0

ANGEL VS EVIL

"Aku tidak suka mendengar musik gubrak-gabruk begitu!"
"Musik beginian sedang nge trend, tahu?"
"Huh, ngetrend apanya?! Musik seperti begitu kok dibilang bagus. Apa sih bedanya musik begituan sama 'klentang-klentong' tukang kaleng yang biasa mangkal di Pasar Loak?!"
"Belum coba, ya? Bisa bikin jantung berdebar-debar senang. Bisa bikin hepi pula meski lagi sedih banget. Jenis iramanya techno, namanya lagu house music. Berisik tapi asyik. Trus, kalau lagi jingkrak-jingkrak harus di tempat yang temaram. Tidak boleh terang, tidak boleh...."
"Eh, memangnya...."
"Memang begitu caranya, Non. Namanya, disko."
"Diskotik! Clubbing!"
"Lho, kok kamu tahu?"
"Kamu pikir aku ini gadis pingitan apa?"
"Tentu saja tidak. Tapi...."
"Makanya...."
"Hei, aku tidak tahu kamu ternyata...."
"Aku tidak suka diskotik!"
"Tapi...."
"Tidak suka ya tidak suka!"
Bulan menutup perbincangan via telepon dengan ultimatum. Ada gabrukan keras terdengar di akhir kalimatnya. Tari menahan napas. Separuh jiwanya seperti melayang. Tentu bukan perkara biasa kalau Bulan Purnama Sidhi sampai marah besar begitu. Padahal, tidak ada dalam niatannya untuk membuat gadis itu mangkel. Maksud baiknya ditampik. Dia sedih.
Selama ini Bulan memang jarang bicara. Di sekolah, selain menekuri buku-buku pelajaran, tidak ada hal lain lagi yang dilakukannya. Padahal, teman-teman lainnya tengah asyik-asyiknya ngobrol seputar gaya hidup dan partyzone metropolis.
Ada deringan terdengar. Dalam satu gerak gegas tangannya yang jenjang itu mengangkat gagang pada deringan ketiga. Sudah menjadi kebiasaan tidak mengangkat gagang telepon pada deringan awal. Entah kenapa.
***
"Maafkan aku, Tari."
Sudah seperti yang diduganya. Bulan pasti menelepon kembali, seperti ada sesuatu yang terputus dalam perbincangan tadi. Belum rampung sama sekali. Dan dia sengaja tidak beranjak meninggalkan tempat.
"Aku marah tanpa alasan."
"Tidak apa-apa. Aku tidak...."
"Aku tahu kamu pasti tidak bakal marah. Makanya, aku meneleponmu kembali."
"Aku yang salah. Mengajakmu ke tempat yang tidak kamu sukai."
"Sebenarnya maksudmu baik...."
Tari terdengar menghela napas lega. Gadis berkacamata minus sahabatnya sejak dari bangku Sekolah Dasar dulu memang berjiwa besar. Dia akan mengakui kesalahan atas kesadarannya sendiri. Dan suatu saat dia berharap dapat memiliki jiwa sebesar Bulan.
"Kamu masih sering...."
"Ke diskotik?"
"Hei, memangnya ke bonbin? Apa lagi kalau bukan tempat itu yang aku maksud?"
"Hm, akhir-akhir ini iya."
"Sendiri?"
"Mana berani aku pergi sendiri?"
"Sama siapa?"
"Tidak tentu. Tapi yang pasti beramai-ramai."
"Papi-Mami kamu...."
"Tentu saja tanpa sepengetahuan mereka."
"Astaga, Tari!"
Ada suara keluh di seberang sana . Seperti mengumpat namun tidak jadi. Hanya jeda sebentar.
"Tari, kamu sekarang mulai belajar berbohong, ya?"
"Ak-aku terpaksa, Lan. Kalau tidak begitu...."
"Kalau tidak begitu kamu pasti tidak diizinkan, kan ?"
"He-eh."
"Tari, Tari. Orangtua mana sih, yang rela anak gadisnya keluyuran di malam hari?"
