0

BIDADARI KECIL

Selasa, 4 Desember 2007

Hari ini aku diberi kepercayaan dan kesempatan untuk menjadi baby-sitter buat mengasuh putri tunggal Pak Tiodorus yang baru jalan tujuh. Setahuku, Pak Tio, melalui Ayah, tidak mampu lagi mengurus kebandelan Yaya. Sejak istrinya minggat, bukan minggat sebetulnya, tapi bercerai entah karena alasan apa, Pak Tio semakin membenamkan dirinya dalam kesibukannya yang luar biasa di kantor. Agaknya hal itu, mungkin, merupakan kompensasinya agar dapat melupakan kegagalan rumah tangganya.
Aku juga tidak tahu mengapa dia tidak mencari Ibu untuk si Kecil. Padahal sudah dua tahun dia hidup menduda. Menjadi Ayah sekaligus Ibu bagi Yaya. Merepotkan sekali. Tapi mungkin dia memang sengaja tidak mau memberi Ibu Tiri untuk Yaya.
Aryani Ningcahya Ningrum, begitu nama lengkap gadis kecil bakal asuhanku. Karena kebandelan dan kenakalannya, maka nyaris tidak ada TK manapun yang bersedia menerima dia. Bayangkan, setiap hari ada-ada saja kelakuannya yang bikin senewen. Setiap saat ada saja anak yang menangis karena dijahili. Mainan mereka dirampaslah, kue-kue mereka dicaploklah, buku-buku gambar mereka disobeklah, krayon-karyon mereka dipatahlah, dan macam-macam lagi kelakuannya yang bikin gemas guru-guru. Dipukuli pun percuma. Dia hanya menangis sebentar. Cuma sebentar. Karena dia akan mengulangi perbuatannya kembali setelah tangisnya mereda.
Pufh! Pak Tio sampai bosan mendengar pengaduan-pengaduan para guru Yaya. Selusin pembantu yang sekian tahun mengabdi padanya pun mengeluhkan hal yang senada tentang kenakalan Yaya. Akhirnya, satu per satu dari mereka mengundurkan diri secara teratur dan lebih memilih beternak ayam atau kambing di kampung ketimbang harus mengurus kebengalan Yaya.
Mulanya aku ragu menerima permintaan Ayah agar aku mau menjadi pengasuh Yaya setelah mendengar tentang kebandelan anak itu. Bukannya aku takut seperti pembantu-pembantu Pak Tio itu. Bukan. Aku sudah terbiasa ngurus anak kecil, kok. Tito, Eka, Chandra, dan Eflin - anak-anak tetangga sebelah itu kuurus dengan senang hati sewaktu orangtua mereka ke luar negeri setahun yang lalu. Dan mereka berubah menjadi anak-anak yang manis di tanganku. Menurut dan patuh.
Lantas datanglah Pak Tio yang meminta aku mau mengurus Yaya. Melalaui perantaraan Ayah tentu saja. Sebab Ayah pernah bekerja di kantor Pak Tio sebagai pesuruh. Entah dari mana Pak Tio mendapat informasi kalau aku, anak bekas pesuruhnya, pernah menjadi baby-sitter. Sebetulnya sih, aku oke-oke saja. Soalnya aku juga senang sama anak-anak kecil. Namun begitu Ayah menyodorkan selembar foto gadis kecil yang bakal aku asuh, maka aku langsung menggeleng untuk menolak. Wajah dalam foto itu mengingatkan aku pada Ria, adikku. Adikku yang hadir tidak lama dalam dunia ini! Dia meninggal bersama Ibu dalam sebuah musibah tabrak lari. Ah, hatiku teriris setiap mengingat mereka. Aku heran mengapa ayah mau menerima permintaan Pak Tio. Bukankah putri Pak Tio itu mengingatkan kami pada Ria? Ayah pasti tahu itu. Tapi yah, itulah keputusan Ayah. Mungkin dia kasihan melihat keadaan Pak Tio yang lusuh. Atau mungkin pula dia melihat Yaya sebagai Ria. Entahlah.
