0

PEREMPUAN YANG BERSAMAKU

Perempuan itu, entah dari mana ia datang. Dan tidak ada yang tahu kemana ia pergi. Ia hadir ketika senja terkalahkan oleh sang malam. Ketika matahari terlahap habis di ufuk barat. Ketika lembayung berwarna merah saga. Namun ia tidak ada di acara-acara pesta. Atau di acara hajatan dan perwiritan. Tidak ada yang tahu ia tinggal di mana. Tidak ada yang tahu siapa ia, asal-usulnya. Dan tidak ada yang mau tahu cerita tentang ia. Ia bagaikan seekor burung gagak yang sangat menakutkan.
Ia muncul dari balik malam yang sangat dingin. Ketika malam telah diselubungi selimut hitam tebal. Bermandi cahaya rembulan yang redup dan suara binatang malam yang terdengar aneh.
Perempuan itu bergaun merah jambu. Memakai pemerah bibir merah muda dan memakai parfum kembang seribu. Memakai kalung putih bertaburkan batu manik. Rambutnya tergerai panjang. Ia bagaikan bidadari turun dari khayangan.
Malam menggayut. Mengantarkan kembali angin dingin yang beku. Membuat aku meringkuk dalam jaket parasutku.
Malam benar-benar membuatku kalut. Aku bertemu dengan perempuan itu saat pikiranku tengah digeluti sebuah masalah besar dalam hidupku. Ia hadir begitu saja di depanku. Dengan menebar senyum dan memperlihatkan sederetan giginya yang putih bersih. Memamerkan sedikit belahan pada dada dan kemolekan sintal tubuhnya. Bulu matanya lentik dengan bola mata bersinar.
Perempuan itu mendekatiku. Aku memang terpana melihatnya. Ia memang sosok perempuan yang sangat sempurna. Aku menatapnya dengan tajam.
"Jangan menatapku seperti itu," katanya lembut.
Aku mengerjap, tersadar dari lamunanku.
"Siapa kau?" tanyaku penasaran.
Perempuan itu tersenyum seraya duduk di sampingku.
"Akulah yang telah lama kau nanti," jawabnya lembut, mencoba merayuku.
Parfum yang menyeruak tercium di hidungku. Aku betul-betul tidak dapat membayangkan parfum apa yang telah dipakainya. Wangi dan teramat wangi. Aku mengerutkan dahiku. Sepertinya ia bisa membaca pikiranku. Saat ini aku memang sangat merindukan seorang gadis duduk di sampingku. Sudah lama sekali aku hidup melajang. Dan kini usiaku hampir berkepala empat. Tanpa ada embel-embel yang pasti. Istri dan anak.
Meski aku ingin sekali menanyakan dari mana ia datang dan di mana ia tinggal. Tetapi pertanyaan itu kukubur dalam-dalam. Aku tidak mau tahu ia datang dari mana, tinggal di mana dan siapa dirinya. Bukankah itu sudah menjadi haknya untuk tidak memberitahu kepada orang lain siapa dirinya?
"Kau kelihatan kusut. Apa yang kau pikirkan?"
"Hidup. Aku merasakan kehidupanku telah sirna," jawabku pelan.
"Kau tidak boleh berkata begitu. Hidup adalah suatu anugerah yang indah. Manis maupun pahit, mesti kita jalani dengan sebaik-baiknya."
Perempuan itu membelai pundakku. Sesaat aku merasakan suasana sejuk yang menyeruak di sekujur tubuhku. Tetapi aku tak mau terlarut dalam hal-hal aneh seperti itu. Bukankah itu suatu hal yang wajar, seorang lelaki menggeliat bila disentuh perempuan cantik seperti ia?
Malam semakin pekat. Hawa dingin seakan menguliti tubuhku. Menghantarkan kembali wangi parfum yang menyebar di sekitarku.
Itulah awal semua pertemuanku dengan perempuan itu. Ia muncul dari balik malam yang sangat pekat. Setelahnya, kami bergumul bagai sepasang kekasih di musim kawin. Kami telah kehilangan kalimat untuk sebuah percakapan. Ketika subuh menjelang, ia akan pergi begitu saja sebagaimana datangnya.
Aku merasa tenang berada di sampingnya.
***
Aku terjaga dari tidurku. Sesekali mengerjapkan mataku karena sinar matahari pagi. Mataku masih terlihat buram mencari sosok perempuan yang bersamaku malam tadi. Tetapi tak kutemukan. Aku hanya tegeletak di bawah sebuah pohon rindang yang berdaun lebat. Padahal malam tadi, perempuan itu mengajakku singgah ke rumahnya dan tertidur di ranjangnya yang empuk. Aku melihat sekelilingku. Ladang jagung dan sebuah anak sungai dengan airnya yang jernih. Sebuah gubuk jerami dan terbuat dari bambu kuning. Dan sebuah tanah kosong yang tak jauh dari tempatku terbaring.
