0

BILA DIA DATANG DENGAN CINTA

"Seringkali kita lebih memilih obsesi yang tak pasti
meskipun tahu bahwa itu hanyalah bagian dari mimpi,
dan menampik realitas yang riil serta hidup,
yang ditawarkan pada kita atas nama cinta wangi!"
(Effendy Wongso)

"Non Dilla, ada yang nyari tuh." Bik Umi membuyarkan lamunan saya yang sedang asyik menekuri huruf demi huruf pada novel karya JK. Rowling.
"Uh, Bik Umi mengganggu melulu kerjanya," gerutu saya sembari menelungkupkan novel tebal yang setengah tanggung terbaca itu ke meja belajar.
"Eh, maaf, Non," sahut Bik Umi dengan suara melas. "Tapi, tamunya udah lama nunggu."
"Ah, emangnya gue pikirin," ujar saya acuh tak acuh.
Bik Umi kikuk.
"Ya, udah. Suruh aja tamunya nunggu," kata saya lagi. "Eh, Bik Umi! Siapa sih, tamunya?" teriak saya setelah Bik Umi melangkah keluar dari bingkai pintu.
Bik Umi menghentikan langkahnya. Dia mangangkat kedua bahunya.
"Tauk, Non," jawabnya. "Orangnya kurus-tinggi. Putih dan ber...."
"Berkacamata, kan?" potong saya cepat.
"Lho, kok tahu, Non?"
"Ya, tahu dong!" sahut saya tengil. "Ah, udah-udah, keluar sana. Bilang sama Doraemon itu, sebentar lagi saya keluar!"
Saya dorong tubuh Bik Umi keluar.
"Lha, kok tamunya dibilangin Doraemon, Non?" protesnya.
"Allaaa, Bik Umi sok tahu deh," mangkel saya. "Udah, cepetan sana."
Bik Umi lari tergopoh-gopoh. Hampir jatuh tersandung saat menabrak si Manis, kucing keluarga kami yang sedang melintas di depannya. Saya geli dan tertawa. Ah, Bik Umi orangnya memang lucu.
Tapi wajah saya berubah cemberut setelah terlintas wajah tirus pucat punya Andre. Ufh, cowok itu seperti nggak ada jenuh-jenuhnya ngejar saya!
"Dilla Manis. Cepetan dong dandannya. Pacarnya udah lama menunggu. Kasihan, kan?" Mbak Lastri menggoda saya tiba-tiba di bawah bingkai pintu. Senyumnya mengembang, dan itu menguncupkan bibir saya menjadi manyun.
"Weeek, pacar siapa?" Saya kesal mendengarkan godaan Mbak Lastri. Saya julurkan lidah ke arahnya. "Siapa yang pacaran sama dia?"
Mbak Lastri masih tersenyum nakal. Matanya juga!
"Kalo kamu sama dia cocok banget lho, La. Sempurna gitu. Nilainya sepuluh. Dia angka satu. Kamu nol. Hehehe...." Mbak Lastri terkekeh sembari berusaha berlari menghindar lemparan sisir saya.
Bah, memangnya kami ini angka?! rutuk saya dalam hati. Tapi bener kok apa yang dikatakan Mbak Lastri. Si Andre kurus-tinggi. Seperti tiang. Jadi mirip angka satu. Saya pendek agak gempal. Mirip angka nol. Jadinya ya, kami memang kayak angka sepuluh bila jalan bersama. Tapi... hei, siapa yang pacaran? Kami nggak pacaran kok! Lagipula, Andre bukan apa-apa saya!
Ah, tiba-tiba pula saya kesel sama cowok yang bernama Andre itu. Entah dikasih apa mukanya sehingga tebal begitu. Padahal sudah berulang kali saya menghindarinya. Telah berkali-kali saya menunjukkan sikap nggak bersahabat. Jadi, mestinya dia tahu bahwa saya memang nggak menyukainya. Tapi sekarang? Uh, bukannya dia tahu diri, malahan pakai acara datang ke rumah segala!
Dengan langkah terpaksa saya keluar dari kamar. Menjumpai si Doraemon itu. Saya lihat di sudut sana Mbak Lastri masih terkekeh dengan menutup mulut dengan tangannya. Asem!
"Selamat sore, Dilla," sapa Andre ramah. Tapi tengil di mata saya. Bagaimana nggak, dia menundukkan badannya kayak pangeran yang tengah menyambut Sang Putri. Terlalu dibuat-buat.
"Ngapain datang-datang?!" tanya saya ketus, mirip dampratan ketimbang pertanyaan.
"Hm... anu, saya sumpek di rumah. Jadi ya, saya keluar jalan-jalan," Andre tergagap menjawab. Kikuk tampaknya. Sesekali dia menggaruk-garuk kepalanya. Sesekali pula dia memperbaiki letak kacamatanya yang setepal kaca pembesar.
"Kok nyasar ke sini?" tanya saya sinis, berartifisial.
"Ah, nggak kok. Tadi sewaktu ke sini saya nggak nyasar. Walaupun gang-gangnya sempit dan banyak."
Alamak ini anak! Lain yang diomongin, lain yang dijawabnya. Dasar budi, budek dikit. Makanya rajin-rajin dong bersihin itu kuping, tutur saya geli dalam hati. Andre terkadang lucu, tapi menyebalkan!
"Duduk, deh," sahut saya mempersilakan Andre duduk kembali.
"Terima kasih," balasnya. Lagi-lagi dia bersikap tengil di hadapan saya. Nada suaranya dibuat-buat seramah dan selembut mungkin. Jadinya malah seperti suara banci!