Ayah sebetulnya tidak memaksaku harus menjadi pengasuh Yaya. Terserah aku saja. Tapi untuk menolaknya, rasa-rasanya aku harus berpikir seribu satu kali. Imbalah jasa yang bakal kuterima nantinya melebihi penghasilan Ayah selama setahun sebagai kurir di sebuah perusahaan jasa pengangkutan barang. Bukan itu saja. Pak Tio bahkan berjanji akan membiayai sekolahku sampai tamat SMA. Jadi apa lagi? Dan pada hari ini pula kuputuskan untuk menerima tawaran Pak Tio itu.
Jujur, aku butuh uang untuk biaya sekolah.
***
Jumat, 7 Desember 2007

Pak Tio memintaku tinggal saja di rumahnya. Maksudnya agar aku lebih dekat sama Yaya. Juga supaya aku tidak usah bolak-balik setiap hari dari rumahku ke rumahnya. Jarak antara rumah kami lumayan jauh meski masih satu kota.
Pagi ini aku mulai bertugas sebagai baby-sitter. Ayah mengantarku sampai di muka pintu pagar rumah mewah Pak Tio. Pak Tio sendiri sudah tidak ada sejak pagi tadi, begitu kata salah seorang pembantu wanita setengah baya yang menyambut dan membukakan kami pintu pagar. Ayah pun permisi pulang.
Kujejaki halaman rumah yang berumput bagus itu dengan langkah hati-hati. Kupikir alangkah repotnya mengurus dan memangkas rumput-rumput tersebut. Belum lagi aneka tanaman hias yang memenuhi setengah dari luas halaman rumah yang kupikir seluas lapangan basket. Di sisi kiri-kanan dari halaman rumah terdapat lanskap-lanskap buatan berupa batu dan dinding-dinding tebing pegunungan.
"Nggak... nggak mau!" Ada suara kecil yang melengking dari dalam rumah besar yang dapat menampung kira-kira lima-enam keluarga dengan masing-masing sepuluh anak.
"Ayo, Yaya Sayang. Ma'am dulu baru main sama Rino, ya?" Sekarang ada suara bujukan bernada kesal yang juga berasal dari dalam rumah.
"Nggak mau. Yaya mau main dulu baru makan."
Kulihat ada sepasang kaki kecil berlari tiba-tiba keluar dari bingkai pintu. Dan tubuh kecil itu hampir saja menabrakku seandainya saja tidak keburu ditangkap dan digendong oleh seorang wanita yang lebih mudaan sedikit daripada wanita yang menyambut aku dan Ayah tadi.
"Nggak mau, nggak mau!" Tangan gadis kecil memukul-mukul, sesekali menjambak rambut wanita yang menggendongnya.
"Entar Papa marah," ancam wanita itu, mempererat gendongan.
"Biarin!" ketus gadis kecil itu tanpa merasa takut.
"Aduh, Yaya, kamu kok nakal sekali, sih?"
Aku tertawa dalam hati melihat tingkah anak perempuan itu. Kelakuannya lebih menunjukkan kenakalan bocah lelaki daripada perempuan. Rambutnya cepak. Lurus dan kaku seperti kebanyakan anak laki-laki. Tapi dia manis. Pipinya montok. Matanya agak sayu. Cuma bibirnya yang kurang bagus menurutku. Tebal dan dower.
"Yaya mau Rino," teriaknya setengah menangis sembari meronta-ronta dalam pelukan pembantu wanita itu.
"Rino juga lagi ma'am," ketus pembantu wanita itu dengan mata melotot galak. "Mainnya entar aja. Nah, sekarang ma'am dulu!"
