyum. Keringat yang mengalir di lehernya mempertegas ketampanannya. Kupikir, alangkah cocoknya pasangan Doni dan Marlin. Yang satu cantik, satunya lagi seperti Arjuna.
"Kami punya kesulitan, barangkali kamu bisa membantu, Don. Tentang pesta Ester. Ema belum punya pasangan datang ke sana," tutur Marlin.
Doni menganggukkan kepalanya sebentar. Ia kemudian berteriak memanggil salah seorang temannya yang tengah bermain basket. Cowok yang tingginya sedikit di atas Doni datang menghampiri.
"Oki, kamu belum punya pasangan untuk ke pesta Ester, kan? Kebetulah sahabat Marlin juga belum punya pasangan. Oh, iya kenalkan namanya, Ema!"
Aku mengangguk kecil. Aku sudah tahu nama cowok itu karena cukup populer di telinga gadis-gadis. Ia juga anggota dream team basket sekolah seperti Doni. Kabar terakhir yang sampai telingaku, Oki baru putus dari gadisnya.
"Aku belum bisa memberi kepastian, Don. Bagaimana kalau kuberi jawabannya besok? Pesta itu masih seminggu lagi ini," sahut Oki sambil menyeka keringatnya.
"Tak masalah," timpalku.
Aku dan Marlin segera meninggalkan lapangan basket. Cukup panas juga udara siang ini. Herannya, Doni dan teman-temannya tetap tahan main basket. Barangkali karena itulah mereka jago memainkan bola basket itu.
"Aku nggak akan datang ke pesta Ester kalau kamu nggak datang, Ema," gumam Marlin menjelang pintu gerbang sekolah.
"Kamu nggak bisa begitu. Doni akan marah nanti."
"Oleh sebab itu kamu harus mau datang. Eh, itu Ester!" Marlin melambaikan tangannya ke seberang jalan. Ester berjalan menyeberang mendekati kami.
"Marlin, kamu harus membawa Doni ke pestaku nanti. Sekalian mengumumkan bahwa hubunganmu dan Doni serius. Habis sudah seminggu pacaran kamu jarang terlihat bareng dia di sekolah. Kamu juga harus datang. Aku penasaran ingin tahu siapa pasanganmu, Grandma," kata Ester kepadaku seraya mengibarkan sisa undangan di tangannya.
Aku cuma tersenyum. Di antara teman sekolahku, cuma Marlin dan barangkali Doni yang memanggil namaku dengan benar. Sisanya memanggilku dengan julukan kudapat sejak kelas satu, yakni Grandma alias Nenek!
"Kami akan datang, Ester. Tenang saja. Kamu sendiri akan berpasangan dengan siapa nanti? Alford, Lloyd, Peter...."
"Hermawan," Ester memotong kalimat Marlin. "Bukan anak sekolah kita. ia teman kuliah abangku di Swiss. Dia jauh lebih segala-galanya dari kunyuk-kunyuk yang kamu sebutkan tadi. Eh, sudah yah. Jemputanku sudah datang. Dah, Marlin, Grandma!"
Ester masuk ke dalam BMW yang menjemputnya itu meninggalkan kami.
"Kamu sudah berjanji pada Ester, itu berarti kita akan benar-benar datang," kataku kemudian.
"Memang. Pesta ulangtahunnya di Eldorado pasti akan ramai. Kamu sendiri kan pernah bilang belum pernah ke pesta ulangtahun teman-teman kita sebelumnya dan ingin sekali-kali melihatnya," Marlin mengungkit kalimatku dulu.
"Ya, tapi bukan pesta yang harus dengan pasangan. Kurasa kalau aku nggak datang pada pesta Ester, aku bisa melihat pesta ulangtahun teman kita lainnya."
"Sudahlah, kita tunggu saja kabar dari Oki besok," tepis Marlin sambil mencegat angkutan umum. Kami berpisah karena tujuan kami berlawanan arah. Padahal aku masih ingin mengucapkan sebuah kalimat; kamu baik sekali padaku, Marlin.
***
Ketika aku mendengar kabar bahwa Oki nggak bisa menjadi pasanganku di pesta ulangtahun Ester, aku nggak merasa sedih maupun kecewa. Aku sudah menduga sebelumnya. Mana mungkin salah seorang anggota dream team mau menjadi pasangan seorang gadis yang berkacamata dengan bingkai tebal, rambutku yang panjang cuma dikepang tanpa hiasan pita ataupun bando, dan sama sekali nggak populer di sekolah.
"Tenang, Ma. Aku sudah mempersiapkan pengganti Oki," hibur Marlin di saat istirahat. "Semalam aku sudah ngobrol dengan kakakku. Ia kebetulan tak punya acara malam Minggu nanti."
"Kakakmu bersedia? Itu kan karena ia belum mengenalku. Kalau ia tahu aku, pasti ia akan membatalkan kesediaannya itu."
"Kamu juga belum mengenalnya, kan? Jadi jangan sembarangan menudingnya sama seperti Oki. Kakakku baik. Sebagai mahasiswa, meski baru tingkat dua, ia sudah bisa berpikir dewasa, dapat menilai mana gadis yang pantas menjadi pasangannya ke suatu pesta," Marlin kelihatan agak sewot.
"Maaf, bukan maksudku menuduh kakakmu sejahat itu. Tapi yang jelas, aku dan kakakmu belum saling mengenal," kataku buru-buru.
"Bagaimana kalau pulang sekolah nanti kamu ke rumahku dulu? Hari Selasa kakakku nggak ada kuliah," usul Marlin.
Aku mengangguk setuju. Sebenarnya aku agak kuatir dengan rencana Marlin. Yang kukuatirkan, bisa saja kakaknya itu mau memenuhi permintaan Marlin lantaran setengah dipaksa. Kepergian kakak Marlin denganku nanti nggak tulus. Namun untuk menolak rencana Marlin aku nggak sanggup. Ia pasti sudah setengah mati berupaya mencari pasangan untukku.
Pulang sekolah aku langsung ke rumah Marlin. Ini kunjungan pertamaku ke rumahnya, sejak kami bersahabat empat bulan lalu saat kami duduk sebangku di kelas dua. Bisa jadi ini juga untuk pertama kalinya aku mengunjungi rumah teman sekolahku.
Sejak dulu aku memang menutup diri. Setiap ada acara kelas yang mengharuskan kumpul di rumah salah seorang temanku, aku tak pernah datang. Entahlah, aku tak merasa kehadiranku akan berarti apa-apa. Ada aku ataupun nggak semuanya akan berjalan lancar. Begitu pun dengan kegiatan di sekolah. Di kelas satu aku cuma ke sekolah untuk belajar, begitu bel pulang berbunyi aku langsung pulang ke rumah.
"Pasti cucumu di rumah banyak sekali yang harus kamu urus," begitu komentar teman-temanku di kelas satu. Dan satu persatu mereka mulai memanggilku Grandma. Mulanya aku agak risih, tapi lama kelamaan terbiasa juga.
Tapi sejak aku mengenal Marlin, sedikit demi sedikit aku mulai berubah. Dengan segala kebaikannya, Marlin mulai membuka diriku untuk mau sedikit peduli dengan sekelilingku. Ia beberapa kali mengajakku melihat pertandingan basket di sekolah, mengajakku ke kantin dan ngobrol dengan teman-temanku yang lain.
"Ini kakakku, Ema. Namanya Budi Sutanto. Aku memanggilnya Kak Budi tersayang," ucap Marlin setelah beberapa menit membiarkan aku duduk sendirian di ruang tamu. Bersamanya, seorang cowok mendekatiku dan menjabat tanganku.
