0

SAAT KEPERGIANMU


PROLOG
Hai, namaku Rangga Bayusela. Aku mahasiswa salah satu perguruan tinggi di Medan. Aku memiliki histori cinta yang ingin kusampaikan kepada sahabat semua. Well, mungkin ini cuma roman picisan. Maybe, kisah cinta klise. Entahlah. Namun aku merasa perlu menceritakannya sebab aku tidak kepingin sahabat semua terpuruk di dalam 'kasus' cintaku yang miris. Ya, miris. Sebab selama ini, aku sudah dibutakan oleh obsesi cinta sehingga tak mampu melihat arti cinta yang sesungguhnya itu sendiri. Aku terkungkung dan terpenjara oleh obsesi meski di lain pihak, ada cinta lain yang justru merupakan cinta yang nyata dan sejati.
Cinta itu bernama Kristina Chadrawinata. Ia merupakan gadis sekampusku. Ia telah lama mencintai aku dengan sepenuh hati. Namun aku dibius oleh obsesi dan kecantikan Maya Rinjani Harahap sehingga melalaikan Kristina. Aku terus ingin menggapai gadis obsesiku, meski ia serupa gemintang yang tak terjamah. Hei, betapa bodohnya aku, mengharap gemintang penerang temaram hatiku sementara ada pijar kecil yang senantiasa bersinar untukku lewat pelita cinta Kristina.
Betapa naifnya aku. Seharusnya aku sudah diganjar karma dari obsesiku sendiri. Namun cinta sejati Kristina yang kutampik justru mengulurkan tangannya. Diberikannya aku bahunya untuk bersandar dan menangis. Dan diberikannya satu tempat yang paling istimewa di hatinya. Selamanya. Ya, selamanya.
***
Kabut tipis mulai menyelimuti hutan-hutan kecil di lereng bukit. Angin dingin menusuk tulang hingga ke ulu hati. Pohon-pohon pinus masih basah dan lembab. Api unggun mulai meninggalkan bara berwarna kemerahan. Dengan asap menjulang tinggi.
Di joglo kecil Rangga termangu. Memperhatikan siluet pinus yang berjejer rapi. Bak raksasa yang sangat menakutkan. Sesekali ia mendekap jaket parasutnya. Sambil teringat dengan seorang gadis yang pernah mencuri perhatiannya. Maya, nama gadis itu. Mahasiswi ekonomi di sebuah universitas.
Pertemuan itu memang begitu singkat. Di sebuah toko buku. Saat Rangga menubruknya tanpa sengaja, dan gadis itu memaki-maki Rangga seenak hatinya. Rangga pun berang dan membalas makian kecil itu. Dan ternyata mereka bertemu lagi di salah satu universitas di Medan. Pertemuan itu membuat Rangga terbayang-bayang dengan gadis judes yang menghardiknya. Kebencian itu pun timbul dengan sendiri. Rangga mengolok-olok si Gadis di depan umum. Bahkan di depan mahasiswa lainnya.
Namun kebencian itu mendadak berubah menjadi sebuah kerinduan di hati Rangga. Rangga berkali-kali mencoba merayunya. Meminta maaf kepada si Gadis. Tapi si Gadis menolaknya mentah-mentah. Ia sama sekali tidak mempedulikan Rangga. Meski Rangga sangat mengharapkan cinta sang Gadis, namun tetap saja ditolak.
Hal itu membuat Rangga sakit hati. Perih rasanya. Terasa kabut-kabut tipis menyelubungi relung hatinya. Entah mengapa kabut-kabut itu semakin menebal, rasanya.
Rangga mendesah pelan. Desahan angin menghapus tubuhnya yang beku. Gesekan angin membuat dahan-dahan pinus bergoyang dan riuh dengansuara yang syahdu. Saat menikmati semilir, sebuah tangan tiba-tiba saja menutup mata Rangga dari belakang. Rangga tercekat merasakan tangan dingin yang menutup kedua matanya.
"Sandy!" tebaknya asal.
Namun si Empunya tangan diam saja.
Rangga berusaha menebaknya lagi. Mungkin hal ini keisengan teman-temannya. "Jack! Lepasin, dong," tebak Rangga lagi.
Namun lagi-lagi orang di belakangnya itu diam saja. Rangga mengulurkan tangannya dan menebak lagi. Namun tidak ketebak.
"Aduh, siapa sih. Jangan bercanda terus, dong," seru Rangga menyerah.
Kemudian tangan itu pun membuka matanya dengan perlahan.
"Hei! Bengong saja," sapa seseorang padanya.
Rangga mengucek-ucek matanya. Melihat seseorang di depannya dengan terpana.
"Kristina?" gumamnya.
Gadis itu tersenyum. Duduk di depannya kemudian.