Dan dengan gerak kasar pembantu wanita itu menyuapi bubur ke mulut gadis kecil yang bakal kuasuh nanti. Tapi sedetik, bubur itu telah dimuntahkannya. Sebagian mengotori pakaian pembantu wanita itu. Sebagian lagi malah masuk ke dalam mangkuk bubur yang tengah digenggamnya.
"Eh, ma-maaf ya, Mbak. Anak ini, ya Gusti, nakalnya minta ampun," sapa wanita itu ketika melihatku tersenyum-senyum ke arahnya.
"Ika. Panggil saja nama saya," balasku setelah menganggukkan kepala.
"Ri-Rino! Yaya mau Rino!"
"Iya, iya. Ma'am dulu, tapi."
Wanita itu masuk dengan tergopoh-gopoh. Aku lagi-lagi tersenyum. Kubayangkan hari-hariku yang repot dan menyebalkan. Tidak menyenangkan. Tapi mau apa lagi? Toh aku sudah berjanji sama Ayah untuk membimbing anak itu sebaik-baiknya.
"Mari masuk, Mbak...."
"Ika, Bu," pintasku setelah wanita yang menjemput aku tadi bicara sesudah terdiam beberapa saat lamanya akibat 'kejadian kecil' barusan.
"Oh, iya, Mbak Ika." Wanita itu mengangguk lugu. "Kamar sudah saya persiapkan. Di dalam. Kalau tidak senang atau bagaimana, tolong beritahu saya." Dan dia menunjukkan sebuah kamar untukku sesampainya kami di ruang paling dalam rumah.
"Terima kasih, Bu."
***
Senin, 10 Desember 2007

"Yaya kok, nggak mau sekolah? Kenapa?"
"Nggak mau. Ibu Guru suka nyubitin paha Yaya!"
"Yaya nakal ya, sampai Ibu Guru marah?"
"Yaya nggak nakal, kok."
"Habis, kok dicubitin sih?"
Anak itu tersenyum. Lebar. Ada bias nakal yang kutangkap pada sepasang bola matanya.
"Kenapa?" tanyaku mendesak. "Yaya nakal, kan?"
"Ah, nggak. Dita sendiri yang cengeng."
"Memangnya kenapa?"
"Masak dijambak saja sudah nangis!"
Aku mengurut dada. Entah ada berapa Dita-Dita yang nangis akibat kenakalan Yaya. Entah ada berapa Dita-Dita yang ke sekolah lantaran takut sama Yaya.
Kemarin aku nyaris berputus asa dan angkat kaki saja dari rumah ini. Tidak pernah kubayangkan akan menghadapi anak senakal Yaya ini. Kenakalannya memang di luar batas kewajaran. Aku sampai tidak bisa mengerti bagaimana anak tujuh tahun seperti dia dapat....
Prang!
Aku menarik napas panjang-panjang. Anak itu mulai lagi beraksi dengan tindakannya yang bisa bikin gila! Untung Papanya kaya. Kalau tidak, mungkin mereka di sana perlu mengganti gelas dan piring kaca dengan plastik.
Sabar! Sabar! Sabar!
Amarahku kutahan-tahan. Kalau tidak mengingat tugasku sebagai baby-sitter-nya, pasti dia sudah kulempar ke bak sampah muka rumah! Bayangkan, kemarin dia datang bermanis-manis kepadaku. Katanya pingin kenalan. Lalu dengan tengilnya dia bersalaman denganku. Tapi... ya, Tuhan. Anak itu mengangsurkan seekor kecoak mati. Ke tanganku. Tentu saja aku menjerit kaget.
"Aduh... Yaya!" Ada teriakan nyaring lagi. Dari dalam rumah. Pasti dari dapur.
"Bukan Yaya yang mecahinnya, Bik Sum," sangkal Yaya, sama sekali tidak menyiratkan penyesalan.
"Jadi siapa?"
"Tauk."
"Pasti kamu."
"Bukan."
"Nggak mungkin bisa jatuh sendiri."
Prang!
"Eit... ka-kamu...!"