"Nama saya Ema...." Aku agak gugup menyebut namaku sendiri. Sebelum tiba di rumah Marlin, aku sudah berpikir kalau Marlin sudah secantik bidadari, pasti kakaknya akan setampan pangeran. Tapi bayangan yang ada di benakku ternyata jauh sekali. Kakak Marlin lebih tampan dari seorang pangeran yang pernah kubayangkan. Itulah yang membuatku tiba-tiba saja ingin segera pulang dan menyesal mengenalnya.
"Nah, kalian ngobrol saja dulu. Buat janji bagaimana rencana untuk pergi nanti. Aku mau ganti pakaian dulu." Marlin meninggalkanku.
Aku jadi ingin tahu apa yang pantas diucapkan seekor itik buruk rupa bila bertemu dengan seorang pangeran.
"Marlin banyak cerita tentang kamu. Katanya kamu cerdas. Kamu sering mengajarinya pelajaran-pelajaran yang nggak ia mengerti," kata Budi membuka percakapan. Ia menatapku lekat-lekat, membuatku semakin tak berani melihat wajahnya.
"Marlin terlalu melebih-lebihkan. Justru Marlin yang baik pada saya, Kak Budi. Saya nggak tahu kalau Tuhan nggak memperkenalkan Marlin pada saya."
"Yang pasti kita nggak akan bisa kenalan dan pergi ke pesta ulangtahun teman kalian itu," sahut Budi. Menyesalkah ia?
"Soal pesta itu, saya tak keberatan kalau ternyata Kak Budi ingin membatalkannya," kataku kemudian.
"Aku sudah berjanji pada Marlin. Lagipula akan menyenangkan jika pergi ke sebuah pesta dengan gadis SMA secerdasmu. Atau kamu yang keberatan, Ema?"
Aku terdiam. Apa yang memberatkanku sekarang? Paling persiapan batin karena aku yakin nanti semua mata di pesta akan memandangku aneh. Lihat, Grandma ternyata punya seorang cucu yang jadi pangeran, komentar mereka. Dan aku tentu saja harus siap mendengar itu. Atau yang lebih menyakitkan sekalipun. Daripada aku harus membuat Marlin kecewa. Bukankah ia selalu serius dengan ucapannya, sedang ia sudah berjanji tak akan pergi ke pesta itu bila aku nggak pergi.
"Aku akan menjemputmu jam tujuh. Pesta itu mulai jam delapan, kan? Aku sudah memperhitungkan waktu perjalanan ditambah kemacetan jalan sekitar Eldorado nanti," kata Budi lagi.
Aku mengangguk. "Mudah-mudahan Kak Budi nggak repot karena saya," kataku kemudian.
Marlin muncul tak lama kemudian. Ia menanyai kakaknya soal rencana ke pesta itu. Aku memberitahu bahwa kami sudah membuat janji.
"Bagus. Kalau begitu beres, aku juga bisa membuat janji dengan Doni besok. Oh, iya bagaimana kalau pulang sekolah besok kita cari kado buat pesta ultah Ester?" ajak Marlin.
"Bisa aja," jawabku cepat. Dan aku juga mungkin akan membeli gaun yang pantas untuk pergi bersama Budi nanti. Belanja bersama Marlin mungkin akan membantuku untuk memilih mana gaun yang pantas untukku.
***
Rabu siang sepulang sekolah aku dan Marlin melaksanakan niat untuk belanja lebih dulu. Aku nggak nyangka kalau Budi akan menunggu kami di gerbang sekolah. Dengan mazda putihnya ia mengantar kami ke Bandung Indah Plaza. Sebenarnya itu keterlaluan. Jarak sekolahku ke Jalan Merdeka tak sampai dua kilometer.
"Biar saja Kak Budi mengantar kita. ia harus terbiasa bersamamu, Ema. Kamu akan merasa janggal tiba-tiba pergi ke suatu pesta dengan mahkluk asing, bukan?" gumam Marlin seperti membaca pikiranku.
Tapi Marlin tak membiarkan kakaknya terus menguntit kami. Menurunya, Budi tak boleh tahu gaun apa yang akan kupakai nanti. Kurasa benar juga apa yang dikatakan Marlin.
Ada tiga gaun yang kusukai. Marlin membantu menentukan mana gaun yang terbaik untukkku. Sebuah gaun berwarna biru pastel akhirnya kubeli. Sementara Marlin membeli gaun dengan warna yang lebih cerah.
Usai belanja Budi kembali bergabung bersama kami. Sambil menikmati ayam dan kentang Texas, kami ngobrol banyak sekali. Tepatnya, Budi dan Marlin berusaha membuatku banyak bercerita karena mulanya aku cuma jadi pendengar setia saja.
***
Dan hari ini, sepulang sekolah untuk pertama kalinya aku mengajak Marlin ke rumahku. Kubawa ia langsung ke kamarku.
"Astaga kamarmu besar sekali. Cuma seharusnya kamu punya ruang sendiri untuk buku-bukumu ini, Ema," komentar Marlin. Ia tersenyum ketika membaca beberapa buku psikologi populer tentang remaja gaul.
"Aku tertarik membelinya sejak bersahabat denganmu," kataku.
Sesuai janji, aku mencoba gaun yang kubeli kemarin. Gaun itu pas untukku, tapi rasanya ada yang janggal ketika aku bercermin.
"Rambutmu lepas dulu, Non. Kamu nggak bisa ke pesta dengan rambut dikepang begitu. Biarkan rambutmu terurai," saran Marlin.
"Bagaimana kalau disanggul kecil saja. Rambutku terlalu panjang bila digerai. Jangan-jangan nanti aku dikira kuntilanak."
"Bagaimana kalau dipotong? Jangan terlalu pendek, aku juga tak akan setuju. Kebetulan Sabtu siang aku juga punya rencana ke salon."
Aku berpikir sebentar. Kalau Nenek masih ada, pasti ia akan melarang. Tapi sejak kepergiannya ke surga dua bulan lalu tak ada lagi yang membantu mengurus rambutku ini. Nenek pasti tak akan marah kalau kupotong rambutku.
"Baiklah," kataku akhirnya.
"Percayalah, kau pasti akan kelihatan lebih cantik. Dan teman-teman pasti akan iri melihatmu, Ema."
Benarkah? Benarkah aku menjadi cantik? Ah, bagiku yang terpenting bisa menjadi pasangan yang tak terlalu mengecewakan Budi nanti.
Setelah melepas kembali gaunku, aku duduk berdua di atas tempat tidurku dengan Marlin. Mata Marlin menatap tajam ke arahku. Aku yakin ada sesuatu yang ingin diceritakannya.
"Aku ingin menceritakan sesuatu tentang kebaikanku selama ini. Mungkin kau sering menanyakan itu dalam hati," kata Marlin kemudian.
Aku mengangguk. Marlin tak lantas melanjutkan ceritanya. Ia malah mengeluarkan selembar foto dari tasnya. Wajah seorang cowok berkacamata dengan gagang hitam dan tebal, rambutnya tak berbentuk, dan... meski aneh tapi sekilas aku mengenalnya.
"Ini foto kakaku tiga tahun lalu, waktu ia masih SMA. Teman-teman sekelasnya memanggil kakakku dengan julukan Gepetto. Kamu tahu kan tukang kayu yang membuat Pinokio? Dan tak pernah ada gadis yang mau pergi dengannya pada suatu pesta kelas. Waktu itu aku masih kelas dua SMP. Kebetulan aku agak bongsor, jadi aku tak keberatan ketika kakakku minta aku mendampingi ke pesta yang harus didatanginya itu."
