0

BIANG DIHATI YANG MERINDU

"Cinta tak dapat dipaksakan.
Ia tumbuh alami di dasar hati dengan kinasih.
Memaksakan kehendak cinta pada seseorang
hanya akan mendatangkan kehancuran,
dan bukannya kebahagiaan!"
(Effendy Wongso)


Setidaknya kejadian pagi tadi akan menjadi ingatan yang tidak bakal pupus dari benak Rida. Semuanya terjadi secara tiba-tiba dan mendadak. Uh. Rida menarik napas panjang. Dadanya penuh. Tapi, lupakanlah. Toh semuanya telah terjadi. Dede tidak tersakiti bila ia misuh-misuh begini. Malah, ia sendiri yang rugi. Sakit.
Rida menghempaskan pinggulnya di atas busa lunak sofa kecil di samping ranjang. Begini sepertinya lebih baik. Sedari tadi juga ia mondar-mandir dan bolak-balik seperti robot mini bertenaga baterai punya Rido, adik bungsunya. Memang sangat tidak mengenakkan memikirkan peristiwa tadi. Apalagi kalau itu terjadi di muka umum. Di depan mata dan kepala teman-teman sekelas pula. Ufh. Malu-maluin saja!
Bukan karena apa. Cowok muka badak Dede itu rupanya perlu dikasih pelajaran tentang malu. Bayangkan, masa ia datang pagi-pagi sekali lantas langsung mengamuk-ngamuk kayak kuda mabuk. Dan, ini biangnya! Ia mengungkit-ungkit kenangan silam, yang semestinya telah dikubur dalam-dalam. Seharusnya. Tapi ia....
***
Pukul 10.00 Wita,
Jam Istirahat Pertama di Sekolah


