0

PEREMPUAN PILIHAN

Terus terang, saat ini usiaku sudah nyaris kepala empat. Dan rambutku mulai memutih satu per satu. Raut wajahku pun mulai berkerut dengan garis-garis penuaan. Terutama di sekujur dahi dan pelupuk mata. Terang saja aku sudah semakin tua, tanpa terasa.
Tigaratus enampuluh lima hari bukanlah waktu yang singkat. Beribu hari sudah kulalui begitu saja. Tanpa ada embel-embel yang membuat statusku semakin jelas. Aku iri, iri sekali dengan teman-temanku yang sudah berhasil dan sukses. Dan kini mereka sudah menyandang gelar seorang ayah. Dan aku masih seorang bujangan yang belum mendapatkan apa-apa. Belum lagi orangtuaku yang selalu mendesakku agar segera menikah.
"Kau harus segerah menikah, Her. Umurmu sudah kepala empat. Apa yang kau tunggu? Apa kau mau disebut bujang lapuk seumur hidupmu?" Itulah komentar ibu setiap kali umurku bertambah, dan menanjak tanpa terasa.
"Jodoh itu ada di tangan-Nya, Bu," tepisku datar. Terus terang, kupingku sudah bosan terhadap kalimat-kalimat yang itu-itu juga. Dari tahun ke tahun.
"Ibu tahu. Tapi kalau kamu tidak mencarinya, apa Tuhan mau memberimu jodoh? Tidak mungkin, Her. Apa lagi yang kau tunggu? Kau sudah mapan, bahkan lebih dari mapan. Kapan lagi?"
Aku menggaruk kepalaku setiap ibu membuat pertanyaan seperti itu. Terlebih adik-adikku yang semuanya sudah berumah tangga. Rasanya perasaan iriku semakin memuncak.
Mungkin aku sangat minder dengan kata-kata ibu. Kata-kata itu selalu saja terngiang di telingaku. Belum lagi sahabat-sahabat seusiaku. Mereka sangat bahagia dengan pasangan hidupnya. Dengan buah hati yang sangat lucu dan menggemaskan. Tapi aku? Jangankan buah hati yang lucu, pendamping hidup saja aku tidak punya.
"Apa lagi sih yang Abang tunggu?" komentar adik perempuanku. "Apa perlu kami mengenalkan Abang dengan seorang wanita? Atau menjodohkan Abang dengan teman kami?"
"Tidak," tepisku. Aku bukan tipe laki-laki seperti itu. Apa mereka pikir aku tidak sanggup mencari pendamping hidup?"
"Lantas, bagaimana? Abang adalah kakak tertua kami. Dan kami tidak mungkin menunggu Abang berumah tangga, baru kami melepas masa lajang." Adikku yang satu berceloteh.
Terang saja dia tidak mau menjadi lajang tua sepertiku. Dan dia masih menghormati aku sebagai kakak dengan tidak ingin melangkahiku.
"Beri aku waktu," ucapku seraya berlalu dengan raut wajah yang kutekuk kecewa..
***
Sore terasa menyiksa. Bagaimana tidak. Sepulang kerja pikiranku bertambah kacau. Belum lagi serangan-serangan ibuku nantinya. Pasti ia akan mendesakku agar segera menikah. Aku maklum ibuku sudah semakin tua dan ingin menimang cucu dariku. Tapi apa boleh buat, aku memang belum mendapatkan jodohku.
Tetes air hujan dari langit membasahi kemejaku. Dengan sigap aku berlari ke sebuah cafe pinggir jalan. Suasananya memang sangat berkelas. Hangat dan bikin betah pengunjungnya. Dengan alunan musik yang sendu dan interior cafe yang futuristik, benar-benar membuatku betah. Aku menikmati suasana nyaman dan santai di cafe itu.
Seorang pelayan menghampiriku seraya menyodorkan beberapa menu makanan dan minuman. Kebetulan aku juga lapar dan haus. Aku memilih menu makanan yang ringan saja. Aku tak ingin lemak tertimbun di perutku yang semakin membuncit. Setelah pelayan itu pergi, aku menghapus sisa air hujan di keningku. Kemudian mataku mengedar pada interior dan jendela cafe. Sangat transparan hingga terlihat dari luar.
Capuccino hangat disuguhkan di hadapanku. Aku mengaduknya perlahan, kemudian meneguknya dengan nikmat. Aku terdiam. Pandanganku tertujuh pada sisi luar cafe. Dan aku melihat gadis remaja di sana. Kehujanan, bajunya basah kuyup. Sepertinya aku mengenal orang itu.
"Sadrina...," gumamku pelan. Aku tidak salah lagi. Orang itu pasti Sadrina. Perempuan yang dulu pernah menjadi kekasihku. Tapi dia lebih memilih Reza ketimbang aku. Lantas kenapa dandanannya tidak seperti dulu? Aku mengerutkan keningku. Sambil terus memperhatikan perempuan itu dari dalam cafe.
Aku benar-benar tidak sampai hati melihat Sadrian di luar sana. Dengan perlahan aku pun beringsut dari kursiku. Berjalan keluar dan membuka pintu cafe. Aku memanggil Sadrina dengan keras. Hingga ia menoleh ke arahku.
"Sadrina, sini...." kataku.
Sadrina berlari sambil menutupi kepalanya. Kemudian menepiskan sisa air hujan yang membasahi bajunya. Aku merogoh saku celanaku dan memberinya tissue. Aku memandangi lamat wajah belia nan rupawan itu. Dulu, dia demikian dekat denganku.