Marlin diam sejenak menghela napas. Matanya menerawang ke langit-langit.
"Tapi dasar kakakku terlalu tak acuh dengan penampilannya. Meski aku telah menyarankannya untuk rapi sedikit, ia menolak. Akibatnya di pesta itu kakakku diolok-olok habisan. 'Lihat, Gepetto berhasil mengajak seorang Peri' dan lain-lainnya. Dadaku sakit mendengar olok-olok itu. Aku menangis di rumah dan berjanji untuk mengubah penampilan kakakku." Mata Marlin basah oleh emosinya.
"Pada mulanya aku mengalami kesulitan. Namun sewaktu diam-diam kutahu ia mulai naksir salah seorang gadis, akhirnya ia mau juga mengubah dirinya. Kacamatanya diganti, rambutnya dipotong sesuai dengan wajahnya, kuganti majalah ilmiahnya dengan majalah-majalah populer. Waktu itu dunia seperti terbalik, aku jadi kakaknya dan ia jadi seorang adik yang penurut."
Dapat kubayangkan seperti apa kejadiannya. Tentu tak jauh seperti yang kualami.
"Tak lama kemudian telepon teman-teman ceweknya mulai berdatangan. Kak Budi sempat memacari gadis yang ia taksir itu, tapi putus lantaran ternyata gadis itu cuma menyukai ketampanan kakakku saja. Sampai sekarang ia belum pacaran lagi. Bagiku itu tak masalah, asalkan ia tak lantas kembali seperti Gepetto lagi. Astaga, kamu menangis, Ema!"
Aku menyeka airmata yang jatuh tanpa kurasakan. "Bagaimana aku tak terharu, Marlin. Di depanku kini ada seorang peri yang nggak cuma baik terhadap kakaknya, tapi juga sahabatnya. Bagaimana aku mesti membalasmu kelak?"
"Kalau tak keberatan, cukup dengan memberi respon pada kakakku. Sejak mengenalmu dulu, aku sudah menceritakan tentangmu pada Kak Budi. Ia tertarik untuk berkenalan denganmu. Tapi kupikir itu belum waktunya. Sampai kemarin-kemarin ini. Kamu tahu apa komentarnya setelah kita ngobrol di Texas. Katanya, kamu nggak cerewet, tapi sekali ngomong benar-benar bermutu. Kakakku memang suka tipe gadis cerdas sepertimu."
"Pasti ia banyak menemukan gadis seperti itu di kampusnya," timpalku berusaha untuk menahan perasaanku.
"Mungkin saja. Aduh, Ema, apa kamu selalu membiarkan tamumu mati kehausan?"
Aku tergelak mendengarnya.
***
Jangan tanya seperti apa perasaanku ketika mematut diri di depan cermin usai berdandan. Aku jadi tahu seperti apa takjubnya Cinderela ketika Peri Biru membantunya agar dapat pergi ke pesta istana.
Mama yang melihatku begitu aku keluar kamar terpana beberapa detik. Ia seperti nggak mengenalku pada mulanya.
"Ema! Benarkah ini anakku? Kamu benar-benar berubah, Ema," Mama merangkulku hati-hati. Takut membuat gaunku kusut.
Aku menunggu kedatangan Budi di ruang tamu ditemani Mama dengan cemas. Setengah jam lalu Marlin sudah memberi kepastian lewat telepon kakaknya akan menjemputku.
Kulalui penantianku dengan mengamati jarum jam dinding. Ketika waktu menunjukkan pukul tujuh lebih lima menit kecemasanku berubah bentuk. Batalkah Budi menjemputku? Aku mencoba untuk bersabar.
Kesabaranku benar-benar berubah ketika lima belas menit kemudian berlalu tanpa bunyi bel sekalipun. Mama yang melihat kegelisahanku lantas meremas jemariku.
"Bersabarlah, Ema. Barangkali ada sesuatu yang menghambat perjalanannya. Mama yakin akan ada seorang pangeran yang datang untukmu malam ini," hibur Mama sambil mengelus rambutku.
Ucapan Mama ternyata benar. Semenit kemudian bel rumah berbunyi. Aku terkejut ketika membuka pintu mendapatkan Budi dalam sosok yang lain.
Sisiran rambutnya berantakan, lengan bajunya kusut bekas digulung, dan mukanya berpeluh.
"Maaf aku terlambat, Ema. Ban mobilku meletus di tengah jalan. Terpaksa aku menggantinya lebih dulu. Dasar aku kurang ahli, tanganku sampai belepontan Cuma untuk mendongkrak dan mengganti ban saja," ucapnya membuatku tersenyum.
Aku memaklumi alasan itu. Kubawa ia ke dalam rumah untuk kukenalkan pada Mama. Budi sempat pula ke kamar mandi untuk merapikan kembali dirinya.
Dalam hatiku mulai kurasakan sesuatu yang tak biasa sejak mendengar kalimatnya tadi. Ia mau berkorban untukku seperti itu. Sikap yang benar-benar menyentuhku dan mampu mengubah kekagumanku yang mulanya kutujukan pada sosoknya, kini lebih tertuju pada pribadinya.
"Ema, aku bisa minta tolong padamu? Terus terang aku yang lagi kesulitan," ucap Budi sesaat setelah kami berada dalam mobilnya.
"Kak Budi sudah mau menolong saya, masak saya nggak mau sih? Tentu saja kalau saya mampu. Boleh saya tahu, apa yang bisa saya bantu?"
"Ada teman kuliahku yang akan tunangan minggu depan. Dia mengundang semua temannya, cuma dengan satu syarat. Undangan harus datang dengan pacarnya, bukan sekadar pasangan bohongan. Bisa saja aku mengajak Marlin, tapi temanku itu sudah tahu Marlin adikku. Kamu keberatan kalau kujemput malam Minggu depan sekali lagi? Tentu saja aku nggak akan mengulangi ketololanku malam ini, datang terlambat."
"Baiklah, saya tak keberatan. Bila ternyata Kak Budi menemukan pasangan untuk ke pesta itu selain saya, saya tak juga keberatan bila kemudian kak Budi membatalkannya," jawabku segera. Aku tak ingin terlalu banyak berharap. Tuhan sudah mengutus seseorang untuk menjemputku ke pesta malam ini saja aku sudah bersyukur.
"Aku nggak akan mengubah ajakanku ini. Kamu mau tahu sebabnya. Lantaran malam ini kamu kelihatan cantik sekali!" puji Budi sambil menatapku sekilas.
Aku tak kuasa menahan perasaanku. Pujiannya sanggup membuatku melayang. Heran, padahal saat Mama mengatakan kalimat serupa tadi, perasaanku tak terombang-ambing begini? Apa artinya ini ya? ©

0

TIGA ISTRI SATU KOTA

Di bawah pohon kemboja, dengan sebatang rokok, di depannya, kuburan-kuburan yang bukan familinya, Jumari duduk bersandar di atas selembar koran. Biasanya yang menyapa cuma Pak Kimung, penjaga kuburannya itu dengan sapaan yang tak pernah berubah.
"Lagi cari solusi, Pak Jumari?" Demikian sapanya yang klise.
Apakah sedang merapikan rumput-rumput kuburan atau sedang lewat dengan sepeda pancalnya, Pak Kimung pasti akan menyapa dengan sapaan yang khas seperti itu.