"Nah, ini baru Yaya yang mecahin." Dengan entengnya Yaya ngomong begitu. "Tadi, mungkin Rino yang melakukannya."
Kembali kutarik napas panjang-panjang. Ah, kalau bukan keadaan kami yang mendesak butuh uang, tentu aku tidak akan menjadi pengasuh anak gila itu. Kubatalkan saja. Minggat. Angkat kaki. Angkat koper. Habis perkara.
Tapi setiap mengingat Ayah, dan juga kepercayaan yang telah diberikan oleh Pak Tio kepadaku, maka urunglah niatku untuk kabur.
***
Minggu, 16 Desember 2007

Aku mulai terbiasa dan merasa kebal menghadapi kenakalan Yaya. Bunyi gelas dan piring pecah seperti irama lagu di gendang telingaku. Kuusulkan pada Mang Iping, yang ngurus bagian keperluan rumah tangga, untuk ngeborong seluruh gelas dan piring yang dijual di semua toko pecah-belah. Biar anak itu puas sampai mati mecahin gelas dan piring!
Dan hari ini si Badung itu merengek terus agar diajak jalan-jalan ke mall. Sebetulnya itu kewajiban Papanya. Tapi lelaki separo baya itu tidak bisa karena dia ada rapat mendadak di kantor. Rupanya setan kecil itu menuntut. Mau tidak mau akulah yang harus mengantarnya.
Dengan setengah-setengah hati akhirnya kubawa dia jalan-jalan tahu kemana dia suka. Kami makan dulu di KFC. Lalu dia minta es-krim di Sweensen's. Lantas permen coklat. Boneka. Gambar susun Donal Bebek. Pinsil warna. Buku gambar. Dan terakhir dia merajuk minta dibelikan ikan hias, aku lantas bilang bayarnya pakai uang hasil 'ngejual kamu' di panti asuhan. Dia takut. Diam. Tidak macam-macam lagi.
"Kak Ika...."
"Ada apa?" tanyaku agak jengkel. Suaraku terdengar ketus. Kupegang tangannya, mengangkat tubuhnya sedikit saat menaiki eskalator naik mall.
"Emang Kak Ika mau ngejual Yaya?" Yaya menengadah, menatapku takut-takut sesampainya kami di lantai empat mall.
"Kalau Yaya nakal!" jawabku cuek.
"Kak Ika nggak kasihan sama Yaya?"
"Anak nakal nggak pantas dikasihani."
"Tapi...."
"Yaya suka pecahin gelas dan piring. Yaya suka nyiksa Rino - anjing peking piaraan. Yaya suka ngerepotin Bik Sum. Nggak mau sarapan. Nggak mau bobo siang. Nggak mau sekolah. Nah, Yaya nakal. Yaya...."
"Tapi Kak Ika...."
Kudamprat Yaya karena memintas kalimatku. "Dengar Kak Ika! Kalau Yaya nakal lagi, Kak Ika akan jual Yaya. Kalau masih tetap nakal, Kak Ika nggak segan-segan nyemplungin Yaya ke kali. Biar dipatuk dan dimakan sama ikan-ikan."
"Dipatuk dan dimakan sama ikan-ikan?!"
"Ya."
"Yang badannya gede?"
"Ya."
"Yang giginya tajam-tajam seperti punya Rino?"
"He-eh."
"Iihh...." Yaya bergidik. Mukanya mengerut. Tiba-tiba dadanya berguncang. Dia terisak. Pelan dan tertahan. "Semua nggak sayang Yaya. Mama, katanya mau beliin Yaya boneka Barbie, nyatanya nggak pernah kembali. Yaya dibo'ongin. Mama ke mana, sih? Mama nggak pernah pulang sampai sekarang. Padahal Yaya sudah kangen sama Mama. Mungkin Mama nggak sayang lagi sama Yaya sehingga nggak mau pulang!" urainya, menggigit bibir bawahnya kemudian. "Papa juga mulai nggak sayang sama Yaya. Papa nggak mau diajak jalan-jalan lagi."