"Terima kasih ya, Bang."
Aku mengangguk. "Sadrina, kenapa kamu ada di sini?" tanyaku di sela kesibukanya menghapus air hujan.
Dia menoleh ke arahku. "Her, aku...."
"Sudahlah, kita ke dalam, yuk," ajakku kemudian.
Sadrina mengikuti langkahku. Setelah mempersilakan dia duduk, mataku kembali menatapnya. Masih dengan seribu tanda tanya yang berseliweran di benakku.
"Bagaimana kabarmu, Sad?" tanyaku dalam keheningan.
"Hm, aku baik-baik saja, Her," sahutnya datar.
"Di mana suamimu?"
Sadrina terdiam sambil menatapku tajam.
"Suamiku sudah meninggal, Her. Dalam kecelakaan pesawat itu."
"Ops, maaf. Aku tidak bermaksud...."
"Ti-tidak apa-apa. Semua sudah takdir, kok," urainya dengan mata membasah. Tetapi ia berusaha tersenyum kemudian.
Aku mengangguk pelan. "Kau tinggal di mana sekarang?"
"Saat ini aku mengontrak di kawasan Medan Kota."
Aku terpaku menatapnya berkali-kali. Wajah itu dulu membuatku tergila-gila. Bahkan sampai aku seperti hilang kesadaran. Dan sampai kini benih-benih cinta itu masih tersisa.
"Kegiatanmu saat ini?" tanyaku lagi.
Sadrina tertunduk, seraya mengambil sehelai tissue yang kembali kusodorkan kepadanya.
"Aku tidak ada kegitan apa-apa, Her."
Keningku kembali berkerut. "Maksudmu?"
"Aku sementara menganggur. Sejak suamiku meninggal, aku seperti tidak memiliki semangat untuk bekerja. Lalu, perusahaan tempatku bekerja mem-PHK-ku karena dianggap tidak becus bekerja lagi."
Aku menghela napas berat. Kasihan sekali kau Sadrina. Kenapa kehidupanmu menjadi seperti ini? Bukankah orangtuamu begitu kaya dan terpandang?
Dan seolah dapat membaca pikiranku, Sadrina berucap membelah keheningan yang hanya terselingi irama instrumentalia musik cafe.
"Orangtuaku memang tidak menyetujui perkawinan kami, Her. Makanya, aku memutuskan untuk tidak pulang ketika suamiku meninggal. Mungkin mereka bersyukur, entahlah. Yang pasti aku tidak ingin menelan ludahku kembali yang, pernah terlontar untuk lebih memilih kemiskinan bersama laki-laki yang aku cintai ketimbang keluarga kaya orangtuaku."
"Aku prihatin, Sad. Namun aku yakin, seantipati apapun mereka terhadapmu, toh kamu tetap darah dan daging mereka sendiri. Lagian, maaf, suamimu sudah meninggal. Pasti mereka dapat memaafkan kesalahan masa lalumu. Pulanglah. Mereka adalah orangtuamu."
"Tapi, mereka tidak pernah merestui pernikahan kami. Hingga dulu, kami harus membuat keputusan sendiri. Menikah tanpa wali orangtua." Mata Sadrina terlihat basah.
"Sudahlah. Tidak usah mengungkit masa lalu."
Sadrina masih terisak. "Kini aku harus memenuhi kebutuhan anakku. Tapi aku bingung harus kemana mencari!" cetusnya dengan suara parau.
Aku mengernyitkan kening.
"Anakmu...?"
Sadrina mengangguk.
"Lantas, di mana dia sekarang?"
"Aku menitipkannya sama tetangga."
Aku menarik napas dalam-dalam. Merengkuh kemudian jemari tangannya dengan lembut, tak sadar. Tetapi aku tidak peduli. Jujur, aku masih mencintainya. Dan rasa itu belum memudar meski telah sekian tahun kenangan tersebut tercerabut di hatiku. Tiba-tiba ada sepercik lelatu tanya yang beriak dalam batinku. Apakah aku harus menikahi Sadrina? Seorang janda beranak satu? Atau menampik rasa cinta dan membiarkan aku kembali bermain dalam angan kenangan lama semata hingga rambutku memutih semua. Ah, aku tidak dapat mencetus keputusan di antara dilematisasi ini. Antara cinta lamaku, dan....
Saat ini aku tengah jatuh hati pada seorang gadis sebelah rumahku. Karibku bersamanya setelah bayang Sadrina semakin melamur dalam hari-hariku. Setelah dia tak mungkin kuraih. Saat dia memutuskan menikah dengan Reza, suaminya yang telah meninggal itu.
***
"Aku akan menikah, Bu," tandasku suatu sore.
Ibu dan adik-adikku terlihat berbinar bahagia mendengar penuturanku.
"Syukurlah kalau kamu sudah menemukan pendamping hidupmu. Siapa gadis yang akan kamu nikahi itu?" tanya ibu penasaran, ingin tahu.
"Maria," jawabku mantap.
Kontan saja mereka terperanjat kaget dan saling berpandangan.
"Maria...?!"
"Ya, Maria."
"Maria, gadis tetangga yang masih berumur delapan belas tahun itu, Bang?" Adik perempuanku masih terperanjat kaget dengan bola mata yang nyaris terlontar keluar.
"Iya, Maria. Dia adalah perempuan pilihanku. Memangnya kenapa?"
"Hah?!" ©

0 komentar:

Posting Komentar

Back to Top