Lelaki berumur lima puluh tahunan ini, selalu datang ke TPU itu sekadar mencari solusi bagi ketiga rumah tangganya. Ruwet atau tidak ruwet, jika akalnya sudah keteteran untuk membagi keadilan kepada istri-istrinya dan juga kepada anak-anaknya, Jumari akan melarikan dirinya ke situ, merokok, memandangi awan gemawan sore hari, membalas sapaan Pak Kimung, dan tentunya mencari solusi-solusi baru bagi rumah tangganya. Dia sebisa mungkin adil. Walau tidak seratus persen, dia harus bisa membagi waktu dan perhatian-perhatian lainnya kepada ketiga istri dan empat anak-anaknya. Tetapi selama ini Jumari telah melakukannya dengan baik kepada ketiga istri-istrinya itu.
Dari istri pertama, Jumari dikaruniai dua anak, sedang dari istri kedua dan ketiga masing-masing satu anak. Tempat tinggal istri-istrinya berada di tiga wilayah Ibukota; Selatan, Timur dan Utara. Biar tidak jujur, yang penting adil. Semua meminta, semua harus dapat. Pun kepada keempat anaknya, jika yang satu minta tas baru, yang lainnya pasti dibelikan sepatu atau mainan. Uang yang diberikannya pun seratus persen dari gaji. Tanpa embel-embel korupsi atau memanipulasi hasil tugas yang selama ini dia kerjakan. Gaji yang nyaris mencapai tiga jeti, kerja sebagai kepala bagian departemen pemasaran pada perusahaan yang bergerak di bidang interior bangunan.
Kendaraan yang dimiliki Jumari cuma sepeda motor. Namun dia bangga. Dengan motornya itu, dia bisa cepat menjambangi istri-istrinya dan juga anak-anaknya jika di antara mereka ada masalah. Jumari juga rajin ke masjid. Dia tidak pernah meninggalkan lima waktu. Namun itu tadi, kebiasaan Jumari jika pikirannya lagi buntu, dia akan mendatangi TPU dan menghabiskan waktu sorenya di sana. Merokok, memandangi awan gemawan sore hari. Soal merokok, dia berpendapat, merokok di kompleks pekuburan tidak melanggar undang-undang yang belum lama ini diterapkan oleh Pemerintah DKI. Karena merokok di pekuburan tak menggangu ketertiban umum. Orang-orang yang sudah mati tidak akan merasa terganggu kenyamanannya. Itu pendapat Jumari.
***
"Lagi cari solusi, Pak Jumari?" sapa Pak Kimung lagi. Yang disapa cuma mengangguk, tersenyum lalu melambaikan tangan. Jumari terbayang kejadian beberapa hari belakangan tentang keempat anaknya dari ketiga istrinya.
"Pak, Rio minta ganti tas sekolahnya tuh. Katanya sih kancingnya dol," kata Kim, istri kedua Jumari.
"Ya. Tapi belum bisa besok, mungkin lusa," jawab Jumari sambil melipat koran yang dibacanya.
Kim menghampiri Jumari lalu mencium kepala suaminya itu. Jumari merasakan kasih sayang istri keduanya itu begitu tulus.
Esoknya di rumah istri pertama, hati Jumari agak dikejutkan oleh sapaan Ren si Istri pertamanya, "Mas, Sea badannya panas. Sekolah saja tadi pulang setengah hari."
Jumari bergegas ke kamar Sea, anak pertama dari istri pertamanya. Jumari mendapatkan Sea tengah terbaring di pembaringan terbalut selimut. Jumari memegang kening anaknya yang sedang menanjak remaja itu.
"Cepat Jeng, gantikan bajunya. Aku mau bawa Sea ke dokter!"
Sea dibangunkan oleh sang Ibu, disodorkan baju yang bersih untuk salin. Sea, meski agak pusing kepalanya, tetap menuruti perintah kedua orangtuanya. Lalu Jumari membawanya pergi ke dokter malam itu juga. Setelah diperiksa oleh dokter jaga duapuluh empat jam, ternyata Sea cuma demam biasa.
"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan," kata dokter itu.
Jumari kembali tenang. Semoga Mia, Dea, anak-anakku lainnya dalam keadaan sehat! renung Jumari dalam kepulan asap rokok yang kesekian.
"Lagi cari solusi, Pak Jumari!" sapaan Pak Kimung sambil lalu di atas sepeda pancalnya itulah yang membuat Jumari terjaga dari lamunannya di kompleks pemakaman itu.
***
Dalam lamunannya yang lain, Jumari sedikit heran, Tuhan kok begitu baik kepadanya. Dia dikasih kepercayaan untuk menjadi seorang suami bagi ketiga perempuan yang berbeda usia itu. Ketiga istrinya pun akur-akur saja walau hanya setahun sekali berkumpul di saat hari Lebaran saja. Mereka berkumpul di rumah Ren, istri tertua Jumari. Dea, anak dari istri termudanya, Mona, sering menginap di rumah istri tertuanya. Dea yang baru berumur tiga tahun, sangat disukai oleh Sea dan Mia, anak dari Ren, istri tertuanya. Dea yang imut, di mata mereka sangat lucu karena tidak cengeng dan paling cantik di antara anak-anak perempuan Jumari yang lainnya. Yang aneh adalah Rio, anak dari istri keduanya. Rio kalau sudah kumpul dengan saudara-saudaranya dari lain ibu, lebih banyak diam, tidak agresif. Tidak seperti Dea yang mau membaur dengan siapa saja. Tetapi pada umumnya mereka saling sayang menyayangi.
Di kantor Jumari, ada yang tahu kalau dirinya punya istri tiga namun akur semua. Namanya Pak Rudi.
Dia sering nyeletuk, "Kasih tahu dong resepnya. Kok bisa sampai akur begitu?"
Jumari hanya tersenyum. Lalu jawaban yang keluar dari mulutnya cukup sekata, "Ibadah."
Senja mulai merangkak. Rokok terakhir sudah dia matikan. Jumari bangkit terus berjalan mendekati motornya yang diparkir di dekat pos penjagaan.
'Sedang apa kamu Dea, sayang?' batin Jumari menyapa. 'Papa akan bawakan kamu donat. Tunggu Papa ya,' bisik hatinya lagi.
Di perjalanan, Jumari menghentikan motornya tepat di depan toko kue. Lalu masuk dan memesan donat kesukaan Dea. Dan, Dea sudah tahu saja suara motor yang berhenti di depan rumahnya adalah motor ayahnya yang hari itu adalah waktu pulang ke rumah Mona, istri ketiganya, istri yang termuda dari istri pertama dan keduanya. Mona dan Dea yang sedang menonton film kartun di televisi, bergegas membuka pintu rumahnya. Sebuah etika keluarga, Dea mencium tangan ayahnya, disusul Mona yang mencium tangan suaminya.
"Papa sehat?" sapa Mona sambil mengiringi Jumari masuk ke dalam rumah.
Jumari mengangguk lalu mengangkat Dea ke atas pangkuannya. "Papa bawa donat kesukaanmu, Sayang. Tuh di dalam tas!"
Mona, atas izin Jumari mengeluarkan bungkusan dari dalam tas suaminya, lantas diberikan kepada anaknya. Dea senang sekali, lalu turun dari pangkuan ayahnya. Dia membongkar bungkusan donat di atas meja. Jumari meneguk air yang disediakan Mona. Kemudian sang istri berjongkok membuka tali sepatu suaminya.
***
Suatu hari, kepanikan terjadi pada tiga keluarga satu ayah itu. Dea hilang diculik. Mona, ibu Dea, menelepon ke Ren, istri pertama suaminya untuk memberitahukan kalau Dea tidak ada di rumahnya.