"Kamu kenapa sih, Ga. Melamun terus. Kamu lagi kasmaran, ya?" selidik Kristina.
"Ah, tidak, kok. Aku tidak melamum."
"Sudah, jangan bohongi aku. Buktinya, dari tadi aku perhatiin, kamu bengong terus. Aku tahu ada seorang gadis yang mencuri perhatianmu. Siapa sih dia?"
Rangga terbelalak sambil menelan air liurnya.
"Melamun? Melamunkan siapa?"
"Sudah deh, tidak usah bohong lagi."
Rangga mengerinyitkan keningnya. "Kamu tahu dari mana?"
"Aku sudah membaca semua buku catatan harian kamu. Maaf ya, kalau aku lancang."
"Kris...! Ja-jadi... kamu.... " Rangga menatap wajah Kristina dengan lekat, seperti tidak percaya atas pendengarannya sendiri.
"Maaf, aku tidak sengaja, Ga. Kamu marah?"
Rangga diam. Hening. Namun hanya sesaat.
"Siapa Maya? Kamu mengenalnya?" tanya Kristina memecahkan keheningan
"Hm, dia anak ekonomi."
Bibir Kristina membulat. "Oo."
Hening lagi. Perasaan Kristina tercabik-cabik. Sesungguhnya dia sangat mengharapkan Rangga menjadi kekasihnya. Namun Rangga tidak pernah menggubris perasaan itu. Meski perhatian yang diberikan Kristina sangat lebih untuk Rangga, Rangga seakan tidak peduli.
Tak berapa lama Rangga beringsut dari duduknya. Angin dingin semakin menggila seakan menghunus jantungnya.
"Aku pergi dulu, ya. Aku ngantuk," ucap Rangga sambil berlalu meninggalkan Kristina yang terpaku.
"Tapi, Ga. Tunggu... jangan tinggalkan aku dong, Ga."
"Sudah deh, besok saja ngobrolnya," tampik Rangga apatis.
Kristina terpaku. Kali ini hatinya seolah terhempas ke dalam cadas-cadas yang tajam. Namun Kristina dengan sabar hati menunggu kepastian yang tak pasti. Meski berkali-kali hatinya tersayat pedih karena Rangga memikirkan gadis lain, Kristina tetap saja memberi perhatian penuh terhadap Rangga.
Kristina terpaku memperhatikan Rangga yang meninggalkannya begitu saja. Malam seakan menghadirkan giris sunyi yang luar biasa. Tak terasa airmatanya menitik. Dan setiap begitu, maka ia hanya dapat menuangkan baur perasaannya lewat lembar-lembar buku diarinya. Di sana, ia menaburkan kalimat dalam bentuk puisi. Puisi cinta buat Rangga.
Ketika hasrat hatiku
mendambakan dirimu
namun bayanganmu
hanya terlintas dalam angan dan mimpiku
Aku begitu mendambakanmu
mengharap kau merajut benang cintaku
a
gar menjadi sebuah sutra
yang indah dalam hatiku
dan t
erlukis sejuta namamu
Kristina meremas buku diari yang senantiasa menyertainya kemana pun. Hatinya masih berdarah dalam penantian. Pemuda itu terlalu angkuh di dalam jumawitas obesesinya. Dipandanginya jelaga langit. Gemintang bermain mata dalam kerlap-kerlip abadinya. Mereka indah namun tak tergapai tangan. Seperti itulah Rangga sekarang. Ia gemintang yang tak terjamah!
***
Terlihat Rangga mengibaskan kotoran yang menempel di celana jinsnya. Membetulkan kancing jaket parasutnya hingga menutupi lehernya yang jenjang. Memakai penutup kepala dan syal. Entah mengapa bayangan-bayagan Maya bermain-main lagi di benaknya. Bayangan itu seakan tidak mau pergi.
'Mengapa Maya menolak cintaku?' batinnya lagi. 'Aku harus mendapatkannya. Harus!'
Rangga menuruni anak tangga joglo dan berjalan melewati semak belukar. Langkah terhenti oleh suara canda seseorang yang telah mencuri perhatiannya. Rangga berusaha mempertajam pendengaranya. Sepertinya ia kenal betul dengan suara itu. Ya, tidak salah lagi!
Rangga berjalan menghampiri sebuah pondokan kecil. Dengan lampu remang dan redup. Ia melihat dua orang anak manusia sedang memadu kasih.
"Maya?" jeritnya, mengerutkan dahi. "Sandy?" lanjutnya terbelalak tak percaya.
Sandy terbelalak kaget melihat kehadiran Rangga.
"Rangga...."
"Kalian ngapain di sini?" tanya Rangga menahan gejolak cemburu yang telah membakar di hatinya.
Ternyata Maya mencintai Sandy, sahabatnya. Pantas saja Maya menolak cintanya.