Aku tercenung mendengar keluhan yang keluar dari bibir kecil itu. Rasa sebal dan kesalku setiap menyaksikan kenakalannya tiba-tiba berganti menjadi sebersit iba.
"Sekarang Kak Ika juga nggak sayang sama Yaya. Kak Ika bilang mau ngejual Yaya. Mau nyemplungin Yaya ke kali, jadi makanan ikan-ikan!" lanjutnya, masih terisak.
Aku tertawa dalam hati mendengar kalimatnya yang lugu begitu. Tapi tidak kugambarkan ke muka. Karena sedini mungkin aku harus bersikap tegas dan berwibawa di depannya. Kalau tidak, kelakuannya yang tak bisa ditolerir itu akan semakin menjadi-jadi. Aku tidak mau menjadi korban kenakalannya. Apa kata Ayah nanti bila sampai aku pulang dengan predikat kalah? Menyerah seperti kebanyakan pembantunya yang terdahulu! Uh, tidaklah ya!
"Sudah, sudah. Jangan nangis. Yaya nggak boleh cengeng," kataku seraya menarik lengannya untuk meneruskan langkah kami yang tertunda di dekat pintu sebuah stan pakaian.
"Supaya Yaya nggak dijual?" Yaya bertanya cemas.
"Ya." Kutahan tawa yang hendak menyeruak.
"Supaya Yaya nggak dicemplungin ke kali?"
"Hahaha." Aku sudah tidak sanggup menahan tawa.
***
Selasa, 8 Januari 2008

Tidak terasa sudah sebulan aku tinggal di rumah besar yang lengang ini. Kuakrabi sepotong hati yang kesepian. Sepotong hati yang harus kehilangan kebahagiaan dan kasih sayang sejati akibat perceraian orangtuanya. Kadang-kadang kudapati sepasang mata kecil itu berlinang airmata, memeluk lutut dan menerawangi langit gelap di luar jendela.
"Ada apa, Yaya? Kok, nggak bobo?" tanyaku prihatin setiap melihatnya begitu. Seperti malam ini juga.
"Yaya kangen sama Mama!" lirihnya.
Hatiku giris mendengar tangisnya. Pelan dan diam-diam. Dan kalau sudah begitu, maka kupeluk tubuh mungil itu kuat-kuat. Airmataku turut berlinang. Sebab aku pun merasakan hal yang sama. Kehilangan Ibu. Kehilangan orang yang kami cintai.
"Kak Ika...."
"Hm, ada apa, Sayang?"
"Apakah Kak Ika sayang sama Yaya?"
"Tentu saja Kak Ika sayang sama Yaya. Kak Ika sayang banget sama Yaya."
"Betul?" Mata kecil itu membola. Ada binar bahagia di sana.
"He-eh. Nggak percaya?"
Yaya menggeleng. Secuil senyum merekah di bibirnya. Dia mempererat rangkulannya di perutku.
"Tapi...."
"Tapi apa?"
"Kata Bik Sum, lusa Kak Ika akan meninggalkan Yaya. Pulang. Benarkah?"
Pertanyaan itu menikam ulu hatiku. Memang ada saatnya untuk berpisah, Yaya. Karena Kak Ika masih sekolah. Perlu bantu-bantu Ayah di rumah. Perlu ngerawat Ica dan Adi yang masih kecil-kecil.
Aku pingin bilang begitu, tapi rasa-rasanya ada sesuatu yang mengganjal tenggorokanku. Dan membuatnya sakit bila mencoba mengeluarkan sepatah kalimat.
"Benarkah, Kak Ika?"
"Kak Ika akan menjenguk dan main ke sini lagi, kapan-kapan."
"Nggak. Kak Ika tinggal terus bareng Yaya. Yaya minta ke Papa nanti!" Yaya membuang mukanya. Dilepasnya pelukannya dari tubuhku. "Yaya nggak punya siapa-siapa lagi selain Papa."