"Mungkin di rumah, Mbak?" tanya Mona.
Ren terkejut. "Tidak ada, Dik! Coba telepon ke rumah Kim, siapa tahu Dea dibawa ayahnya ke sana," usul Ren.
"Baik Mbak, terima kasih," balas Mona di telepon.
Tanpa menunggu lama akhirnya Mona langsung telepon ke rumah Kim untuk menanyakan hal yang sama tentang keberadaan Dea. Tetapi Dea tidak ada di rumah Kim. Rio, anak Kim yang baru duduk di kelas dua sekolah dasar turut sedih mendengar Dea hilang. "Kita cari yuk, Ma," ajak Rio.
"Kemana mencarinya, Rio? Di rumah saudara-saudaramu tak ada," tanggap ibunya.
Akhirnya Mona menyampaikan ihwal hilangnya Dea kepada suaminya. Jumari terkejut bukan main, kemudian dia langsung lapor ke kantor polisi tentang hilangnya Dea dengan ciri-ciri lengkap.
Sebuah kemujuran, tiga hari kemudian, Kim melihat Dea sedang dituntun oleh seorang perempuan setengah baya di perempatan jalan. Mereka baru saja turun dari angkot. Kim langsung berlari menghampiri salah seorang polisi yang kebetulan sedang bertugas di persimpangan jalan yang cukup ramai itu, untuk memberitahukan kalau anak yang sedang dibawa oleh perempuan yang baru turun dari angkot itu adalah anaknya yang hilang, tiga hari lalu. Sang polisi sertamerta mengejar perempuan yang dilaporkan Kim untuk ditangkap. Perempuan itu terkejut dan meronta saat tangannya dipegang polisi.
"Maaf, Ibu dilaporkan telah membawa kabur anak orang. Ibu anak ini sedang mencarinya, itu Ibunya!" kata polisi menunjuk pada Kim yang berlari mendekat.
"Dia bukan ibu anak ini. Saya tahu, Pak. Anak ini anak saya!" bantah si Penculik. Dea melihat Kim, lalu tersenyum karena mengenalnya.
"Apakah benar ini anak Ibu?" Polisi yang mulai bingung itu balik tanya kepada Kim.
"Dea ini anak saya, Pak Polisi. Kalau begitu tahan dulu perempuan itu, saya telepon ayah anak ini, biar jelas," kata Kim langsung menghubungkan Jumari lewat ponselnya. Terjadi percakapan singkat. Lalu Kim menutup ponselnya. "Sebentar, suami saya akan datang, Pak," kata Kim menjelaskan sambil memasukkan ponsel ke dalam tas cangkingnya
Sambil tetap menahan perempuan setengah baya itu, polisi menyempatkan bertanya pada Dea yang kini ada di tangan Kim.
"Nama kamu Dea, kan?"
Dea mengangguk.
"Benar, Ibu ini, Mama Dea?" tanya polisi lagi kepada Dea.
"Ibu ini Mamanya Rio, Mama Dea juga," jawab Dea polos.
Polisi nyaris tertawa. Saat bersamaan Jumari datang dengan menyewa taksi. Perempuan setengah baya itu terkejut melihat Jumari muncul sesaat sebelum ia berkilah mengurai dusta. Mereka ternyata sudah saling kenal. Jumari langsung membopong Dea.
"Mbok Tun, kok ada di sini?" tanya Jumari terheran-heran.
Yang ditanya tidak menyahut.
"Dia yang menculik Dea, Mas!" sahut Kim spontan.
Orang-orang mulai berkerumun sekadar ingin melihat.
"Pak Polisi, perempuan ini dulu pernah jadi tetangga saya. Berarti sudah tiga kali dia menculik anak tetangganya sendiri, termasuk anak saya sekarang ini, Pak. Tangkap dia, Pak. Pasti anak saya mau dijual!"
Akhirnya setelah polisi mendapat kejelasan, perempuan setengah baya itu dibawa ke kantor polisi. Sedang Jumari hari itu juga membawa pulang Dea ke rumah istri ketiganya dan memberitahukan kalau Kim, madu keduanya yang menemukan Dea. Mona langsung menelepon Kim melalui ponselnya.
"Kak, terima kasih, ya. Tidak tahu bagaimana jadinya kalau seandainya tidak ada Kakak di situ," kata Mona terharu.
"Sama-sama, Mona. Anakmu adalah anakku juga," balas Kim dari seberang.
Cukup singkat percakapan kedua perempuan yang bersuamikan satu lelaki itu. Singkat namun cukup mengandung pengertian dan tali persaudaraan.
Sore itu, sepulang dari kerja, Jumari kembali mendatangi TPU dan menghabiskan waktu sorenya di sana. Duduk di bawah pohon kemboja. Merokok, memandangi awan gemawan, berpikir, dan merenung tentang kehidupan dalam rumah tangganya. Meneropong ke masa depan, melihat kejadian-kejadian yang baru lalu. Sampai Pak Kimung kembali lewat dengan sepeda pancalnya, dan masih sama seperti pada sore-sore sebelumnya, penjaga kuburan itu menyapa dengan sapaan khasnya.
"Lagi mencari solusi, Pak Jumari?" ©

0

SEPASANG LULUGU BIRU

"Heh! Gue punya kejutan buat elo."
Rara mendongakkan kepala dari komik Asterix-nya. Dilihatnya Ludi masuk dengan senyum khasnya. Membuat Rara urung melemparkan beker di atas meja karena kekurangajaran cowok itu seenak hati masuk ke kamar. Sudah berulang kali sebenarnya Rara mengingatkan bahwa Ludi bukan lagi anak kecil dan mestinya mengerti yang namanya privacy.
"Simpan dulu komik ini. Nggak bakal lari!" paksa Ludi. Tangannya menarik komik yang dipegang Rara.
Rara menguntit Ludi. Semoga kali ini kejutannya bukan yang aneh-aneh. Tahun lalu Ludi memberi kado ulangtahun yang membuat mukanya merah. Setengah lusin buku pengetahun tentang seks! Mana Rara membukanya di depan puluhan pasang mata lagi.
Ludi terus berjalan ke luar rumah. Ia baru berhenti di depan VW kodok biru tosca, kado ulangtahun ke tujuhbelas Rara dari Papa dan Mama sebulan lalu. Ludi membuka pintu mobil.
"Nah, perhatiin deh di dalam. Ada yang berubah, kan?" tunjuk Ludi sambil tetap tersenyum. Ia yakin kali ini Rara akan terkejut bercampur senang karenanya.
Rara memperhatikan satu per satu ruang dalam mobilnya. Jok kursi, koleksi kaset, dan tumpukan komik sudah ada dari kemarin. Tapi... mata Rara membelalak sewaktu melihat rangkaian bunga imitasi yang menggantung di kaca spion dalam mobil. Dadanya serasa sesak.
"Ludi! Elo buang kemana Lulugu Biru gue? Trus, siapa suruh elo masang bunga jelek itu di dalam mobil?" teriakan Rara menyengat kuping Ludi. Untung nggak ada benda yang bisa dilempar ke arah Ludi.
Ludi buru-buru masuk ke mobil mengambil bunga plastik yang ia gantung. Sementara didengarnya Rara terus memakinya habis-habisan.
"Elo emang nggak tau diri banget! Nggak tau malu! Pokoknya jangan temui gue sebelum mengembalikan Lulugu Biru itu!"