"Kamu keterlaluan, San! Kamu keterlaluan!" sergah Rangga emosi.
"Rangga! Apa maksud kamu!"
Rangga menarik baju Sandy dengan kasar. Matanya melotot tajam menahan kemarahan. Melirik ke arah Maya dengan tatapan mata tajam pula. Sedangkan Maya hanya tertunduk melihat Rangga yang tengah kalut. Maya meringkuk ketakutan di tempat duduknya. Matanya hanya sesekali memicing memperhatikan Rangga dan Sandy.
"Kamu pagar makan tanaman. Kamu tahu kan kalau selama ini cinta banget sama Maya."
"Sudahlah, Ga!" tepis Sandy. "Maya tidak mencintaimu."
"Hei, kamu pikir kamu hebat?! Sahabat macam apa kamu?!" Rangga mempererat tarikan pada kerah baju Sandy. Dan dengan kasar dientaknya tubuh tegap itu hingga terjerembab di atas rerumputan.
Tak lama kemudian Sandy bangkit dengan emosi yang membara. "Kamu mau apa sih, Ga?! Kamu tahu diri sedikit, dong. Maya itu tidak mencintai kamu! Tapi mencintai aku!"
"Hei, kurang ajar!" Rangga mendorong tubuh Sandy. "Yang pertama kali mengenal Maya itu aku! Bukan kamu!"
"Hm... apa kamu lupa, kamu itu tidak pantas mendapatkan Maya. Kamu itu pecundang!"
"Arrghhh...."
Buuuk! Braakkk. Duuk....
Rangga memukul tubuh Sandy berkali-kali. Dan menghajarnya tanpa ampun. Rangga dan Sandy terus berkelahi. Saling baku hantam memperebutkan seorang gadis yang sama-sama mereka cintai.
Sandy balik memukul Rangga dengan keras. Beberapa kali Rangga tersungkur dan bangkit dengan tertatih. Dengan terhuyung Rangga menghantam wajah Sandy. Dan Sandy yang sudah kalap juga memukul tubuh Rangga dengan kuat hingga ia terpelanting jauh di rerumputan.
"Sudah, San! Sudah...! Jangan berkelahi lagi!" Suara Maya terdengar menengahi kegaduhan mereka.
Rangga bangkit dengan sakit di sekujur tubuhnya. Semakin terasa sakit saat melihat Maya lebih memperhatikan Sandy. Ternyata benar, Maya sama sekali tidak mencintainya.
Rangga beringsut dengan mata memar. Hidungnya berdarah dan pelipisnya koyak. Ia sempoyongan di antara semak belukar. Berjalan tertatih dengan langkah yang tidak teratur. Dan mendadak saja ia tergelincir di bebatuan. Terperosok jatuh di dasar bukit. Terguling hingga terpental dan akhirnya terlentang tak sadarkan diri. Ranting-ranting kecil dan berduri menyayat jaket parasutnya.
Jeritan keras Rangga mengoyak sunyi malam di hutan pinus. Kristina tercengang di depan unggun yang masih melelatu. Ia bangkit berdiri dan segera menyongsong asal suara yang telah dikaribinya sekian lama.
***
Rangga membuka matanya dengan perlahan. Melihat seisi ruangan dengan mata nanar. Putih, semua serba putih.
'Apa aku sudah mati?' batinnya. Pandangannya buram, dan sangat masih buram.
"Rangga...? Kamu sudah sadar?" Suara seseorang menghentakkan hatinya.
"Kristina...." gumamnya parau.
"Sudah dua hari kamu tidak sadarkan diri. Kata dokter, kamu gegar otak ringan. Kamu harus banyak istirahat."
Rangga tersenyum tipis. Menggenggam jemari tangan Kristina yang semula beku. Kini hangat bagaikan matahari yang menyinari lubuk hatinya. Mengapa ia harus mengejar gadis yang tidak mencintainya sama sekali. Ia merasa berdosa telah membiarkan Kristina diselimuti kabut tebal. Kini ia berusaha menepis kabut-kabut itu dari kehidupannya.
"Jangan tinggalkan aku, ya?" ujar Rangga sendu. Suaranya masih terdengar parau.
Kristina tersenyum tipis dengan mata beriak airmata.
"Aku tidak akan meninggalkan kamu, Ga. Selamanya. Percayalah."
Rangga tersenyum. Diciuminya jemari Kristina dengan lembut.
"Aku sayang kamu, Kris," ujarnya lirih dan pelan.
Kristina tersipu bahagia dengan pipi merona merah.
Kini kabut cinta tersebut tak lagi menutupi hati mereka. Kabut telah berlalu. Terhembus angin yang sepoi nan semilir.
Keduanya tersenyum bahagia. Terlebih Kristina, yang kini mendapatkan kembali hati pujaannya. ©

Back to Top