Rida mengernyit. "Eh, De. Kok, di sini?" Lima detik ia tertegun sampai akhirnya bertanya kembali. "Ka-kapan datang?"
"Kemarin malam." Ketus kalimat balasan yang keluar dari bibir simetris seorang cowok berbadan tegap.
"O," Rida mengangguk samar, kemudian memaksa secuil senyum yang samar pula di bibirnya.
"Aku ingin bicara." Cowok itu mendesak. "Penting."
Sebersit rasa was-was perlahan melingkup hati Rida. Firasatnya mengatakan ada yang tak beres kali ini. Entah soal apa. Yang pasti Dede tidak akan senekat ini ke sekolah jika tidak ada sesuatu hal yang sangat penting. Mudah-mudahan bukan dari rumah sakit atau kantor polisi. Lha, ngapain ia membolos kuliah datang ke Bone?!
Dan nyatanya letak persoalan bukan dari kedua tempat yang sempat dikuatirkan Rida. Ia pun menghela napas lega. Namun, ada gamang lain yang justru bercokol di hatinya.
"Kemasi buku-bukumu. Tas sekolahmu. Kita bicara di rumah Nenek," desak cowok berkulit hitam manis yang bernama Dede itu.
"Se-sekarang?" Alis Rida bertaut. "Untuk apa?"
"Banyak hal yang ingin disampaikan oleh Nenek padamu," jawab Dede diplomatis.
"Soal apa sih, De?"
"Di rumah Nenek nanti kamu akan tahu. Nah, sekarang kita pulang!" Dede mendesak tidak sabaran.
"Baik. Kita ke rumah Nenek. Tapi setelah bubaran sekolah nanti. Oke?" Rida menolak.
"Tidak. Ini soal penting." Dede menarik pergelangan tangan Rida. Hanya tiga kedip. Karena Rida menghentak protes.
"Hei... apa-apaan kamu ini, De?!" Rida melotot. Tidak senang diperlakukan demikian. Dan ia melangkah karenanya. Cuma setindak ke depan. Sebab pada langkahnya yang kedua, pergelangan tangannya kembali ditarik.
"Pulang, Ri!"
"Gila kamu. Aku kan sekolah!"
"Aku sudah minta izin sama Guru Piket."
"Ta-tapi, aku ada ulangan pada jam terakhir."
"Ikut susulannya saja."
"Enak saja kamu ngomong begitu." Rida semakin kesal. "Pokoknya aku tidak mau pulang."
"Kenapa, kenapa, Ri?" Dede menuntut. "Kenapa kamu selalu menolakku?!"
Rida membelalak. Lintasan kenangan silam tiba-tiba terekam jelas dalam memori otaknya. Tentang sebuah hubungan yang disalahartikan. Tentang....
"Ak-aku...."
Ya, Rida masih ingat benar kisah dua tahun silam. Pada sebuah pertemuan dilatari lembayung senja yang indah, Dede, sepupu jauhnya mengungkapkan perasaan hatinya yang sarat dengan kerinduan. Kerapnya pertemuan antara ia dan Rida telah mengakarkan rasa lain di luar daripada persaudaraan. Tentu saja Rida menolak. Baginya, Dede tak lebih dan tak kurang dari seorang saudara. Kakak.
"Kenapa?!" Dede emosional. Kini ia mengguncang bahu Rida yang masih larut dalam ketersimaan. Yang masih belum habis pikir, dan sama sekali tidak menyangka kalau seorang Dede masih terus menuntut cintanya. "A-apa sih kekuranganku hingga menolakku terus?!"
"Ka-kamu...?" Mata Rida memerah. Kedua tangan kekar Dede masih menggenggam lengannya.
"Oke, oke. Kalau kamu tidak bisa menjawab sekarang, mungkin di rumah Nenek kamu dapat menjelaskan segalanya." Dede melepas tangannya yang terangkum erat di lengan Rida. Bermaksud untuk bersikap lunak. "Kita pulang sekarang. Oke?"
Tapi Rida bersikeras tidak mau pulang. Ia sudah kepalang dikasari. Cowok itu memang begitu. Pembawaannya kasar. Temperamental. Semua permasalahan diselesaikannya dengan cara emosi. Padahal Rida tidak suka begitu. Memang sangat jauh berbeda dengan Hari....
"Ayo, pulang!" Dede kembali mendesak. Kali ini dengan suara yang mengeras.
"Aku bilang tidak, tidak!" Rida menjerit. Tanpa ia sadari, ia telah menyita perhatian teman-teman kelasnya. Satu per satu siswa berkerumun. Suasana semakin keruh. Dede kalap. Rida tidak mau mengalah.
"Nenek menunggumu!"
"Bukan hal yang sangat penting bila itu mengganggu kelancaran studiku!"
Dede mendengus keras. "Kalau perlu aku akan minta izin sama Kepala Sekolah."
Rida galau. Entah harus ngomong apa. Cowok itu terlalu tegar untuk dibikin mengerti. Padahal sudah tiga kali ia menolak dan mengungkapkan keterusterangannya bahwa, ia hanya menganggap Dede sebagai seorang kakak. Namun Dede sendiri yang tidak mau mengerti. Dan kini ia membawa nama-nama Nenek. Memang Nenek pernah mengusulkan supaya Dede dijodohkan dengan Rida. Nenek beranggapan lebih baik memilih pasangan hidup dari pihak keluarga. Alasannya, asal-usulnya jelas.
Itu bagi Nenek. Tapi bagi Mami, tidak! Karena Mami mempercayakan kebebasan memilih ada di tangan anak-anaknya sendiri. Jodoh tidak bisa dipaksa-paksakan. Tidak etis lagi.
"Pulang, Ri!" Kali ini Dede menyentak lengan Rida separuh menyeret.
"Tidak!"
Mendadak bibir Dede mengikal. "O, aku tahu. Aku tahu. Pasti gara-gara si Jelek orang ketiga itu, kan?!"
"Ja-jangan bawa-bawa nama dia!" Rida membentak. Sekarang ia sudah tidak peduli lagi pada kerumunan siswa yang menonton pertengkaran.
"Siapa cowok biang pengacau itu?!" Dede berkacak pinggang dengan judesnya setelah ia melepaskan cekalan tangannya.
"Kamu tidak perlu tahu."
"Oh, why not?!"
"Karena bukan urusanmu!"
"Siapa yang bilang begitu? Urusanmu adalah urusanku. Kamu tidak bisa mengelak itu."