"Lulugu Biru?" tanya Ludi. Ia bingung karena omelan Rara bercampur dengan mata yang basah.
"Boneka biru yang elo culik itu, Bego!" Rara cepat membalikkan badannya dan menghamburkan diri ke dalam kamar.
Boneka yang berjajar rapi di dekat tempat tidur tak mampu menghibur kesedihan Rara. Buat Rara, lebih baik ia kehilangan semua boneka mahal di kamarnya ketimbang Lulugu Biru. Boneka itu memang tampak tak berharga. Cuma sekecil telunjuk tangan Rara, dibuat dari kain satin berwarna biru. Tapi kenangan manis yang menyertai Lulugu Biru tak akan pernah dilupakan Rara. Tak pernah!
Rara masih ingat saat sembilan tahun lalu ia selalu merengek agar Bunda Ris mendongeng kisah Lulugu Biru setiap malam. Ia juga tak bisa melupakan saat penghuni panti asuhan lainnya memandangnya iri karena Bunda Ris menghadiahinya sepasang boneka Lulugu Biru.
"Sengaja Bunda memberikan sepasang boneka ini hanya padamu. Karena cuma kamu yang suka kisah Lulugu Biru," kata Bunda Ris saat memberikan sepasang Lulugu Biru. "Jaga baik-baik keduanya."
Rara pun masih ingat saat ia menangis seharian—dua hari sebelum kepindahan Rara ke rumah Mama dan Papa yang mengangkatnya—karena satu dari sepasang bonekanya hilang. Itu sebabnya ia bertekad menjaga sisa satu boneka yang ia miliki.
"Rara, kamu nangis?" suara Mama yang menyembul di pintu kamar mengejutkan Rara.
Rara menyeka matanya. Ia pernah janji dalam hati nggak akan pernah nangis di depan Mama lantaran akan membuatnya sedih.
"Mama dengar kamu marah-marah tadi," ujar Mama seraya mendekati Rara. Dibelainya lembut tangan Rara.
"Ludi cari gara-gara lagi, Ma. Lulugu Biru yang Rara gantung di mobil diilangin dia," tutur Rara. Ia menyesal memindahkan boneka itu dari kamarnya.
Mulanya lantaran beberapa hari ini ia sering bepergian dengan mobilnya, maka Rara merasa perlu memindahkan Lulugu Biru, agar senantiasa berada di dekatnya.
"Tapi nggak usah sampai maki-maki Ludi gitu, Ra. Jangan sampai kesalahannya nggak kamu maafin."
"Ini kesalahan besar, Ma. Cuma Lulugu Biru yang bisa menentramkan Rara bila teringat panti, Bunda Ris, dan...." Rara memutus kalimatnya begitu melihat mata Mama. Mama memang tak pernah mau mendengar Rara mengenang panti itu.
"Ludi terlalu baik untuk kamu musuhi walau dengan kesalahan sebesar apapun, Ra. Ingat siapa yang jadi teman perjalananmu pulang pergi ke sekolah sejak SD sampai sekarang? Siapa yang membelamu kalau teman-teman mengejek kamu anak angkat, Ra? Siapa...."
Rara membiarkan Mama menghitung-hitung kebaikan Ludi. Sementara pikirannya tertuju pada Lulugu Biru yang hilang.
***
Ludi termangu menatap boneka koyak di tangannya. Ia bingung lantaran Rara nggak pernah cerita bahwa boneka itu amat berarti. Padahal selama ini hampir nggak pernah ada rahasia antara mereka.
Aku harus segera mengembalikan boneka ini biar muka Rara nggak cemberut lagi, batin Ludi. Yang sudah-sudah, Rara sering menghukumnya bila ia marah. Dan itu sangat tak diinginkan Ludi.
Ia mengingat-ingat kepada siapa bisa minta tolong membetulkan Lulugu Biru yang koyak. Rasanya mustahil memperbaikinya tanpa menggantinya dengan yang baru. Untung Ludi ingat saudara sepupunya yang kuliah di fakultas seni rupa. Sore itu juga ia bergegas menuju studio tempat Wibi sering berkumpul.
Ludi senang sewaktu tiba di studio langsung bertemu Wibi. Tanpa basa-basi ia langsung mengajukan permohonan. "Tolong deh, Bang Wibi, boneka ini kalo bisa dibetulkan secepatnya. Abis bingung minta tolong ke siapa lagi, nih," kata Ludi dengan muka memelas. Kalau nggak gitu, ia nggak yakin Wibi mau menolong.
"Aduh, Di, kalo materi kain gini gue nggak bisa. Kecuali boneka ini dibuat dari gips, kayu, atau keramik," timpal Wibi setelah mengamati boneka yang disodorkan Ludi. Tapi Wibi tak tega membiarkan sepupunya itu tampak cemas. Ia berjalan mendekati temannya yang tekun mendesain mainan anak. "Res, elo bisa membetulkan boneka ini nggak?"
Resnu yang terusik mulanya nggak ingin menghiraukan, namun mendadak merubah raut mukanya saat melihat boneka di tangan Wibi. Tangannya langsung meraih boneka itu.
"Boneka siapa ini?" tanya Resnu cepat. Keningnya berkerut.
"Aku nggak tahu. Sepupuku yang bawa. Barangkali punya adik pacarnya. Kenapa memangnya?" Wibi bingung melihat reaksi Resnu.
Resnu mendekati Ludi. Ia memperhatikan dengan seksama cowok yang duduk dengan pandangan penuh harap kepadanya. "Elo tau nama boneka ini?" tanya Resnu seperti orang yang sedang menguji.
"Ya. Lulugu Biru," Ludi menyebut nama yang diingatnya.
"Gue sih bisa aja betulin boneka ini asal elo mau janji."
"Janji apa?" Ludi belum mau memberi kepastian.
"Ngenalin gue ama pemilik boneka ini." Di benak Resnu langsung terlintas bayangan seorang anak kecil dengan mata bundar dan suara tangis yang menggemaskan. Seperti apakah dia kini? Cantikkah?
Ludi mengerutkan keningnya. Ia yakin Resnu sudah mengenal Rara dari cara Resnu memandang Lulugu Biru. Tapi apa hubungan mereka? Ludi yang mengenal semua teman Rara jadi bingung.
"Gimana?" Resnu menyentak Ludi.
Ludi mengangguk tanpa ragu-ragu. "Kapan kira-kira selesainya?"
"Besok sore gue ke rumah elo. Gue jamin bonekanya udah jadi," jawab Resnu sambil senyum.
Senyum Ludi jauh lebih mengembang.
***
Resnu nggak pernah bisa ngelupain Tara. Si Mata Bundar yang sering minta perlindungannya. Resnu berdoa setiap malam agar mereka nggak dipisahkan. Tapi memang ada doa yang dikabulkan dan nggak. Ia amat kecewa begitu tahu Tara akan diangkat oleh sepasang suami istri kaya.
"Kamu jangan sedih, masih banyak Tara lain yang bisa kamu jadikan adik," hibur Bunda Ris setelah kepergian Tara.
"Apakah Resnu bisa mendapatkan alamat Tara, Bunda?" tanya Resnu. Ia ingin sekali bisa menemui Tara suatu saat nanti.
"Itu melanggar aturan, Resnu. Orangtua angkat Tara nggak menghendaki hal itu. Dan mungkin, Tara pun sudah ganti nama. Berdoalah agar suatu hari Tuhan mempertemukan kalian."