"Hm, ada apa?" tanya saya nggak sabaran. Menanyai maksud kedatangannya. Mestinya saya tahu bahwa dia datang pingin menemui saya. Nggak ada maksud lain.
"Eh, anu...," Andre kembali tergagap.
"Ada apa, sih?" potong saya.
"Kamu suka baca novel kan, Dilla?"
"Ya. Tapi bukan urusanmu, kan?"
Andre menundukkan kepalanya.
"Ini untukmu, Dilla."
Saya nyaris menjerit kegirangan melihat beberapa novel yang diangsurkan Andre pada saya. Wouw, novel teenlit pengarang kesayangan saya, Dyan Nuranindya! Apalagi setelah saya lirik judulnya. Aih, aih, 'Dealova' dan 'Rahasia Bintang'! Novel yang memang saya idam-idamkan sedari dulu. Sayang, uang jajan saya belum genap untuk membelinya. Tapi kini....
Tangan saya berhenti di udara mendadak. Suara saya yang hendak menjerit senang terhenti di tengah kerongkongan. Semua kegembiraan saya sirna setelah tersadar kembali, bahwa Andre-lah yang memberikan novel-novel tersebut. Dengan hati yang berat, saya tolak pemberian Andre itu.
"Lho, kenapa?" tanya Andre bingung. "Ini ikhlas dari saya, kok."
Saya diam. Hening sesaat.
"Atau... kamu nggak suka ya, novel-novel ini. Besok saya bawakan yang lain. Karya Esti Kinasih barangkali kamu suka?"
"Terima kasih, Andre. Nggak usah deh, kamu habisin duit hanya beli novel untuk saya," tolak saya halus. Heran! Biasanya saya selalu kasar menolak segala kebaikannya. Kini saya bisa sedikit lebih halus.
Andre nampak kecewa. Sekilas saya lirik dia sedang menggigit bibirnya.
Entah mengapa saya bersikap memusuhi Andre. Padahal cowok ini selalu baik pada saya. Nggak pernah macem-macem. Nggak pernah godain saya seperti teman-teman lainnya di sekolah. Dia yang sering ngerjain pe-er saya kalau pagi di kelas. Ngasih saya kertas contekan bila ada ulangan maupun ujian. Bela-belain traktir saya ngebakso di kantin Bang Hasan. Atau mau bersusah-payah nganter saya pulang. Menjemput ke sekoah kalau perlu. Tapi saya tolak semua hasrat baiknya. Mungkinkah karena Andre nggak setampan dan semacho Illyas, si Keren pujaan hati saya?
"Oke, saya mau pamit pulang dulu deh, Dilla. Novelnya untuk kamu aja. Mungkin suatu saat kamu bisa baca." Andre menggugah lamunan saya. Novel-novel tersebut ditaruhnya di atas meja tamu.
Saya nggak kuasa menolak pemberian Andre itu. Ada sebersit rasa iba yang mengajuk hati saya kala mendapati gurat kecewa pada sepasang bola matanya. Kali ini saya kalah dan luruh. Dia pamit tanpa berkata apa-apa lagi.
***
Pelajaran Bahasa Jerman sedari tadi telah dimulai. Pak Sujana yang tengah asyik menerangkan di atas sama sekali nggak masuk di otak saya. Kejadian kemarin sore masih membekas di hati saya. Saya merasa nggak enak sama Andre. Dia pasti kecewa berat sama saya.
Bel istirahat berbunyi.
Saya hela napas panjang-panjang. Kayaknya begini lebih baik. Percuma kalau di kelas terus, saya nggak konsentrasi sama pelajaran. Bisa-bisa kena damprat guru.
Saya beranjak keluar kelas. Nggak tahan dengan suasana gerah dalam kelas. Sepertinya sebotol teh sosro dan semangkuk bakso dapat mengurangi kesuntukan.
Baru juga dua-tiga langkah saya keluar di bingkai pintu kelas, sepatah suara bariton mengurungkan niat saya semula ke kantin. Saya berpaling ke arah asal suara yang sudah saya hapal di luar kepala. Suara Andre!
"Dilla, sori ya, saya mengganggu sebentar," katanya dengan lembut. Kali ini suaranya berkesan lain. Nggak dibuat-buat lagi. Berwibawa malah.
Saya menundukkan kepala. Nggak berani menatap matanya. Ada perasaan yang teramat bersalah menghunjam dada saya. Selama ini saya selalu bersikap kasar padanya tanpa alasan.
"Saya mau bicara denganmu sejenak. Boleh?" pinta Andre tanpa bersikap memaksa.
Saya hanya mengangguk mengiyakan.
"Boleh. Bicara aja, Andre," desisnya saya pelan. Nyaris nggak terdengar di telinga saya sendiri.
"Nggak di sini. Soalnya banyak kuping jahil yang nggak bertanggung jawab, sih," tutur Andre ringan. Ketawanya yang renyah melerai sejenak kekikukan yang mengambang di antara kami.
Saya ikut tertawa.
"Kita bicara di perpustakaan, ya?" pintanya lagi penuh harap.
Kembali saya hanya mengangguk.
"He-eh."

Back to Top