0

ANDARA II

"Dara...."
Andara menoleh. Ada suara dari belakang yang menggebah lamunannya. Dilihatnya Caroline menghampirinya dengan sikap ragu.
"Kamu ti-tidak ikut pulang sama Papa kamu?"
"Dia bukan Papa saya!"
Gadis berambut panjang itu menundukkan kepalanya. Sinar di matanya meredup. Namun dia bersikap wajar lagi sedetiknya. Melebarkan bibirnya membentuk senyum.
"Tapi, biar bagaimanapun, dia tetap ayah kamu. Papa kamu!"
"Dulu. Sekarang, tidak lagi!"
"Siapa bilang tidak...."
"Ka-Kamu...."
"Maaf, Dara. Tidak sepantasnya saya mencampuri urusan keluarga kamu. Tapi...."
"Tapi apa?"
"Sampai kapan kamu akan membenci Papamu?"
"Kamu tahu tentang keluarga saya?"
"Tentu saja saya tahu. Setiap hari lelaki itu datang menjemputmu. Kalau bukan ayahmu, siapa lagi? Jangan pikir saya pernah menyangka kalau lelaki itu adalah pacarmu. Lagian, kamu tidak mungkin berpacaran dengan orang yang sudah toku , yang lebih pantas menjadi bokap kamu, kan?"
Andara mencoba tersenyum mendengar gurauan Caroline, siswa baru di kelasnya, pindahan dari sebuah SMA di Bandung.
"Tentu saja tidak." Andara akhirnya tertawa.
"Tapi pengecualian apabila dia adalah Richard Gere." Caroline terbahak.
Dua menit kemudian mereka meninggalkan gerbang sekolah. Tampak seorang satpam menutup gerbang besar dari besi itu dengan susah payah. Selalu saja begitu. Pintu tua itu berderit sebelum akhirnya tertutup rapat.
"Duduk di halte sekolah enak juga, ya?" Caroline memecah kebisuan. Dia tahu Andara masih memikirkan kejadian miris tadi. Dilihatnya gadis anak baru sekolahnya itu mengangguk. "Berangin-anginan sembari menunggu bis Patas AC lewat."
"Kamu kok terlambat pulang sih, Ine?"
"Sengaja. Nunggu kamu."
"Lho...."
"Duh, kamu tidak ngerti juga ya, Non?"
Andara menggeleng lugu.
"Kalau saya pulang cepat, siapa yang menghibur kamu kalau kamu lagi menangis?"
"Hei, kamu...."
"Setiap hari kerjamu cuma 'huhuhu' saja. Kalau bukan sama Suster Anamaria, pasti setelah bertengkar sama Papa kamu seusai bubaran sekolah. Iya, kan ?"
"Jadi...."
"Jadi setiap hari saya siap berkorban jiwa dan raga untuk menampung unek-unekmu." Caroline mendongakkan kepalanya dengan gaya angkuh. "Eh, bahu saya juga lumayan empuk untuk kamu tumpahkan air bah dari matamu, lho."
"Kok kamu baik sama saya sih, Ine?" Andara bertanya dengan mimik haru.
"Kalau bukan teman, siapa lagi? Memangnya sama Pak Ridwan yang satpam itu? Huh, jangankan untuk menampung duka laramu itu; untuk urusan tutup menutup gerbang sekolah saja dia sudah kelimpungan."
Andara terbahak. Lara yang melingkupinya sejenak tergusur suka. Diliriknya Caroline yang terpingkal. Sungguh. Dia merasa sangat beruntung mempunyai sahabat seperti gadis berambut panjang ini. Ini sebuah anugerah dari Tuhan untuknya.
"Dara...."
"Apa?"
"Hm...."
Caroline ragu. Diedarkannnya matanya ke sekeliling. Jalan utama di depan sekolah tampak sepi. Lalu-lintas tidak terlampau ramai. Hanya tampak pedagang gerobak bakso tengah berbenah, hendak pulang beristirahat setelah seharian penat berdagang.
"Kamu janji jangan marah, tapi."
"Iya. Ada rahasia apa, sih?"
"Bukan rahasia." Caroline membolakan matanya dengan gaya ceria. "Oke. Kita mulai. Pertama, apakah...."
"Eh, Ine. Kamu mau bertanya atau melemparkan kuis, sih?"
"Hehehe. Tentu saja pertanyaan, Non."
"Nah, kalau begitu cepatlah sebelum bisnya nongol. Soalnya, kita beda jurusan. Dan kapan saja saya bisa berubah pikiran untuk mengenakan tarif pada setiap pertanyaanmu." Andara bercanda, terbahak kemudian.
"Seandainya ada orang yang sangat kamu benci ternyata dia sangat baik pada kamu, apakah kamu akan tetap membencinya?"
"Hei, maksudmu...." Andara mengernyitkan dahinya.