Ah, kalo begitu biarkan Tara yang kelak mendatanginya. Resnu nggak akan pindah ke rumah siapa pun karena ia sudah terlalu besar untuk diadopsi. Ia memang nggak tahu kalau Tara kemudian menjelma menjadi Rara, lalu pindah dari kota kecil itu ke Bandung.
Namun pertemuan yang sudah diatur Tuhan memang tak ada yang menduga. Setelah sekian lama menunggu, begitu lulus SMA ia memutuskan kuliah di Bandung dengan biaya sendiri. Resnu mencoba mencari Tara di sela perjalanan hidupnya. Siapa sangka ada Ludi, penghubungnya.
Buru-buru Resnu meninggalkan kamar kostnya begitu melihat matahari sore. Kedatangannya ternyata amat diharapkan Ludi.
Seharian ini Ludi sudah uring-uringan diperlakukan Rara. Dimulai pagi tadi saat Rara berangkat ke sekolah duluan tanpa menunggunya. Dan di kelas ia duduk ke ujung belakang menjauhi Ludi. Pulangnya, Ludi kehilangan jejak Rara. Benar-benar komplit hukuman Rara untuknya.
Maka nggak ada yang menggembirakan Ludi saat ini selain melihat Lulugu Biru dalam keadaan seperti semula.
"Gue udah nepatin janji. Giliran elo yang nepatin janji sekarang," ungkit Resnu setelah membiarkan Ludi girang sesaat.
Ludi diam. Ia sendiri masih bingung apakah Rara akan menerima dirinya atau nggak. Yang penting memang harus dicoba dulu. Bergegas ia mengajak Resnu ke rumah sebelah. Dari pintu pagar ia melihat Rara sedang bersiap-siap membersihkan VW-nya.
"Rara!"
"Heh, ngapain elo ke sini? Bawa-bawa orang segala! Udah elo temukan belum Lulugu Biru?" hardik Rara sambil bertolak pinggang. Tangannya menghempas selang yang dipegang.
"Nih, boneka elo," Ludi menyerahkan Lulugu Biru kepada Rara yang tetap memasang wajah angker. "Gue udah dimaafin, kan?"
"Enaknya! Nggak segampang itu!" Rara berteriak. Ia membalikkan badannya dan siap masuk ke rumah.Tapi telinganya menangkap suara Resnu.
"Tara... Tara..." Resnu yang terdiam beberapa saat terpana melihat sosok remaja Rara, akhirnya bersuara didorong kerinduannya.
Rara menoleh. Nama itu memang sudah lama tak didengarnya, tapi kenangan di panti tak pernah dilupakannya. Juga nama itu. Nama masa kecilnya di panti. Ia mengamati cowok yang datang bersama Ludi. Siluet masa lalu mengungkit kenangan pemilik dagu dengan gurat luka yang pernah Rara gores dulu.
"Kak... Resnu?" Rara ragu-ragu sejenak. Tapi begitu hatinya yakin ia langsung menggamit tangan Resnu tanpa sungkan. Rara bahagia banget menemukan sepenggal perjalanan hidupnya yang hilang. "Masuk yuk, Kak Res. Iiih, gimana ceritanya Kak Resnu bisa tahu Rara di sini?"
"Ludi yang nggak sengaja mempertemukan kita. Lho, kamu nggak ngajak Ludi masuk?" Resnu bingung karena Rara tak mengacuhkan Ludi. Spontanitas Rara bergayut manja di lengannya pun membuat rikuh.
"Ah, dia sih udah biasa nyelonong. Kalo mau masuk, ya masuk aja!"
Ludi mengikuti suara hatinya masuk ke rumah tanpa berpikir lagi. Ia ingin tahu reaksi Rara berikutnya.
"Kak Ludi mau minum apa? Masih suka susu cokelat?" tanya Rara sesaat sebelum berteriak memanggil Bi Uti.
"Kamu masih ingat minuman kesukaanku. Padahal kamu masih terlalu kecil waktu itu," ujar Resnu kagum.
"Ih, gimana bisa lupa dengan Kak Resnu? Yang suka ngebelain Rara kalo diganggu Idon, suka metikin mangga, suka..."
"Suka bikin kamu nangis sampai menjerit-jerit," timpal Resnu. "Lantas aku ikut nangis karena dijewer Bunda Ris."
Keduanya tertawa dan tertawa. Sesekali mereka menyeruput susu cokelat buatan Bik Uti. Obrolan tak juga beranjak dari kenangan masa kecil mereka. Lambat laun Ludi menyadari ia berada pada tempat yang salah.
"Ra, gue pamit duluan. Ada yang mesti gue kerjakan di rumah," pamit Ludi beringsut pulang.
Tak ada komentar apa-apa dari Rara. Cuma ucapan terima kasih Resnu atas kebaikan Ludi mempertemukannya dengan Rara.
Dari kamarnya di balkon rumah, Ludi melihat Resnu pulang agak larut malam diantar Rara. Ludi yakin dengan kegembiraan di hati Rara kini, cewek itu akan manis kembali kepadanya besok pagi.
***
Apa yang diharapkan Ludi semalam ternyata nggak dikabulkan sepenuhnya. Memang Rara sudah mau diajak berangkat bareng ke sekolah Rara. Tempat duduk Rara pun kembali ke asal, di depan meja Ludi. Cuma Rara masih irit mengeluarkan kalimat dari mulutnya.
Ludi nggak berani mengusikya, takut Rara sewot lagi. Yang penting ia bisa kembali dekat dengan Rara. Maka begitu bel pulang sekolah berbunyi, Ludi langsung mendekati Rara agar nggak kehilangan jejaknya lagi. Entahlah... ia kini sering merasa tersiksa bila berjauhan dengan Rara.
"Jadi nanti sore kita ke pameran buku?" tanya Ludi mengingatkan Rara pada janji empat hari lalu.
"Kayaknya sih nggak, deh," Rara tak yakin. Langkahnya semakin cepat memburu pintu gerbang. Bahkan Rara harus menubruk beberapa orang.
Ludi terkejut sewaktu melihat Rara menyeberang jalan, menghampiri seorang lelaki dengan motor gedenya. Resnu! Rupanya Rara sudah janjian akan dijemput. Ludi menelan ludahnya. Ia cuma mengangguk ketika Resnu melambaikan tangan ke arahnya. Sekejap kemudian mereka sudah hilang.
Ludi terpaksa pulang sendirian. Pantas tadi pagi Rara nggak mau membawa VW-nya. Malah ngotot ingin naik angkot.
Di rumah Ludi masih berharap Rara ingat janjinya ke pameran buku bersama. Tapi hampir larut malam dari kamarnya Ludi melihat Rara baru pulang diantar Resnu. Ludi baru tahu ke mana mereka pergi ketika bertanya esok paginya.
"Ke Sumedang. Elo tau kan dulu gue diangkat dari kota kecil itu," tukas Rara ketus.
"Tapi elo kan bisa pulang dulu."
"Elo jangan sok ngatur. Gue udah minta ijin Mama sebelumnya. Elo pikir gue nggak tahu aturan!" Rara memang bisa meyakinkan Mama bahwa kenangan masa kecilnya nggak perlu ditutupi lagi.
Ludi terdiam. Ia nggak mau bertengkar lagi. Apalagi mereka lagi di angkot. Seperti yang diduga Ludi, pulang sekolah ternyata Rara dijemput Resnu. Itu terulang terus esok, esok, dan esoknya lagi. Nyaris nggak ada waktu Rara tersisa untuk Ludi. Ia jadi menyesal dengan tindakan konyolnya menukar Lulugu Biru.