"De, harus aku katakan berapa kali hingga bisa bikin kamu sadar? Seratus kali, seribu kali, atau...."
"Cu-cukup, Ri!" Dede menyalib gusar. "Sudah cukup kamu mempermainkan aku!"
Rida tercengang bagai disengat listrik. Ia tahu Dede sudah kelewat jauh menafsirkan hubungan mereka dulu. Kalau ia berakrab-akrab dengan Dede, itu lantaran ia merasa tidak ada sekat yang mengantarai hubungan mereka. Toh mereka adalah saudara. Saudara misan. Lagipula, itu sudah merupakan sifat Rida yang selalu pingin bermanja-manja dan riang begitu.
"Kamu terlalu banyak memberiku harapan, lantas kamu...." Dede tercekat. Matanya memerah. Tangannya mengepal dengan rahang yang mengeras pula.
"A-aku telah menjelaskan semuanya, De. Kuharap kamu mau mengerti," desis Rida pelan.
"Mungkin aku akan mengerti seandainya tidak ada Hari-mu itu!" teriak Dede keras.
Tangan Rida seolah mengejang. Dari mana pula Dede tahu tentang Hari? Ah, persetan dengan semua itu. Rida tidak pingin tahu dari mana si Muka Tebal ini mendapat informasi tentang kekasihnya. Ia juga tidak peduli sampai sejauh mana Dede mengetahui hubungannya dengan Hari. Yang penting, ia mengharap Dede mau berlapang dada. Menerima kenyataan yang sebenarnya bahwa Rida hanya menganggapnya sebagai seorang kakak. Tidak lebih.
"Ka-kamu...." Bibir Rida bergetar menahan tangis.
Dan pertengkaran pun berakhir setelah beberapa guru datang menyurutkan keributan. Rida dan Dede dipersilakan masuk ke Ruang BP. Menyelesaikan semua masalah secara dingin. Bukannya mengganggu kelancaran belajar-mengajar di sekolah.
"I-ingat, Ri. Bagaimanapun juga, aku mesti menyelesaikan masalah ini dengan Hari-mu itu! Dia, dia telah merusak semuanya!" ancam Dede sesaat sebelum mereka meninggalkan Ruang BP.
"Dede...!"
Dede meninggalkan ruangan. Tak peduli teriakan Rida.
***
Malam ini Rida gelisah sekali. Selain kejadian pagi tadi yang tidak mengenakkan, ia juga selalu memikirkan ancaman Dede. Dede tidak main-main dengan ancamannya. Rida tahu betul sifat Dede itu. Bukan tidak mungkin ia akan bertindak bodoh. Nekat.
Ah. Mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa. Besok, ia akan menyelesaikan semua masalahnya dengan Dede secara kekeluargaan. Termasuk dengan Nenek. Biar orangtua dari pihak Mami itu dapat mengerti. Siang tadi ia sudah menceritakan semuanya pada Mami. Mami sendiri nampak terkejut. Juga tidak menyangka Dede masih bersikap sekeras dulu untuk terus mengejar Rida. Terus terang, Mami kurang setuju Rida jalan bareng Dede. Soalnya anak itu dinilai kurang sopan. Lagaknya sombong. Mungkin karena ia terlahir dalam keluarga berada. Hingga terbiasa hidup mewah dan manja.
Rida masih saja gelisah. Juntaian-juntaian bilah rambut lurusnya yang jatuh di bahunya jadi mengikal. Entah berapa lama ia asyik memilin-milin rambutnya sampai akhirnya terdengar suara bel di ruang tamu berbunyi.
"Ada apa sih, Ri? Kok, kusut amat?" Cowok bermata elang yang sebulan belakangan ini mengakrabi hidup Rida, bertanya dengan nada gurau.
"Tidak ada apa-apa, kok," elak Rida berdusta. Ia menyambut Hari di bawah bingkai pintu.
"Pasti ada apa-apa kalau muka kamu keruh begitu," selidik Hari seraya menyembulkan sepasang lekuk indah di sudut bibirnya.
Rida menundukkan kepalanya. Menyembunyikan buncah risau yang menyesaki dadanya sejak siang tadi.
"Ada apa sih, Ri?" Pertanyaan ulang Hari terlontar saat ia telah mengempaskan dirinya di kursi sofa ruang tamu.
"Aku...."
"Aku sudah tahu, Ri." Hari menggeser tubuhnya ke samping, nyaris menyentuh tubuh mungil Rida yang duduk di sudut kanan kursi.
"Ja-jadi...."
"Dede sore tadi ke rumahku. Aku tidak tahu dari mana dia mendapatkan alamatku. Tentu saja bukan dari kamu, kan?"
"Tentu saja bukan." Rida mencoba bersikap tenang. "Ngapain saja dia? Kamu tidak diapa-apakan, kan?"
"Tidak. Dia memperkenalkan dirinya sebagai tunangan kamu. Tapi selain itu, dia juga menceritakan se...."
"De-Dede bohong, Har!" Rida bangkit dari duduknya.
"Iya, iya. Aku tahu," Hari merengkuh pinggang Rida, mengajaknya duduk kembali sekaligus menenangkannya.
"Lalu dia bilang apa lagi?"
"Banyak. Tentang masa lalu kalian. Tentang hubungan kalian yang telah direstui oleh keluarga. Juga...."
"Ta-tapi Mami sendiri tidak setuju. Apalagi aku!"
"Iya, iya. Aku tahu. Kamu kan pernah menceritakan padaku tentang hal itu. Masih ingat?"
Rida mengangguk.
"Tapi terus terang, aku tidak mau dianggap biang perusak hubungan kalian. Dede bilang kalau kehadiranku menjadi penyebab retaknya hubungan kalian." Hari meneguk ludahnya dengan susah payah.
"Di-dia bohong! Aku tidak pernah mencintainya lebih dari sebatas saudara. Aku sudah menganggap dia sebagai seorang kakak. Tidak lebih, Har. Apalagi dia itu masih sepupu denganku." Rida terisak. Menjatuhkan kepalanya di bahu Hari.
"Dede mencintaimu, Ri. Dia bahkan memaksa aku mau mengerti dan mundur," bisik Hari getas.
"Dan... ka-kamu mau menerima permintaannya?!" Rida sesenggukan, masih merebahkan kepalanya di bahu Hari.
"Tidak!"
"Ke-kenapa?"
"Karena aku mencintaimu!" ©

0 komentar:

Posting Komentar

Back to Top