"Maksudku, apakah kamu dapat menerima kebaikan orang yang kamu tidak sukai."
"Kalau dia baik, kenapa harus dibenci?" Andara masih belum mengerti arah pembicaraan Caroline. "Eh, memangnya saya kelihatan banyak musuh ya, Ine?"
"Bukan begitu maksud saya."
"Kamu ini aneh...."
"Misalnya, Papa kamu...."
"Pa-Papa...."
"Dia kan baik, Dara?"
"Ja-jangan sebut Papa lagi!" Andara mulai terisak.
"Sori. Saya tidak bermaksud...."
"Sudahlah, Ine. Kamu boleh bertanya apa saja, asal jangan soal Papa saya."
"Ta-tapi...."
Andara mengalah. Meski dia sakit hati, tapi diceritakannya juga akhirnya perihal keluarganya.
"Sebetulnya Papa baik. Sangat baik malah. Hanya, tidak disangka setelah mengenal salah seorang karyawati barunya, Papa dapat melupakan Mama...."
"Maksudmu mereka...."
"Mereka menikah. Wanita itu adalah sekretaris baru Papa."
"Ja-jadi...."
"Saya menyesali keputusan Papa untuk tetap menikahi sekretarisnya itu, meskipun jauh-jauh hari Mama sudah mengancam talak, sampai mencoba bunuh diri segala macam...." Andara tercekat dengan suara memarau. Airmatanya menderas. "Ta-Tapi, akhirnya Papa tetap bersikeras dengan keputusannya. Andika dibawa serta, dan tinggal bersama wanita iblis itu!"
Caroline tersengat. Matanya mulai membasah. "Ta-Tapi...."
"Kamu tidak akan pernah dapat mengerti kebencian saya terhadap wanita genit perebut suami orang itu, Ine. Kalau kamu sebagai posisi saya, tentu kamu akan mengerti bagaimana rasanya sakit hati itu."
"Sa-Saya...." Caroline terbata-bata. Airmatanya mulai bergulir.
"Ya, kamu akan mengerti bagaimana rasanya kehilangan orang yang benar-benar kita cintai. Rasanya, kebahagiaan kita dirampok."
Caroline membisu. Ditekuknya kepalanya ke dada. Airmatanya masih bergulir.
"Demi Tuhan, Ine. Demi, Tuhan. Saya sama sekali tidak habis pikir, kok masih ada orang yang tega seperti itu!" jerit Andara dengan suara serak.
"Ta-Tapi, be-belum tentu mereka sejahat sangkamu, Dara!"
"Mungkin. Mungkin mereka seperti perkataanmu barusan. Tidak sejahat prasangka saya. Mungkin mereka sebaik bidadari. Tapi, mereka sudah merampas kebahagiaan dan keharmonisan keluarga saya. Sesuci apapun mereka, saya tetap tidak dapat menerima kenyataan itu!"
"Ka-kamu...!"
"Kalau bukan karena wanita itu...."
"Kamu ti-tidak berhak menilai wanita itu!"
"Kenapa?!" Andara membeliak, menatap lurus ke wajah sembab Caroline. "Kenapa saya tidak berhak menilai wanita biang perusak rumah tangga orang?!"
"Mak-maksud sa-saya...."
Andara menghela napas panjang. Dibiarkannya airmatanya berlinang deras. Dia sudah terlampau sakit hati.
"Lalu, Andika...."
"Mung-mungkin... dia baik-baik saja...."
"Dia pasti disiksa!"
"Ti-tidak...."
"Ibu tiri...."
"Ti-tidak semua ibu tiri itu jahat...."
"Tapi, wanita itu pasti ibu tiri yang jahat!" sergah Andara. "Kalau tidak, mana mungkin dia mau merebut suami orang!"
Caroline menggigil, mencoba menyentuh bahu Andara, berusaha memeluk sahabatnya itu. Namun sepasang tangannya seolah hanya menggapai angin. Suaranya pun berhenti di tenggorokan. Mendadak menjadi bisu.
"Ka-kasihan Dika. Dia pasti kesepian. Dia...."
Kedua gadis itu menangis sesenggukan. Andara menutup wajahnya dengan kedua belah tapak tanganya, sementara Caroline berusaha menyembunyikan tangisnya. Digerainya rambutnya yang panjang, menutupi sebagian wajahnya yang kuyu.
"Mama sangat menderita, Ine!"
"Sa-saya tahu."
"Ka-kasihan Mama...."
Caroline menggigit bibirnya sampai berdarah. Sedari tadi ingin dipeluknya pundak Andara. Membagi dukanya bersama. Sebab mereka sebenarnya adalah saudara.
Dia adalah putri tunggal dari wanita yang paling dibenci oleh Andara, Angelina Jose Darmawan.

0 komentar:

Posting Komentar

Back to Top