Padahal sewaktu Rara menginjak usia tujuhbelas Ludi sudah berniat menjalin lebih manis lagi hubungan mereka. Tak ada gadis lain yang memikat hatinya selain Rara.
Apakah Rara dan Resnu saling jatuh cinta? Itu nggak mustahil. Apalagi mengingat kebersamaan mereka yang berlebihan . Bukankah hasrat yang timbul di hati gue juga karena kebersamaan? Kalo memang demikian, gue harus melupakan hasrat di hati gue. Asalkan Rara bisa bahagia karenanya, Ludi membatin.
Cuma sewaktu ia ngobrol dengan Wibi, kegentaran hatinya kembali terusik.
"Resnu pacaran dengan Rara? Ah, gue rasa cuma temporal. Yang udah-udah Resnu nggak pernah serius dengan cewek lebih dari sebulan," tutur Wibi datar.
Cerita itu membuat Ludi gelisah melebihi sebelumnya. Gimana kalo Resnu benar-benar ninggalin Rara? Gimana kalo hati Rara terluka? Ludi nggak bisa menerima hal itu. Tapi usaha apa yang bisa dilakukan untuk mencegahnya? Rara pasti akan bilang Ludi kekanak-kanakan, bila menceritakan reputasi Resnu yang ia ketahui dari Wibi. Lagi pula agak sulit membuka percakapan dengan Rara pada posisi yang tak menguntungkan kini.
Sore sedang hujan sewaktu Ludi menemukan satu cara yang ia yakini keberhasilannya. Ia harus menemui Resnu.
***
Resnu pernah melakukan kesalahan terhadap Rara di masa kecilnya. Karenanya ia amat berharap bisa berjumpa dengan Rara. Tapi begitu pertemuan digariskan Tuhan, Resnu masih perlu waktu untuk mengakui dosanya.
Kini, di sebuah cafe yang berdiri di jalan Dago, Resnu merasa kesempatan itu telah tiba.
"Maafkan aku sebelumnya, Ra. Aku ingin mengakui kesalahan kecilku dulu. Aku... akulah yang mencuri salah satu boneka Lulugu biru milikmu. Waktu itu lagi bingung banget karena merasa sedih bakal kehilangan kamu. Karena aku nggak tahu kenangan apa yang akan kuperoleh, maka kucuri diam-diam bonekamu," tutur Resnu hati-hati.
Rara terpana. Matanya menembus kaca jendela cafe. Di luar hujan turun. Ia ingat hujan pun turun sewaktu ia menangis saat salah satu Lulugu Biru. Rara tak pernah menyangka bahwa bonekanya itu telah dicuri oleh orang yang telah dianggapnya sebagai kakak. Ludi yang konyol itu juga mengambil Lulugu Biru, tapi Ludi tak pernah tahu makna boneka itu bagi Rara. Sementara Resnu tahu betapa berartinya boneka itu buat Rara.
"Kamu nggak mau maafin aku, Ra?"
Selalu perlu waktu bagi Rara untuk memberi maaf kepada orang lain. Sekalipun itu kepada orang yang amat dekat dengannya. Rara merasa hidungnya tersumbat tiba-tiba. Ia langsung pergi ke toilet. Namun ketika kembali ke tempat duduknya, ia tak menemukan Resnu. Ada secarik kertas di dekat cangkir kopi susu Resnu.
Ra, aku harus ke Jakarta. Kuharap waktu seminggu cukup untuk berpikir dan mau memberiku maaf.
—Resnu.
Resnu mengendarai kencang motornya tanpa memedulikan hujan. Ia harus segera konsentrasi pada rencana pamerannya di Jakarta. Resnu berusaha melupakan sementara beban yang mengganjal di hatinya.
Sampai di tempat kostnya, Resnu terkejut mendapatkan Ludi menunggu di depan kamar kostnya. Ia segera mengajak Ludi ke dalam kamar. Resnu mencoba menebak maksud kedatangan Ludi sambil mengganti pakaiannya yang basah.
"Bang Wibi bilang Kak Resnu akan ke Jakarta besok. Makanya gue langsung ke sini," kata Ludi langsung.
"Pasti penting. Soal apa, Di?" tanya Resnu langsung. Pengalamannya mengajarkan ia tak perlu menutup-nutupi satu hal.
"Soal Rara. Tepatnya soal hubungan Rara dengan Kak Resnu."
Resnu tersenyum. Cowok di depannya tampak cukup kuat mental untuk mengutarakan kegelisahannya. "Kami memang akrab. Tapi jangan elo salah tafsirkan hubungan kami. Sejak dulu, kini, dan sampai kapan pun gue nggak akan mengubah pendirian gue. Gue hanya mengangap Rara sebagai adik. Nggak pernah lebih," ucap Resnu kemudian.
Ludi menghela napasnya. Ia jadi malu dengan prasangkanya.
"Dan elo, Di? Elo mencintai Rara, kan? Sudah gue baca dari mata elo sejak pertemuan pertama kita. Sayang elo terlampau rapuh. Elo kurang mempertegas sikap dan posisi elo sebagai cowok... "
"Kak Resnu tahu itu?" Ludi melupakan tingkat kedewasaan dan pengalaman Resnu.
"Dari cerita-cerita Rara tentang elo. Hanya elo yang sering dia ceritakan selama kami berduaan. Sayangnya elo nggak nyadar. Rara bukan cuma menginginkan seorang pengawal, tapi juga orang yang bisa ngebimbingnya tanpa gentar dengan kemanjaannya itu. Hal itu yang diharapkan Rara dari elo. Percaya deh... hanya elo yang dia cintai," Resnu berusaha membesarkan hati Ludi.
Ludi berusaha mencerna kalimat Resnu.
Sesungguhnya, Resnu tak sejauh itu tahu perasaan Rara terhadap Ludi. Tapi apa salahnya ia membantu Ludi. Paling nggak menyambung kembali ikatan mereka yang sempat goyah lantaran kehadirannya. Resnu sadar Rara memperalatnya untuk menghukum Ludi, tapi Rara kurang pandai menyembunyikan perasaannnya sehingga kerap bicara mengenai Ludi di depan Resnu.
Ludi tak bisa membuka mulut. Jadi betapa bodohnya ia selama ini. Larut dalam ikatan persahabatan sejak kecil sehingga tak menyadari adanya tuntutan yang berbeda dalam ikatan tali kasih.
"Ludi, gue minta tolong serahkan boneka ini pada Rara. Gue nggak sempat lagi menemuinya besok." Tahu-tahu Resnu menyerahkan sebuah boneka yang diambilnya dari laci.
"Lho, Lulugu Biru ini kan udah dikasih ke Rara seminggu lalu?" Ludi bingung.
"Biar Rara yang nanti jelasin. Heh... elo udah pernah denger dongeng Lulugu Biru dari Rara?"
Ludi menggeleng.
"Dongeng komplitnya aku kurang ingat. Secara garis besar, itu kisah tentang seorang puteri raja yang diberi hadiah oleh sang peri biru. Hadiah itu sepasang boneka bernama Lulugu Biru. Suatu hari salah satu bonekanya hilang. Raja mengadakan sayembara, bagi siapa yang menemukan boneka itu akan menjadi pangeran. Ternyata boneka itu hilang di istal istana. Penjaga kuda yang memang sahabat sang puteri beruntung menemukan boneka itu. Ia akhirnya menjadi pangeran...."
Kisah yang indah, Ludi membatin. Ia jadi ingin segera menyerahkan Lulugu Biru di tangannya kepada Rara. Dan menjadi pangeran di sisi Rara! ©

Back to Top