Aku bangkit bersama kelelahan kemarin. Kemudian memaki kecil dengan umpatan serapah. Mengapa perempuan itu meninggalkan aku begitu saja. Dan meninggalkan aku di sebuah ladang jagung yang sama sekali tidak pernah aku tahu. Atau jangan-jangan ia sengaja mengajaku ke tempat ini agar tidak bisa kembali ke rumahnya? Atau ia ingin merampokku? Merampok?! Apa yang akan dirampoknya? Aku tidak punya apa-apa. Bahkan selembar uang sepuluh ribuan pun aku tidak punya. Aku hanya memiliki harta benda pakaian yang kukenakan diragaku. Tidak ada apa-apa. Aku hanya si Miskin yang baru saja di-PHK pada sebuah perusahaan yang juga di penghujung kebangkrutan.
Aku kembali ke rumah kontrakanku. Aku tinggal sendiri di kota ini dengan sejumput rasa frustasi. Kuhabiskan malam dengan baur sunyi. Aku tak punya kebiasaan lain selain menikmati rokok di bawah cahaya rembulan sambil memperhatikan asapnya mengepul di udara. Atau mengoceh sendirian dengan botol minuman keras sebelum akhirnya tersungkur di jalanan. Biasanya, sebelum matahari mencipta cahaya, aku sudah lelap di kamar kontrakan.
Senja adalah waktu yang paling nikmat untuk mengutuk apa saja. Aku akan menyumpah sampai mulutku terasa kering dan bergetah. Aku tak begitu mengerti mengapa aku begitu membenci hidup ini. Setelah puas dengan segala caci maki, aku akan meninggalkan rumah dengan gumpalan amarah. Betapa kejamnya dunia ini terhadapku. Dan betapa manisnya dunia ini bagi sebagian orang yang bernasib beruntung, yang dapat hidup dalam gelimang kemewahan. Aku benci ketidakadilan dunia ini!
***
Perempuan itu datang lagi menemuiku. Aku tengah mabuk berat. Beberapa botol minuman keras telah terteguk dan kini bersemayam di lambungku. Aku sempoyongan dengan cegukan yang sesekali terdengar aneh seperti suara katak nan birahi. Dan berbaur bersama ocehan-ocehan yang biasa kulontarkan entah pada siapa. Bahkan aku tidak tahu siapa nama gadis itu sampai suatu saat ia mengingatkanku lagi!
"Aku Kinanti," ucapnya.
Lagi-lagi ia seperti tahu apa yang ada di pikiranku.
"Aku telah lama menunggumu," katanya sambil mengumbar senyum yang, lagi-lagi menggodaku.
"Kau menungguku?" Aku mengerutkan kening sambil melontarkan botol minuman keras kosong.
"Kau mabuk."
"Apa urusanmu?!"
Perempuan itu malah tersenyum. Dan begitulah ia menggodaku. Lagi-lagi aku larut dalam buaian asmaranya. Entah sudah keberapa kali kami menikmati pergumulan terlarang itu. Hingga aku terkulai di sisinya, di atas tempat tidur rumahnya. Ia membelai rambutku dengan lembut dan aku tertidur di pangkuannya.
Aku menghabiskan sisa malam dengan buncah bahagia. Ia seolah memupus semua lara yang berkecamuk di benakku. Aku rindu buaiannya yang dapat melamur kesedihanku. Aku rindu belaiannya yang dapat menghapus kebencianku pada dunia ini. Sejenak, ya sejenak.
Perempuan itu seperti anugerah yang diturunkan dari langit untuk menghiburku, meski dalam cinta terlarang yang sama-sama kami lakoni dalam keterasingan! Tetapi, apa peduliku?! Bayang-bayang lara dan pemuncak kesedihan telah memasungku ke dalam nista ini. Mungkin ini bukan cinta sejati seperti damba banyak insan. Namun ia telah mengenalkan aku pada idiom cinta melalui hubungan kami yang terlarang.
Aku memilih tertidur di pangkuannya, dan sejenak, malam ini, melupakan kembali lara dan kesumat yang senantiasa membuatku sakit!
***
Namun waktu bergulir demikian cepatnya. Seperti Pangeran yang dibatasi oleh ikrar sang waktu, yang akan mengubah sang Pangeran menjadi si Gembel, dan mengubah kereta kencana menjadi labu, maka aku pun harus pulang ke muasal keberadaan.
Pagi datang seperti sepercik sesal yang terus menggulung. Senyap. Sesenyap petang-petangku yang datang kemudian. Perempuan itu telah pergi. Ia tak pernah datang lagi. Mungkinkah ia meninggalkan aku karena aku seorang pemabuk? Atau ada laki-laki lain selaksana Pangeran Sejati, yang jauh dan jauh lebih sekar ketimbang aku yang hanya seorang 'gembel'?
Aku menggeleng. Entahlah.
Mataku mengerjap seperti biasa. Ada setetas dua landung embun yang dingin menerpa wajahku.
Aku terkejut bukan kepalang. Hei, kali ini aku dibawanya ke tempat pemakaman?! Rupanya, aku tertidur di sebuah perkuburan! Dan saat ini aku masih separo terlentang di samping sebuah kuburan dengan papan nisan bertuliskan nama seorang perempuan yang telah kukaribi beberapa hari belakangan ini!
KINANTI!
Seluruh persendianku serasa lemas.
Galauku berbaur bersama angin pagi dan aroma tanah pada kuburan tua. ©

0 komentar:

Posting Komentar

Back to Top