"Tapi...."
"Eit, jangan bilang kalau diskotik itu tidak buka pada siang hari."
"Justru karena itu aku selalu bilang nginap di rumah kamu."
"Masya Allah, Tari! Kamu bawa-bawa namaku segala!"
"Sori, Lan...."
"Eh, jangan bilang lagi kalau kamu terpaksa. Tahu tidak, bagaimana kalau Papi-Mami kamu telepon ke rumahku?!"
"Makanya itu, Lan, kamu-lah satu-satunya sohibku yang paling bisa dipercaya. Dan mereka...."
"Eit, jangan bilang mereka percaya kepadaku seratus prosen sehingga tidak bakal menelepon kemari. Satu dua kali mungkin tidak. Tapi kalau terus-menerus...."
"Tapi...."
"Jangan motong! Perbuatanmu itu sangat berbahaya, Tari. Tahu tidak, seandainya belangmu ketahuan, pasti aku juga terseret. Melakukan konspirasi tidak terpuji dengan Tarida Putri Lesmana."
"Mereka belum tahu, Lan."
"Sampai kapan kamu dapat mengibuli mereka?"
"Tapi mereka tidak bakal tahu kalau kamu tidak buka mulut...."
"Hei, kamu pikir aku ini mata-mata pengkhianat...."
"Tentu saja tidak begitu. Kamu temanku yang paling baik."
"Dan karena kebaikanku, maka kamu seenaknya bawa-bawa namaku di depan orangtua kamu!"
"Aku tidak bermaksud begitu. Tapi...."
"Tari, dengarin aku. Bukannya aku tidak mau nolongin kamu, tapi apa yang kamu lakukan itu sudah salah."
"Aku bete di rumah, Lan. Makanya aku main ke tempat begituan."
"Jangan jadikan kejenuhan sebagai alasan, Tari. Tentu saja kamu boleh main ke diskotik. Tapi, kalau setiap hari kan kebangetan namanya."
"Tapi...."
"Tari, aku tidak berhak melarang. Kamu tahu kan, bagaimana rawannya tempat hiburan malam begitu. Lagipula, kamu masih di bawah umur. Sadar dong, Tari. Kita ini masih kelas satu SMA!"
"Hu-uh. Kamu sok toku, Lan. Kapan lagi dong, kita dapat menikmati masa muda kalau bukan sekarang?! Apa harus kalau sudah jadi nenek-nenek?!"
"Tentu saja bukan begitu. Cari hiburan ya cari hiburan. Bukan seperti kamu yang cari penyakit. Setiap malam ke diskotik!"
"Tapi aku bisa jaga diri, Lan."
"Itu kalau kamu mawas. Lha, kalau tidak bagaimana?!"
"Maksudmu?"
"Maksudku begini. Seandainya ada orang yang mau jahilin kamu, mana mungkin dapat kamu awasi terus-menerus. Pas kamu goyang di hall, orang itu naruh inex ke dalam gelas minuman kamu, jadinya kan bisa berabe."
"Makanya, Lan. Aku pergi sama teman-teman yang sudah akrab. Jadi, kamu jangan tanya kenapa aku ngotot pingin kamu ikut. Tidak tahunya malah aku kena damprat kamu tadi."
"Teman bisa berubah, Tari. Kamu jangan kelewat percaya sama teman. Hati orang siapa yang tahu, sih?"
"Iya, deh. Aku dengar nasehat kamu. Tapi, mau tidak kamu ikut?"
"No way!"
"Please, Lan. Hanya sekali ini saja. Anton pasti senang kalau kamu bisa ikut. Come on, please. Ultah Anton hanya sekali dalam setahun. Masa sih kamu tega!"
"Ultahnya mau lima kali setahun juga kek, sekali tidak tetap tidak!"
"Buuulaannn, please dong, ah!"
"Bye."
Bulan meletakkan gagang telepon.
Dia menghela napas panjang. Bimbang mengambangkannya.
Malaikat dan iblis bertempur di dalam hatinya. ©

0 komentar:

Posting Komentar

Back to Top