"Kan, ada Bik Sum?"
"Nggak mau. Pokoknya Yaya mau Kak Ika."
"Kenapa?"
"Karena Yaya sayang sama Kak Ika!"
Aku menarik napas. Panjang-panjang. Gadis kecil itu ternyata sangat mencintaiku. Aku tidak tahu harus berbuat apa.
"Kak Ika jangan pergi, ya?" Yaya mulai menangis. "Nanti Yaya bakal sendiri lagi. Nggak ada yang menemani Yaya bobo lagi. Yaya takut sendiri." Yaya sudah meraung-raung. "Yaya takut. Banyak setan."
"Huss," kuraih kepala Yaya dan menempelkan telunjukku ke bibirnya. "Kan, Yaya punya Tuhan. Kak Ika setiap malam ngajar Yaya berdoa untuk apa? Yaya hapal kan, doa sebelum tidur?"
Ada anggukan pada kepala kecil itu.
"Nah, kenapa mesti takut?"
"Jadi Tuhan sayang sama Yaya?"
"Tentu saja."
"Kalau begitu, Tuhan pasti mau dong mendengarkan dan mengabulkan permintaan Yaya."
"Tentu. Kalau Yaya berjanji nggak akan nakal dan berjanji akan selalu bersikap manis."
"Yaya janji, nggak akan nakal lagi. Asal...."
"Asal apa?"
"Asal Tuhan mau mengabulkan permintaan Yaya supaya Kak Ika mau tinggal terus bersama Yaya!"
***
Kamis, 10 Januari 2008

Ternyata malam itu Pak Tio diam-diam 'nguping' semua pembicaraanku dengan Yaya. Saat itu dia ingin mengucapkan 'selamat bobo' pada Yaya seperti kebiasaannya setiap malam. Namun diurungkannya niatnya itu kala mendengar percakapan serius kami. Tentang kesepian-kesepian yang kerap dirasakan Yaya. Pak Tio tersentuh. Matanya hatinya terbuka.
"Bapak akan sangat berterima kasih pada Nak Ika jika bersedia tinggal bersama kami," pinta Pak Tio pagi-pagi sekali, kemarin sebelum dia berangkat ke kantornya.
"Tapi...."
"Bapak maklum," Pak Tio menyergah. "Adik-adikmu boleh tinggal di sini. Hitung-hitung ada yang menemani Yaya."
Aku tidak dapat menolak. Semua terserah kepada keputusan Ayah. Kemarin malam pula, sehabis pulang kerja, Pak Tio langsung ngomong pada Ayah. Mengutarakan semua maksudnya. Dan Ayah bersedia dengan senang hati.
Aku menarik napas lega. Ternyata selama ini ada yang Pak Tio lalaikan sebagai seorang Ayah yang baik. Dan itu adalah kasih sayang! Meski yang dilakukannya selama ini kerja keras dan banting-tulang semata-mata demi Yaya, namun hal tersebut belumlah cukup. Yaya perlu perhatian dan kasih sayang. Tidak cukup hanya memenuhi kebutuhan-kebutuhannya saja.
Ketika aku sampaikan pada Yaya bahwa, aku akan tetap tinggal bersamanya, saat itu juga dia langsung merangkulku seoah tidak mau melepaskanku lagi. Dia menangis bahagia. Aku pun turut menangis.
Heran. Hari ini kami sama-sama menjadi cengeng. Bahkan, Bik Sum juga ikut-ikutan mengucurkan airmata saat kami berangkulan tadi.
Rino datang menggugah keharuan kami dengan salaknya yang nyaring. Seolah-olah dia juga merasakah hal yang sama dengan kami. Yaya memeluk anjing kecil itu. Lantas dia bergulingan di atas rerumputan.
Ah, setan kecil itu telah berubah menjadi bidadari kecil di mataku. ©

Back to Top